Alexander Irsyad.

54 2 0
                                    

Lelaki itu menghampiriku dan bertanya "Permisi, boleh saya duduk disini?"
Dengan nada tersentak dan ragu aku menjawab "Iya, boleh"

Aku mulai menyumbat telingaku dengan earphone dan membuka novel yang telah ku siapkan. Aku tidak begitu menghiraukan lelaki yang duduk sebelahku. Aku larut dengan cerita yang disampaikan novel tersebut. Sampai aku membalikan halaman novelku ke halaman 10, ada sebuah tangan yang mendarat tepat di bahu kananku yang membuatku sontak kaget. Aku melihat dari mana asal tangan itu, ternyata itu adalah lelaki yang berada di sebelahku.

"Nama gua Irsyad, Alexander Irsyad" katanya dengan pede memberikan tangannya.
Dengan ragu aku menjawab "Salam kenal, nama gue Athaya Amani". Aku panik, di dalam pikiranku hanya terbesit kasus penculikan dan hipnotis yang terjadi di kendaraan umum yang kubaca di surat kabar beberapa waktu lalu. Karena aku tidak terbiasa berkenalan dengan seorang lelaki yang sama sekali tidak ku ketahui asal usulnya. "Lo baca novel apa?" Katanya dengan nada penasaran. "John Green, Looking For Alaska" kataku. "Lo suka John Green? gua udah pernah baca tu buku" 
"ooh,iya" kataku dengan singkat.

Kereta itu pun sudah mulai dipadati penumpang, akhirnya kereta itu bergerak seolah dibawa angin kencang. Tidak lama setelah kereta berjalan, Irsyad bertanya lagi "Ke Jogja mau ngapain?" Aku pun menutup novelku dan memasukannya ke dalam tas sebelum menjawab pertanyaan Irsyad.
Aku pun menjawab "Gue mau kuliah di Jogja, kalo lo?" "Kalo gua, mau ngunjungin kakek gue yang lagi sakit".

Seketika suasana menjadi hening, aku memandangi indahnya pemandangan sawah diluar kereta. Irsyad pun tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Dia sibuk merombak isi tasnya mencari sesuatu, dan akhirnya ia mengeluarkan sesuatu dari tasnya yang menarik perhatianku, yaitu sebuah buku gambar kecil yang depannya sudah ia gambar. Perhatianku berpaling, dengan rasa penasaran, aku mencuri pandang apa yang sedang ia kerjakan. "Kenapa liat-liat? Kepo yaa" dengan nada menyindir. Aku pun tersipu malu mendengar perkataan Irsyad dan dipotong dengan ketawa Irsyad yang besar dan membuat seisi gerbong kereta menengok ke arah sumber suara. "Woi! HAHA kenapa muka lo harus kaget gitu sih lucu tau" kata Irsyad disela-sela tawanya. Dengan diliputi rasa malu dan kesal, aku reflek mengambil jaketku dan menutup seluruh wajahku dengan jaket itu. Setelah perhatian semua orang kembali seperti normal, dengan sekuat tenaga aku memukul bahu Irsyad.

Bukk

Pukulan yang cukup keras mendarat ke bahu Irsyad yang bidang. "AW!, sakit Thay". Dengan nada kesal aku menjawab "Biarin, rasain lo bikin malu gue". Sambil menepuk-nepuk pundaknya dia sempat tersenyum dan berkata "Yaudah maaf yaa Thay". Aku hanya menjawab dengan senyuman. Irsyad pun kembali fokus dengan buku gambarnya dan mulai menggoreskan pensilnya.

Beberapa menit kemudian Irsyad berhenti menggores pensil pada salah satu lembar buku gambarnya dan merobek lembar tersebut. Robekan kertasnya otomatis menarik perhatianku dan dia tiba-tiba memberikan lembaran kertas yang dirobek dari bukunya itu kepadaku. Aku tersentak kaget melihat lembaran itu, apa yang dia gambar membuatku tersenyum dengan sebuah kata-kata yang memikat hati.

Itu adalah gambar diriku yang sedang memandangi keluar jendela kereta dan diselipkan tulisan "Maaf Athaya" di bagian ujung kanan bawah kertas itu. Sambil menyodorkan kertas lembar bergambar itu, Irsyad tersenyum menyeringai.  "Ini beneran lo yang gambar?" kataku ragu. "Iyalah, menurut lo dari tadi gua coret-coret kertas ngapain?". Dengan masih terkagum-kagum aku menjawab "Bagus banget, iya gue maafin". Gambar ini benar-benar mirip denganku yang sedang meratapi jendela kereta. "Ini buat gue?" Kataku sopan. Lagi-lagi Irsyad menjawab dengan senyumnya tanpa mengucapkan apapun. "Terima Kasih" kataku.

Irsyad pun kembali mengobrak-abrik isi tasnya mencari sesuatu. Irsyad mengeluarkan dua buah roti isi coklat yang sangat kusukai, perlahan dia membuka salah satu bungkus roti tersebut, sebelum sempat ia makan, dia menyodorkan roti satunya lagi kepadaku.
"Laper gak? Ini buat lo, kalo gak suka yaudah gausah dimakan tapi jangan dibuang".
Aku pun cepat-cepat menolak tawaran roti cokIat favoritku itu dengan alasan aku masih kenyang.

Akan tetapi alangkah cerobohnya diriku, Tiba-tiba terdengar suara dari dalam perutku, Ya, bunyi bahwa aku sedang kelaparan. Irsyad pun hampir tersedak karena ingin tertawa. Setelah ia menelan semua sisa roti yang ia makan di mulut. Dengan nada menyindir dia bilang "Yakin masih kenyang? perut lo berkata lain tuh". Lalu tanpa sadar kami berdua tertawa. Ini orang lucu juga kataku dalam hati. Aku pun mengambil roti tersebut, dan mulai memakannya. Aku sangat suka roti ini, rasanya yang gurih dengan rasa coklat yang tebal. Irsyad hanya melihatku takjub katanya aku seperti tidak makan seharian karena makan terlalu lahap.

10 jamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang