Natasya masih memegang buku Kimia Dasar. Minggu depan ia akan ujian. Hebatnya, Natasya belajar dengan mata tertutup!
Dheva yang malam itu ikut belajar di kamar Natasya tak kalah rajin. Ia masih duduk tegap dengan buku terbuka di atas meja lipat.
Kepala Natasya melenggut. Matanya terbuka. Ia tak mau kalah dari sahabatnya Dheva yang masih belajar. Namun tak lebih dari lima detik, mata Natasya kembali terasa berat.
"Duuh... kenapa sih gue gak pernah bisa nahan kantuk?" Natasya mengumpat dalam hati.
Penasaran dengan kondisi sahabatnya, Natasya melirik ke arah Dheva. Di saat bersamaan, dilihatnya Dheva menoleh ke arah Natasya dengan kondisi mata yang sudah 5 Watt!
Dheva dan Natasya masih belum sadar. Sebelum akhirnya mereka tertawa bersama.
"Hahaha... aduh, gue kira lo masih belajar, Dhev!"
"Hehe... sama, gue pikir gue doank yang ketiduran! Ternyata lo juga! Hahaha..."
"Parah nih kita. Baru 5 menit baca udah molor aja. Ckckck..."
"Ah, masa?" Dheva tak percaya mereka baru belajar selama 5 menit. Dilihatnya jam yang terpasang di dinding kamar Natasya. Jarum panjangnya memang hanya bergerak 5 menit saja.
"Ya ampuuun... parah!" Dheva akhirnya sepakat.
Minggu-minggu berikutnya, Natasya disibukkan dengan berbagai macam ujian. Semester dua akan segera berakhir sementara liburan panjang telah menanti.
Beberapa mahasiswa ada yang memilih untuk tetap tinggal di Bandung. Mengikuti perkuliahan di semester padat (SP) selama liburan. Natasya pun sama. Ia, Gita dan Dheva akan mengikuti mata kuliah kimia lingkungan.
Bukan tanpa sebab Natasya memutuskan untuk mengikuti SP. Sebenarnya ia akan disibukkan dengan persiapan menyambut mahasiswa baru. Daripada hanya sekedar sibuk di organisasi, lebih baik sekalian saja ia belajar di SP. Sekali mendayung, dua pulau terlampaui.
Menunggu hasil ujian keluar, Dheva semakin sibuk bolak-balik ke PKM, sibuk membuat proposal, menghubungi dokter dan sibuk bolak-balik ke kantor PMI untuk kegiatan donor darah di kampus yang rutin dilaksanakan setiap 3 bulan sekali.
Natasya sebenarnya sedikit cemas karena kadang Dheva jadi lupa makan. Senin pagi, tak seperti biasanya, kamar Dheva sunyi senyap. Natasya mengetuk pintu kamar Dheva. Tak ada jawaban.
KREEEK...
Natasya membuka pintu yang tak terkunci. Dilihatnya Dheva masih meringkuk dan berselimut tebal.
"Dhev, lo kenapa?" Natasya mendekat dan menempelkan punggung tangannya ke kening Dheva. Panas.
"Lo panas banget, Dhev! Udah makan belom?"
"Eeeh, Nat..."
"Gue kompres dulu ya, biar panasnya turun." Tanpa menunggu jawaban Dheva, Natasya pergi ke dapur. Menghangatkan air hingga hangat suam kuku.
Natasya kemudian menyeka tangan, kaki dan bagian tubuh Dheva lainnya agar panas tubuhnya berkurang.
"Gue buatin bubur ya Dhev..."
TOK TOK TOK!
"Dheva..." seseorang berteriak di luar.
"Bentar, gue bukain dulu."
"Dheva-nya ada?" Seorang wanita yang memakai jaket beremblem KSR bertanya. Sementara yang satunya tersenyum ramah.
"Eh? Ada... di dalem. Tapi badannya lagi panas."
Dua mahasiswa KSR itu langsung mengambil alih. Mereka memeriksa keadaan Dheva, kemudian satu orangnya pergi lagi untuk membeli bubur.
Natasya yang sedari tadi hanya berdiri di pintu kamar Dheva akhirnya mundur. Sebenarnya ia masih ingin menemani. Tapi, Natasya sadar bahwa anak-anak KSR itu jauh lebih paham tentang kesehatan daripada dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Precious
Teen FictionPernah ngerasa kalo lo salah masuk jurusan? Hidup lo penuh konflik? Pengen tau seluk beluk anak kuliahan atau sekedar ingin nostalgia dengan sejuta ceritanya? Kalo ya, berarti lo harus baca buku ini! "Teruslah memberi arti bagi setiap orang yang kau...