1

4.6K 66 0
                                    

Darling if you feel like hope is gone, just run into my arms.


***

Anna

Langit kota London dengan sinar mentari yang menghangatkan itu memenuhi hampir seluruh bagian studio balet yang berdinding kaca. Pemandangan yang terlihat dari lantai dua belas gedung ini begitu indah-dengan matahari yang belum tenggelam seutuhnya-jalanan pun sudah tampak mulai padat di beberapa titik. Antrian mobil pribadi yang bersatu dengan black cab terlihat rapi. Para pejalan kaki juga sangat teratur. Beberapa dari mereka berjalan santai di trotoar yang dipenuhi tanaman hijau, yang lainnya juga terlihat sabar menunggu sampai lampu tanda diperbolehkan menyeberang jalan menyala.

Dari tempatku berdiri sejak tadi, tanpa sadar aku tersenyum sendiri melihat semua pemandangan di bawah sana. Kurasa inilah salah satu alasan kenapa aku begitu menyukai kota indah ini, dimana semua orang di kota ini sangat peka dan turut menjaga kota ini agar tetap indah, rapi, dan teratur. Dan entah sudah berapa lama aku duduk sendirian disini mengamati semua hal di bawah sampai-sampai aku tidak menyadari seseorang telah bergabung bersamaku disini. Sentuhannya di bahuku membuatku melonjak kaget.

"Hei Ann maaf.. Aku sungguh tidak bermaksud mengagetkanmu.." ucap suara itu penuh sesal. "Kamu baik-baik saja?" tanyanya memastikan. Dia menarik tanganku dengan lembut lalu kedua tangannya memegang bahuku erat. Jarak antara kami telah terkikis cukup banyak sehingga sekarang aku dapat menatap wajahnya dari dekat. "Aku baik-baik saja Gio.. Kamu berlebihan.." balasku dengan nada bercanda seraya mundur beberapa langkah. Entah kenapa aku dapat merasakan wajahku mulai memerah jika aku dan Gio berhadapan terlalu dekat seperti tadi padahal kami ini teman baik.

"Semuanya sudah pulang Ann dan hanya kamulah yang masih bertahan di studio ini.." Sergio benar. Aku melirik ke sekelilingku dan mendapati ruangan di luar studio sudah hampir gelap dengan beberapa cleaning service tengah membersihkan lantai. Bahkan Sergio sendiri pun tampaknya sudah siap pulang dengan blazernya yang telah terkancing sempurna. "Uhm itu, aku masih ingin berlatih.. Kamu tahu sendiri Gio jika tanggal pementasan sudah dekat.." jawabku pelan sambil berjalan melewati Sergio menuju ke meja tinggi di sudut ruangan tempat pemutar piringan hitam diletakkan.

Di saat semua studio balet telah menggunakan tape, studio tempatku berlatih masih mempertahankan gramophone tua ini. Walau tua, gramophone ini masih bisa mengeluarkan alunan nada yang indah didengar. Aku menunduk mencari piringan hitam favoritku. Begitu menemukannya diantara barisan koleksi piringan hitam milik Mrs. Vivienne, aku segera memasangnya dengan hati-hati ke gramophone. Alunan musik Liebestraum no. 3 milik Franz Liszt mulai terdengar dengan sangat merdunya memenuhi seisi studio.

"Ehm Gio.. Kamu tidak jadi pulang?" tanyaku tak nyaman. Gio dan aku berada di level yang berbeda jadi saat latihan kami jarang bersama. Wajar saja sekarang aku malu jika harus latihan sendiri di hadapan Sergio yang masih begitu betah berdiri di tempatnya tadi dan menatapku lekat-lekat layaknya aku tontonan yang menarik. "Aku akan mengawasimu dari sini karena aku yakin kamu pasti berniat menyiksa kedua kakimu lagi setelah ini.. Lagipula aku memang ini mengajakmu makan malam bersama.." elak Segio dengan nada final. Tidak terbantahkan.

Tanpa sadar aku pun menghela nafas meratapi kekalahanku dan memaksa mengeluarkan seulas senyum tipis sementara Gio malah memamerkan senyuman lebar penuh kemenangannya. Senyuman yang menurut banyak wanita sebagai senyuman yang amat sangat menawan.

Sebelum mulai menari, aku memastikan jika point shoes yang kukenakan telah terikat sempurna. Aku lalu berjalan menuju ke salah satu bagian besi penyangga yang mengelilingi ruangan studio kaca ini. Aku mulai memejamkan mata dan bergumam mengikuti irama musik. Saat musik memasuki bagian reff, aku menarik nafasku dalam lalu mulai berlatih pemanasan.

SacrificeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang