Toko

2.4K 63 10
                                    

     Aku berjalan menyusuri emperan toko. Cuaca tidak seberapa panas. Hanya mendung di siang hari. Aku senang karena bisa jalan-jalan lebih lama tanpa kepanasan. Lagipula sudah lama aku tidak keluar kamar. Aku sedikit terkejut ketika berada di jalan raya ini. Merasa terasingkan di tengah hiruk pikuk keramaian. Seperti berada di planet antah berantah dengan lautan manusia, haha. Awalnya terasa pusing tapi akhirnya aku bisa sedikit terbiasa. 

     Sebenarnya aku jalan-jalan karena ingin mencari beberapa barang untuk keperluan pekerjaanku. Pekerjaanku tidak penting, hanya seniman amatiran. Meskipun begitu aku menyukainya. Aku minat terhadap musik dan lukisan. Tetapi bukan berarti aku ahli bermain musik dan mudah terinspirasi dalam melukis. Aku hanya suka mendengar musik dan bahkan aku mengerti nadanya. Aku pun tidak buta nada. Aku bisa membedakan yang mana D minor, C# minor, G mayor, dan sebagainya. Bahkan aku bisa membayangkan imajinasi apa yang terkandung dalam sebuah lagu. Tetapi aku tidak bisa bermain musik. Tanganku tidak terlatih untuk memainkan alat musik. Sebaliknya, tanganku sering melukis, tetapi aku susah mendapatkan ide. Jadi kugabungkan saja, melukis sambil mendengarkan musik.

     Semakin lama aku berjalan aku semakin sadar beberapa orang mengamatiku. Apa yang aneh denganku? Mungkinkah bajuku? Kurasa tidak. Celana jeans dan jaket hoodie abu-abu yang kupakai tidak mencolok. Aku berhenti di depan etalase untuk melihat pantulanku di kaca hanya sekedar meyakinkan diriku kalau aku tidak aneh. 

     Oh tidak!

     Aku terlalu tampan.

     Mungkin mereka terpesona oleh wajahku. Kupasang headset di telingaku dan kembali berjalan dengan keren. Sejujurnya, ini membuatku malu. Aku bukanlah orang yang mempunyai kepercayaan tinggi tingkat dewa karena ketampanan. Aku akan semakin malu menjadi pusat perhatian orang. Tatapan mereka mengganggu sekali. Apalagi dulu di sekolah, tatapan memuja semua cewe itu membuatku menjadikan mereka makhluk horror.  Lebih mengerikan lagi tatapan teman cowo. Mereka menatapku iri karena merebut semua perhatian cewe di sekolah. Hanya beberapa teman yang baik padaku dan mau mengerti kondisiku. Itu karena mereka sama tampannya denganku.

     Tunggu

     Tatapan orang di jalan ini bukanlah tatapan memuja. Mereka menatapku aneh. Aku merasa benar-benar terganggu kali ini. Raut wajah orang lalu lalang berubah menjadi menakutkan. Semakin aku berjalan menjauh tatapan mereka seolah terus mengikutiku. Dahiku berkeringat. Langkahku semakin tidak teratur. Aku tidak tahan lagi. Kepalaku mulai pusing. Aku tidak akan nekat keluar kamar lagi siang hari. Terlalu berbahaya. Aku berjalan lebih cepat. Seseorang tolong bantu aku. Hentikan tatapan mereka. Kalau perlu bunuh mereka. Nafasku semakin sesak. 

     Seketika aku berhenti di depan toko musik tua. Tanpa pikir panjang aku langsung masuk toko untuk menghindari orang-orang di luar. Aku akan bertahan di dalam toko sampai jalan sedikit sepi. Aku menunduk terengah-engah. Hingga nafasku semakin normal dan aku sudah tenang. Kuedarkan pandanganku di seluruh sudut dalam toko. 

     Menakjubkan

     Aku baru tau ada toko seperti ini. Toko dengan gaya klasik eropa yang penuh dengan jajaran rapi alat musik tua yang masih elegan dan pasti berharga mahal. 

     "Tidak mahal kok kak." 

     Aku menoleh, terkejut dengan suara seseorang yang seolah menanggapi isi pikiranku. Seorang anak laki-laki kecil berwajah lucu dan tampan yang menatapku riang. Kuperkirakan usianya 8 tahun di bawahku. Aku sedikit malu di tatap seperti itu oleh anak kecil di depanku ini. 

     "Aku anak pemilik toko ini kak. SIlahkan melihat-lihat. Kebetulan ayah sedang keluar."

     Anak pemberani, sudah mampu menjaga toko sendiri. Aku hanya bisa tersenyum mengiyakan. Dia membalas senyumku dan berjalan ke arah sebuah grandpiano antik di ujung ruangan. Aku pun kembali menyusuri toko ini dan melihat-lihat koleksi disini. Tak lupa kupasang headsetku lagi dan mendengarkan lagu klasik. Cocok untuk suasana toko ini. 

     Tiba-tiba telingaku menangkap suara lain. Ini bukan dari lagu di headsetku. Kulepas headsetku dan mencari tau arah suara berasal. Ini suara dentingan piano yang berasal dari ujung ruangan. Ah, anak laki-laki itu.

     Indah sekali. 

     Jari-jarinya menari di atas tuts piano. Aku mendekat perlahan. Permainannya menghanyutkan. Ekspresinya saat memainkan lagu ini benar-benar menjiwai. Ide lukisan pun muncul di kepalaku. SIal, aku tidak membawa alat lukis. Oh iya. Segera ku rekam lagu ini menggunakan ponselku. 

     "Indah sekali. Lagu apa ini?" tanyaku begitu dia selesai.

     "Kuberi judul Lullaby kak"

     "Kamu membuatnya sendiri?"

     "Iya, aku mengarangnya sendiri. hehe". Senyumnya manis.

     "Kenapa kamu beri nama Lullaby? Memang tadi lagu pengantar tidur?"

     "Bukan kak, tapi untuk mengiringi pengunjung di toko ini, agar mereka bisa tenang seperti ketika orang sedang tidur." 

     Aku terperangah. Anak ini terlalu baik. Kebaikan dan pengertiannya membuatku hangat. Dia seolah mengerti alasanku masuk kemari adalah karena kepanikanku di jalan.

     "Wajah kakak memerah. hahaha"

     Ugh, kutundukan wajah dan kugunakan tangan untuk menutupi ekspresiku. Sialan, aku dipermalukan oleh anak kecil. Sebaiknya aku harus segera pulang. Kalau tidak cepat ide di kepalaku nanti akan hilang. 

     "Hey, siapa namamu?"

     "Foxy kak."

     "Terima kasih Foxy." 

     Aku berlalu keluar toko. Berhenti sebentar dan mengamati anak itu dari luar jendela. Dia masih tersenyum manis padaku. 

    Ah, aku harus bergegas...

LullabyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang