Lukisan

991 42 10
                                    

     Gawat, ideku mulai memudar. Begitu sampai rumah, aku langsung berlari ke ruangan lukisku. Kuas, kanvas, palet, meracik cat, aku mencari dengan panik benda-benda itu di sudut ruangan. Harus segera. Kupejamkan mataku, memulai imajinasi yang sempat kuingat-ingat tadi. Seketika muncul tarian sketsa hitam putih.  Sketsa itu bergerak-gerak seperti animasi. Bergerak dari bentuk abstrak hingga berwujud manusia yang sedang berdiri di atas tebing. Manusia itu tampak menikmati hembusan angin. Aku mulai menikmati imajinasiku sendiri. Sambil terus memainkan nada Lullaby di kepalaku. Mungkin bagi orang biasa, kepalaku terlalu rumit untuk berimajinasi. Tetapi kurasa aku harus bersyukur untuk satu hal. Aku mampu memetakan sistem imajinasi otakku. Jadi aku mampu berimajinasi lebih dari satu jenis secara bersamaan. Tetapi tetap saja, aku masih tidak mampu untuk berimajinasi tanpa musik.

     Dan warna-warna itu mulai muncul. Kini bergantian tarian warna menyelimuti sketsa manusia di atas tebing. Tetapi kenapa aku mulai merasa bosan? maksudku apakah manusia itu hanya berdiri di atas tebing saja? Pasti ada sesuatu yang hilang. Aku yakin tidak hanya manusia itu. Tapi apa? Apa yang hilang itu? Aku mencoba lebih mengingat lagi. 

     Pudar. Semakin samar.

     Aku mulai kesal. Sampai kemudian aku ingat sesuatu.

     Rekaman Lullaby!

     Aku berlari mengambil jaket di ruang depan. Segera kuacak saku jaket demi sebuah ponsel. Kemudian aku berlari kembali ke ruang lukis dengan menggenggam ponsel. Entah bagaimana aku menggambarkan ekspresiku saat ini. Pasti seperti seorang anak yang dikejar ribuan anjing, haha. Bedanya aku dikejar waktu, bukan anjing. Tapi meski wajahku tampak kacau, aku masih tetap tampan bukan?

     Memasang headset dengan cepat, tak lupa memaksimalkan volume mp3. Aku ingin tenggelam untuk saat ini. Aku kembali berdiri menghadap kanvas putih kosong. Muncul kembali tarian sketsa tadi diiringi oleh Lullaby. Aku tersenyum, semua lebih jelas. Aku langsung menggoreskan pensil ke kanvasku. Aku benar-benar menikmati ini. Tanganku menari tidak berhenti. Sketsa yang kubuat semakin jelas. mungkin sekitar 65%. Tak lupa aku berdendang. Haha, kalian bisa saja lebih terpesona mendengar suaraku. 

     Hilang

     Tanganku terhenti. Aku kembali mengamati sketsaku. Sudah benar. Tapi selanjutnya apa. Bagaimana ekspresi manusia ini? Bagaimana keadaan sekitar ketika dia menikmati hembusan angin di atas tebing? Tenang... Aku harus tenang. Kuputar ulang  Lullaby dan aku kembali memejamkan mataku. Animasi itu kembali berputar. Ini sudah benar. Aku mencoba melanjutkan melukis sketsaku. Tenang, tetap tenang. Semakin lama tanganku semakin gemetar. Aku menghela nafas berkali-kali. Kucoba terus berkonsentrasi. 

     Argh!!!

     Dengan gusar kubanting pensilku. Kenapa semakin kacau. Pasti ada yang terlewat. Aku mengacak rambutku frustasi. Kulihat jendela luar, hari semakin gelap. Mungkin aku harus bersantai dulu. Aku keluar ruang lukis. Pergi keseluruh ruangan dan menutup semua jendela yang terbuka. Jangan membayangkan rumahku ini besar. Hanya rumah kecil seperti kontrakan, tetapi ini pemberian pamanku, karena aku bersikeras ingin tinggal sendiri setelah lulus sekolah.  Tak lupa kunyalakan lampu dan obat anti nyamuk. Dan jangan bayangkan yang bentuknya melingkar seperti hipnotis ataupun yang berwujud semprotan. Pembasmi nyamuk yang kugunakan adalah jenis elektronik.

     Aku lupa belum makan. Membuka lemari es hanya tersedia makanan kaleng dan mie instan. Aku bukan orang yang suka berbelanja, kecuali ada pasar yang sepi. Aku memilih memasak makanan kaleng seadanya. Yang terpenting adalah kenyang. Setidaknya aku rajin olahraga, jadi jarang sakit meskipun makanannya kurang bergizi. Setelah kenyang makan, aku selalu menyeduh kopi. Ha, benar-benar tidak sehat. Tapi tidak ada pilihan lain untuk tenang selain kopi. Ketika tengah bersantai, ponselku berbunyi. Oh, panggilan dari kakak perempuanku.

     "Halo."

     "Besok mama akan berkunjung"

     "Kau ikut?"

     "Tidak bisa, pekerjaanku banyak, hanya bisa mengantar mama sampai stasiun"

     "Oh, Baiklah"

     Aku tidak terlalu peduli. Tapi setidaknya mama bawa oleh-oleh. Sebaiknya aku kembali ke ruang lukis, pikiranku sudah rileks. 

     Kupasang headset di telinga dan kembali menatap kanvasku. Perlu beberapa detik untuk mengembalikan ketenanganku seperti semula. Kemudian muncullah serbuan garis-garis sketsa. Mereka menari membentuk sebuah pola. Kali ini lebih sempurna dari yang tadi. Mereka bergerak lincah hingga tanpa sadar tanganku mengikuti mereka. Aku terlalu menikmati hingga tanganku melukis tanpa bantuan visual. Ya, aku melukis dengan mata terpejam. 

     Animasi sketsa di kepalaku bergerak semakin liar. Aku senang ini karena bantuan secangkir kopi. Mulai terbentuk semakin jelas. Karena lagu ini indah, manusia di kanvas pun menjadi indah meskipun masih dalam pengerjaan 80%. Dia tetap menikmati hembusan angin di atas tebing. Aku mulai memberi warna pada sosok manusia di kanvas ini, karena tidak ingin kehilangan inspirasi lagi. Dan tanganku berhenti pada bagian ekspresi wajah manusia ini. Dahiku mengernyit, ini membingungkan. Kenapa ekspresinya sedih sekali. Ini berbeda lagi. Kenapa tidak seperti ketika di toko tadi?

     Tunggu, sepertinya aku harus mendengarkan Lullaby secara langsung.

     Lalu aku baru sadar jika di bagian langit ini bukan sketsa awan. Setelah aku memperhatikan dengan detail, ini adalah sketsa wajah-wajah manusia yang membentuk gumpalan awan. Aku hanya bisa membulatkan mata karena terkejut.  Apa ini? Tadi seingatku yang kugambar adalah awan. Sepintas ini memang awan, tapi dilihat secara detail ini adalah wajah-wajah orang. Aku hanya bisa diam menatap kanvasku. 

     Aku teringat di jalan tadi siang. Orang-orang yang menatapku aneh, bahkan semakin lama semakin menakutkan. Seolah aku adalah penjahat. Kuas yang kupegang lepas karena tanganku gemetaran. Aku tidak tahan lagi. Udara terasa semakin menipis. Tanganku secara reflek mendorong kanvas hingga jatuh. Aku harus tenang... harus tenang...

     Tidak bisa.

     Lullaby yang kurekam berbeda dengan yang asli. Imajinasi dikepala berbeda feelnya. Segera kurapikan ruang lukisku, kemudian aku keluar dan menutup pintu. Aku harus tidur.

     Besok aku harus menemui Foxy lagi.

LullabyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang