Blue. 2

177 22 0
                                    

Gisha memutuskan untuk keluar dari kamarnya setelah tiga hari mengurung diri tanpa melihat matahari.

Bukan karena dia sudah cukup tenang, atau pun dia sudah cukup mampu menghadapi kenyataan bahwa Kevin benar-benar pergi, tapi karena rasa lapar yang menyerang tubuhnya,
membuatnya terpaksa keluar kamar, menyusul Kevin mati memang sempat terlintas dalam kepalanya, tapi dia juga masih yakin bahwa Kevin belum mati.

Jam menujukan pukul empat kala dia keluar dari sarangnya, Gisha menuruni tangga dengan pelan, langkahnya bahkan tidak terdengar oleh sekoloni semut yang melintas, seperti mengambang, tidak napak tanah, hening, hanya suara gaduh dari dapur yang menampakkan kehidupan dalam rumah besar ini, Gisha berjalan ke sana.

"Astaga, Ya ampun non ngagetin bibi aja? Non Gisha mau dibuatin apa?"

"Susu." balas Gisha singkat, lalu menarik tempat duduk di tengah ruang makannya, Gisha memperhatikan segala tingkah pembatunya yang sibuk membuat susu untuknya, tangan Ghisa terulur lalu memainkan pisau buah yang ada di tengah meja.

Jika dilihat, keadaan seperti ini semacam film horor , di mana seorang wanita psikopat sedang merencanakan pembunuhan kepada pembantunya yang tidak berdosa. bagaimana tidak, saat ini keadaan Ghisa sangatlah mengerikan. rambutnya berantakan, begitu pula wajahnya, matanya yang seperti zombie, dan bajunya lusuh karena tak ganti juga tak mandi selama tiga hari, serta pandangan matanya kepada sang pembantu yang begitu mengerikan juga tangannya yang sedang memainkan pisau buah menjadi satu frame yang pas dalam scene film horor.

Masih dalam keheningan Gisha meminum susunya, membasahi kerongkongannya yang sudah tiga hari tak tersentuh apa pun selain ludahnya sendiri.

Gisha ingin menangis kala kenangan tentang Kevin melintasi kepalanya, begitu banyak kenangan di rumah ini bersama Kevin, bahkan dalam dapur pun, tapi dia gagal menangis karena ucapan Titis, pembantunya.

"Cinta itu abadi non."

"Maksudnya?"

"Titis tau non Gisha baru saja kehilangan hampir separuh bagian dari hidup non, tapi non harus tahu, non cuma kehilangan wujudnya bukan rasanya, karena seperti yang saya bilang, cinta itu abadi non."

Gisha diam, mencerna setiap kata dari pembantunya.

"Haruskah Gisha terima kenyataan bi?"

"Sekali pun non menolak, kenyataan tetaplah kenyataan, jalani aja non, mau kabur ke mana pun gak akan merubah kenyataan kan non?"

Gisha diam kembali.

"Siapin perlengkapan sekolah Gisha, hari ini Gisha masuk, bener kata Bibi, sekuat apa pun aku menolak kenyataan tetaplah kenyataan."

Gisha tersenyum singkat pada pembantunya, senyum pertama setelah tiga hari lalu, matanya menutup rapat seperti menekan sebuah gejolak, lalu Gisha beranjak dari duduknya, melangkah pasti menuju kamar, "Mandi." gumamnya dalam hati.

***

Setelah kegiatan memulas liptint pada bibirnya selesai Gisha bangkit dari duduknya, menatap penampilannya pada kaca, matanya yang seperti zombie sudah hilang karena obat mata cukup mampu memudarkan warna merahnya, bibir pucatnya tercover karena polesan liptint tadi.

Bayangan hitam yang sejak tiga hari yang lalu menemaninya juga terlihat siap di belakang tubuh Gisha.

Gisha tidak merasa takut atau pun risih pada bayangan hitam yang mengikutinya ini, dia tidak terlalu percaya degan hal tak kasat mata, tapi entah mengapa hati kecilnya berharap bayangan hitam ini adalah bagian dari Kevin.

IMBROGLIO Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang