Hujan masih turun di luar sana, hawa dingin yang menyesakkan memenuhi kamar gadis yang sedari tadi menelengkupkan badannya di atas ranjangnya, bahunya bergetar hebat, samar terdengar suara sesenggukan yang teredam bantal. Kamar yang selalu terlihat rapi dan nyaman, tidak lagi seperti biasanya, lukisan yang biasanya tergantung indah sudah kehilangan pegangannya, meja riasnya tak lagi nampak seperti semestinya, lantainya penuh pecahan kaca entah dari mana, dan sang empunya tidak merasa risih sama sekali.
Gisha, nama gadis itu. Gadis yang baru saja kehilangan orang yang dia cinta, belum genap dua puluh empat jam tapi waktu mampu memporak porandakan hidupnya. semalam, tepatnya lima belas jam dari saat ini, Gisha masih bergurau dengan Kevin, kekasihnya. memperebutkan remot TV, saling melempar pop corn, membicarakan nilai ulangan dadakan, mengatai guru tua yang jahat, dan segala bahasan remaja seusianya. tapi pagi ini, saat dia membuka mata, dengan hujan lebat di luar sana, ibunya tergopoh berlari ke kamarnya, mengetuk pintunya dengan tidak sabar, lalu saat Gisha membukanya, hanya pelukan erat tanpa kata yang dia dapat, entah bagaimana, Gisha meneteskan air matanya walaupun dia belum tahu kabar apa yang akan ibunya sampaikan, tapi firasatnya mengatakan itu bukanlah hal yang baik.
Begitu ibunya selesai dengan satu rentetan kalimat yang seperti godam, bahunya luruh seketika, bahkan rasanya tulangnya sudah meleleh sehingga tidak mampu menopang berat tubuhnya, "Kevin meninggal karena kecelakaan semalam, korban tabrak lari." kalimat itu menggema di dalam kepala Gisha, otaknya mencoba mencerna apa arti dari kalimat itu, tapi tidak bisa, rasanya saraf-saraf otaknya sudah putus.
Gisha melangkah mundur, menjauhkan badanya dari sang ibu yang wajahnya tidak kalah berantakan dari suasana hati Gisha saat itu, ibunya menggeleng pelan, Gisha menunduk sebelum akhirnya menarik gangang pintunya dan menutupnya keras, mengucinya, lalu badanya luruh di balik pintu, mengabaikan kalimat-kalimat penguat dari ibunya, Gisha menangis, membanting semua barang yang ada di depannya, dia marah entah untuk apa, dia kecewa dan tidak tahu harus bagaimana, dia tidak tahu perasaan seperti apa yang sekarang bersarang di dadanya.
Sudah delapan jam berlalu, sejak kabar meninggalnya Kevin, Gisha masih saja mengurung dirinya, mengabaikan segela bentuk panggilan orang tuanya, bahkan dia tidak menghadiri prosesi pemakaman lelaki yang amat dia cintai, karena dari dalam lubuk hatinya dia masih yakin Kevin belum lah mati, dia akan datang ke tempatnya malam ini dan memeluknya lalu berkata, "Kejutan, Happy Anniversary sayang." iya benar, hari ini tanggal 13 Oktober, tepat di tanggal yang sama dua tahun yang lalu lelaki itu, dengan segala keunikannya dia meminta Gisha untuk bersedia menjadi pacarnya.
Hawa dingin yang begitu dingin menghampiri Gisha yang sudah lelah mengeluarkan air matanya, sekelebat bayangan hitam tertangkap netra Gisha.
"Kevin?" gumam Gisha pelan, masih dengan suara seraknya.
"Vin, jangan becanda, ini gak lucu!" bentak Gisha.
"Vin, keluar, bilang ke mama kalau mama tadi salah denger berita, keluar Vin, kasih tau aku kalau kamu cuma becanda, aku gak akan marah, aku janji,"
"Vin, semalem kamu bilang kita bakal ke Dufan kan pagi ini, ini bagian dari kejutan kamu kan?"
"Vin, karena hujan kamu ga mau ngajak aku ke Dufan mangkanya bikin kejutan kayak gini, iya kan, kamu cuma gak mau aku kehujanan,"
"Vin jawab." suara Gisha melemah, air matanya luruh kembali.
Sekelebat bayangan hitam tadi mendekat ke arah Gisha, hawa dingin yang begitu dingin tiba-tiba menghampiri tubuh gadis itu, Gisha tidak merasa takut, tidak juga berlari, atau menghentikan tangisnya, dia hanya menunduk menatap bayangan hitam yang kini berada tepat di depannya.
"Kalau lo Kevin, lo boleh pergi, gue gak butuh lo, gue maunya Kevin, Kevin Angkasa dengan tubuhnya, bukan lo, baya-" ucapan Gisha terputus karena bayangan tadi mendekat, seperti memeluknya bukan dingin yang seperti tadi, tapi rasa hangat yang dia rasakan, bahkan aromanya seperti farfum yang Kevin miliki, air matanya kembali membanjiri pipinya, sekarang lebih hebat dari yang tadi, sampai sesak yang tak tertahan dalam dadanya semakin menyakitinya, lalu gelap, Gisha terlelap dalam pelukan bayangan hitam yang tidak mau dia yakini keberadaanya.