Ardian
"Terus kamu mau sampe kapan kayak begini? Kamu bukannya dulu rajin? Selalu dapet peringkat satu. Kenapa sekarang begini? Udah sana tulis yang bener, yang rapih. Kerjakan ulang dari awal!", ujar Bu Nuryan. Guru sejarah yang terkenal tegas dan harus disiplin.
Aku tanpa berkata sedikitpun segera keluar dari kelas, ingin marah rasanya. Karena telat datang hari ini, aku dihukum untuk mengerjakan 25 soal essay yang harus ditulis tangan di selembar folio. Aku sudah mengerjakannya sebaik mungkin, menurutku, tapi Bu Nuryan tetap saja tidak mau terima. Seperti ada dendam masa lalu saja terhadapku. Ah, entahlah. Hatiku tidak sejalan dengan pikiranku.
Aku hendak menghampiri Pak Surya untuk mengumpulkan tugas kimia yang tadi beliau tugaskan kepadaku. Ya, hanya kepadaku. Aku sudah terlalu banyak ketinggalan pelajaran di kelas 2 hingga beliau tak letih-letihnya memberikan tugas di hari pertama. Katanya, biar kamu rajin, nak.
Saat berjalan mengarah ke ruang guru yang agak jauh dari ruang kelas, tiba-tiba ada yang memanggilku.
"Diiii!", teriaknya.
Aku menoleh ke belakang, "Eh, Restya. Kenapa?"
"Umm.. Boleh minta tolong, gak? Lo mau ke ruang guru ya?"
"Iya, Res."
"Nitip doong... Ini berkas tadi pagi. Gue buru-buru banget nih, adek gue cedera pas main futsal di sekolahnya. Gue mesti balik jemput dia... Kak Mira lagi sibuk kerja. Boleh ga, Di? Kalo boleh, tolong ditaro aja di atas mejanya Pak Marto."
"Oh yaudah, Res, boleh. Lo hati-hati ya. Semoga adek lo cepet sembuh."
"Makasih banyak, Dii, sorry repot!", ujarnya sambil lari kecil, hendak keluar gerbang secepat mungkin.
Restya, ketua OSIS, manusia paling sibuk sejagat raya. Hanya tinggal bertiga dengan kakak dan adiknya di sebuah rumah tua yang jaraknya cukup jauh dari sekolah. Orang tuanya telah lama meninggal dan tidak ada satupun keluarga orang tuanya yang katanya pengusaha sukses itu hendak membantu mereka. Kaya raya begitu, bukannya membantu, malah merampas sisa harta orang tua mereka.
Sembari berjalan kearah ruang guru untuk mengumpulkan semua yang ada di tanganku, aku melihat berkas yang diberi Restya tadi ternyata terbalik-balik arahnya. Akupun merapihkan arah kertasnya sambil berjalan hingga aku tak sengaja menabrak seseorang. Seorang perempuan. Aduh! Kertasnya berterbangan kemana-mana!
Akupun segera mengambil kertas-kertas yang berterbangan diantara aku. Setelah semuanya sudah terambil, aku hendak meminta maaf kepadanya karena sudah menabraknya dengan tidak sengaja, tapi sebelum aku berkata apapun, melihat matanya seperti mengingatkanku akan sesuatu yang pernah aku punya. Akhirnya, tanpa berkata sedikitpun, aku segera pergi. Aku tidak tahu harus berkata apa. Hatiku seperti tidak terkoneksi dengan pikiranku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Matahari, Dengarkanlah
عاطفيةMalam di hari Minggu itu tak pernah ia sangka. Hujan malam itu mengawali kisah cintanya, Alnayara, perempuan yang ketika sangat bahagia bisa membuat hangat suasana di sekitarnya, namun sedihnya bisa menggenang hingga begitu lama.