Lullaby (2)

644 43 16
                                    

     Sejuknya pagi ini. Hampir setiap pagi aku jogging di sekitar rumah. Terkadang aku menyukai pagi. Karena bisa beraktifitas tanpa dilihat banyak orang. Selain itu tidak akan menyilaukan mata karena matahari masih belum muncul di ufuk timur. Kaos abu-abuku mulai basah karena keringatku. 

     Ketika matahari mulai menampakkan sinarnya, aku segera pulang. Cukup melihat beberapa detik saja keindahannya. Dan cukup beberapa detik saja sinarnya menerpa wajah dan rambutku. Dari kejauhan terlihat mama membawa bungkus belanjaan. Ah, aku lupa memborong makanan kemarin. Sedikit berlari kuhampiri mama.

     "Maaf, kemarin aku lupa membeli makanan."

     "Makanan apa? kalau kau bilang seperangkat makanan instan mama tidak suka. Mama jadi khawatir setiap hari kau makan makanan tidak bergizi."

     "Aku baik-baik saja. Sini kubawa belanjaannya."

     "Apa dokter May sudah bangun?"

     "Sudah. Tapi dia pergi sebentar. Ada pasien yang menelepon katanya."

     Sudah lama aku tidak makan makanan seperti ini. Warna-warni lauk, dan berbagai macam aroma hidangan. Seminggu mama di sini, membantu proses healing badanku, haha. 

     "Bagaimana kerjaanmu?"

     "Baik-baik saja. Sedang libur pesanan."

     "Pantas saja kau tidak di depan komputer seharian."

     "Hm.."

     "Memang kau tidak ingin melanjutkan sekolahmu?"

     "Belum ma. Aku masih ingin menikmati pekerjaanku saat ini."

     "Apa gaji sebagai web designer cukup untuk menghidupi kebutuhanmu?"

     "Haha, beruntunglah aku bukan cewek ma." Karena ketawaku nasi di sendokku hampir jatuh.

     "Habiskan makananmu. Setelah ini ikut mama jalan-jalan."

     "Maaf, hari ini tidak bisa. Aku ada urusan dengan teman."  Setelah membereskan makananku, aku segera mengambil jaket hoodieku dan memasang headset. 

     "Aku berangkat dulu. Nanti siang aku pulang."

     "Hati-hati" mamaku hanya bisa menghela nafas.

     Kurasa jalanan tidak terlalu tampak mengerikan. Aku mulai terbiasa mengabaikan tatapan orang-orang. Meskipun begitu, masih ada aura mencekam. Mungkin berlebihan, tapi kata-kata apalagi yang pantas? Tetap saja aku tidak tahan. Kupercepat langkahku. Kuputar lagu rock untuk membantu mengalihkan perhatianku. Sebentar lagi sampai. 

     "Kakak!" 

     Perhatianku seketika teralihkan oleh satu suara. Aku menatap heran. Tidak biasanya Foxy berdiri di luar toko. Dia melambaikan tangan dengan semangat. Semua bebanku rasanya ringan.

     "Hai." Aku tersenyum dan mengacak rambutnya. 

     "Ayo masuk kak. Ayah memberiku kue banyak!"

     "Ayahmu pergi lagi?"

     "Iya kak. Ada urusan bisnis dengan pelanggan katanya. Tadi aku mau diajak. Tetapi aku sudah bilang ayah kalau kakak akan kesini. Jadi dia beli kue banyak untuk sarapan kita berdua!" Semangat sekali. Aku hanya bisa meringis. Sepertinya perutku akan sangat penuh.

     "Hm." aku mengangguk dan membiarkan dia menyeret tanganku memasukki toko. Sebelum sempat menutup pintu, aku memandang ke arah jalan dan melihat dokter May di seberang. Aku tersenyum ke arahnya. Tapi dia hanya menatap kosong. Mungkin dia tidak sadar dengan keberadaanku. 

     Seperti biasa, setelah menemani Foxy sarapan, kami pun melanjutkan kegiatan kemarin. Pagi yang indah. Aku merasa, hari-hariku semakin menyenangkan sejak bertemu dengan Foxy. 

     

------

      "Kakak tau tidak?"

     "Tidak."

     "Aku belum selesai bicara." Dia cemberut. Haha

     "Kakak itu keren sekali!"

     "Keren?" Kuakui aku memang tampan, tapi untuk kata keren, itu terlalu luas bagiku.

     "Iya! Kakak itu tinggi, cool, pelukis, punya selera musik, ramah, baik, pokoknya sempurna!" Dia bercerita tentang diriku dengan riang dan antusias. Anak yang penuh semangat.

     "Aku tidak sesempurna itu."

     Kami terdiam sesaat. Kulihat dia hanya memandang ke atas di mana tempat lukisanku digantung. Ya, aku dan Foxy sedang tiduran di lantai, di sebelah grandpiano. Mungkin karena lelah berjam-jam terbang dalam imajinasi Lullaby untuk menyelesaikan lukisanku. Dia menjadikan lenganku sebagai bantal kepalanya. 

     "Dari dulu aku ingin seorang kakak. Kakak mau tidak jadi kakakku?"

     "Kamu memilih kakak?"

     "Iya. hehe" Entah memang ingin tersenyum atau dia mencoba merayuku dengan senyumannya.

     "Kenapa?"

     "Karena aku menyukai kakak."

     

LullabyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang