Kalau seseorang punya rasa takut akan sesuatu, aku juga punya.
Alnayara
"Yara! Ayo cepetan udah mau telat!", teriak ayahku dari lantai bawah.
"Iya paaa... bentar lagi kok"
Hari ini adalah hari pertama masuk SMA. Ya, setelah sudah menjadi senior, mau tidak mau kini kembali menjadi junior. Hmm... harus siap ketemu sama temen-temen baru, lingkungan baru, dan keadaan baru. Kira-kira masa SMA gue bakal kayak gimana ya?
"Hati - hati ya. Sukses sekolahnya", ujar ayahku setelah sampai di sekolah, yang kebetulan tidak begitu jauh dari rumah.
Aku kemudian berpamitan dengan ayahku dan turun dari mobil untuk bergabung dengan siswa-siswi baru lainnya. Sejauh mata memandang , sepertinya hanya aku yang tidak bersama teman SMP-ku masuk sekolah ini... Aku tidak kenal siapa-siapa.
Setelah agak lama berdiri di depan lobi sekolah, seperti ingin menunggu seseorang, tiba-tiba ada seseorang yang menyapaku. Tidak. Aku tidak mengenalnya. Ia tampaknya bingung mau bergabung dengan siapa. Mungkin saja temannya belum sampai, atau mungkin tidak ada teman SMP-nya yang masuk SMA ini juga sepertiku?
"Hai... Emm.. Gue ganggu ga?", tanyanya malu.
"Ehh, engga kok. Mau bareng masuknya?"
"Boleh... Gue bingung mau masuk sama siapa hehe."
"Ohh, iya gapapa...", ujarku. Lalu tidak lama dari itu, bel berbunyi. Tanda para peserta didik baru harus berkumpul di lapangan.
"Eh ya nama lo siapa?", tanyanya.
"Alnayara. Panggil aja Yara. Kalo lo?"
"Hilmaharesa", ucapnya.
"Eh, sorry?", tanyaku lagi. Namanya agak sulit untuk diingat.
"Hahaha, panggil aja Resa."
Rasa takut tidak dapat bergaul dengan lingkungan yang baru mulai menghampiriku. Dari situ, aku berharap ia akan menjadi teman baikku selama aku di SMA, malah kalau bisa hingga tua nanti. Ia nampak baik. Yaaa... Setidaknya, berharap tidak salah kan?
Setelah berkumpul di lapangan dan pembagian kelas diumumkan, aku sungguh sangat berharap agar bisa satu kelas dengan Resa, karena kalau ia tidak masuk kelas A, berarti ia masuk kelas B. Tapi sayang, kami berbeda kelas. Ya, setidaknya kami masih sama-sama satu jurusan, yaitu sastra. Kami pasti akan sering bertemu karena kelas kami satu lorong dan jurusan sastra hanya diisi oleh dua kelas saja.
Oh ya, salah satu alasan aku rela untuk masuk ke sekolah ini adalah jurusan sastranya. Sekolah ini punya tiga jurusan, yaitu IPA, IPS, dan Sastra. Kebetulan, sekolah ini satu-satunya yang punya peminatan Bahasa Thailand. Tidak, aku bukannya suka film atau aktor Thailand, tapi menurutku, aksara Thailand unik. Aku suka mempelajari hal-hal yang baru dan jarang ditemui.
Setelah masa orientasi dan pengenalan lingkungan sekolah sudah selesai, aku kembali menemui Resa. Sambil menunggu jemputan kami masing-masing, kami duduk di kantin sekolah. Bertanya satu sama lain. Mencoba untuk mengenal lebih dalam.
"Lo dari SMP mana, Ra?", tanyanya sambil bersenyum.
"Emm... sebenernya gue baru aja pindah dari Jakarta kesini. Yaa, orang tua ada tugas kerja. Mungkin sampe tiga atau empat tahunan karena proyek besar perusahaan. Jadi kemungkinan besar gue bakal disini sampe lulus. Kalo lo?"
"Oh gitu... Kalo gue sih, Ra, udah dari kecil disini. Keluarga besar juga asli orang sini jadi ya disini-sini aja deh hehe", katanya sambil tertawa kecil. "Eh, ibu gue udah sampe. Lo udah di jemput?"
"Sebentar lagi sampe nih. Gapapa lo duluan aja, Res. Hati-hati ya."
"Sorry ya... Sampe ketemu besok!", pamitnya sambil tersenyum lebar.
Sekitar sepuluh menit kemudian, akhirnya ayahku datang menjemput. Maklum, belum kenal daerah sekitar jadi masih harus di antar jemput.
Akupun berdiri, beranjak dari kursi sambil memegang map berisi brosur-brosur promosi ekstrakulikuler dan beberapa berkas-berkas penting yang sekolah minta untuk administrasi siswa. Setelah beberapa langkah berdiri dari kursi, handphone-ku tiba-tiba berbunyi. Sebuah SMS masuk dari teman lamaku yang cukup mengundang perhatianku. Seketika aku berhenti dari jalanku, tanpa sadar, ada seorang laki-laki sambil berjalan terburu-buru sambil merapihkan kertas-kertas yang dipegangnya. Mungkin ia sedang mengurutkannya. Aku ternyata menghalangi jalannya dan ia menabrakku hingga kertas kami sama-sama jatuh berterbangan. Aku kaget dan sangat malu. Ia ternyata senior di sekolah ini, kelas dua. Aku bisa melihatnya dari almamater yang ia gunakan. Para senior hari ini diminta untuk menggunakan almamater sekolah. Aku malu sekaligus takut. Tanpa melihatnya, aku mengangkat kertas-kertas yang ada di sekitar kami. Setelah aku rasa aku telah mengambil semuanya, aku mengembalikan miliknya sambil menatapnya, hendak meminta maaf. Tapi, sebelum aku membuka mulutku untuk mengatakannya, aku tak bisa tak melihat matanya. Ia pun dengan terburu-buru pergi dan beranjak dariku tanpa sepatah katapun. Handphone-ku berbunyi sekali lagi. Mungkin ayahku sudah menunggu cukup lama.
"Eh, kamu!", kata seseorang di belakangku setelah aku berdiri dan bergegas ingin masuk mobil.
"Emm... Iya? Ada apa?", tanyaku agak takut. Menabrak senior di hari pertama bukanlah pertanda baik. Apalagi tidak mengenalnya sama sekali. Pikiranku mulai menegang.
"Engga, gaada apa-apa. Ini, tadi kertas kamu jatoh. Hati-hati ya lain kali", ujarnya. Kali ini aku benar-benar malu.
"Ohh... Emm... Iya, makasih ya." Tanpa melihat betul-betul kertas yang ia berikan kepadaku, aku memasukannya kedalam mapku, memberinya senyuman kecil lalu segera keluar gerbang menuju mobil ayahku.
Setelah sampai rumah, aku segera pergi ke lantai atas, hendak berganti pakaian dan bersiap-siap untuk makan sore bersama keluarga seperti biasa. Tapi sebelum aku melakukannya, map yang aku taruh sembarang di atas kasur tiba-tiba menyita perhatianku. Selembar kertas keluar sebagian dari mapku, menunjukkan bagian atas kanannya. Sambil berdiri, aku bergumam sendiri. Aku tidak mengenal kertas ini.
Oh tidak! Aku tidak sengaja membawa kertas senior tadi!
KAMU SEDANG MEMBACA
Matahari, Dengarkanlah
RomanceMalam di hari Minggu itu tak pernah ia sangka. Hujan malam itu mengawali kisah cintanya, Alnayara, perempuan yang ketika sangat bahagia bisa membuat hangat suasana di sekitarnya, namun sedihnya bisa menggenang hingga begitu lama.