Setitik Rasa Dari Syurga

75 6 1
                                    

Hari ini adalah hari ke dua puluh enam dimana musim dingin di London telah dimulai. Senja di hari ini telah berlalu dari tiga jam lalu, dan kini gelaplah yang tengah menemaniku. Namun tak sedikitpun aku merasa takut, yang kurasakan hanyalah kekhawatiran. Jika kau tanya mengapa, mungkin aku bisa menjelaskannya. Semua ini dimulai dari kejadian sembilan tahun lalu.

Saat itu usiaku tepat delapan belas tahun, dan seni rupa adalah bidang studiku saat masih menjalankan pendidikan tingkat tinggi di London University.
Mengapa seni?
Akan kujawab, karena aku menyukainya.
Walaupun kau tak ingin, tapi kali ini aku akan memaksa.
Namaku adalah Hayi Lee, dan kau tak perlu mengetahui yang lainnya.

Memiliki banyak teman dan selalu pergi bersama bukanlah impianku dahulu. Tapi betapa merasa bodohnya aku sekarang, kenapa aku berpikiran sangat dungu? Hingga kini hanyalah Suhyun, sahabat baikku yang selalu dan senantiasa membiarkan air matanya tercucur, bahkan saat aku tak bersamanya. Dan mungkin seiring kisah ini, akan ada pula asa lain yang tak sempat tersampaikan.

Hari itu, tepatnya hari Rabu. Aku sedang menikmati hembusan angin musim gugur yang menerpa wajah, rambut panjangku terhempas, mengkhawatirkanku jika mungkin saja akan tersangkut ke suatu arah. Ingin rasanya ku lukis dedaunan rapuh yang terayun sampai ke tanah itu, namun kuas serta kanvasku, dengan bodohnya tertinggal di pekarangan rumah. Karena sekali lagi dengan bodohnya, aku terburu-buru pergi ke universitas dan meninggalkanmu, wahai teman hidupku. Tapi kupikir ini tak perlu berlarut, karena aku masih bisa bersyukur bahwa Tuhan telah mengaruniaiku sepasang mata yang masih bisa mengabadikan setiap indah ciptaannya yang tersaji.

Saat kupikir telah cukup, aku berlalu dan menyusuri jalanan menuju halte bus. Disanalah setiap harinya dua puluh menitku dihabiskan. Menunggu kedatangan sebuah bus biru bernomor nol delapan, karena hanya bus itulah yang bisa membantuku tiba hingga dekat ke rumah. Kuhubungkan earphone putihku pada ponsel yang setidaknya sudah dua tahun menjadi milikku ini. Salah satu lagu The Carpenters kemudian mengiang di telinga, yang entah mengapa selalu mengingatkanku pada si gendut bermata minimalis teman kecilku.
'Hey kenapa kau cepat sekali datang?'
Ucapku dalam hati saat jemputan setiaku tiba.
Bangku kanan dibarisan ke lima, tempat sakral bagiku.
Karena disanalah hampir setiap harinya baik pergi dan pulang aku duduk dan menunggu waktu sampai saatnya aku tiba di halte selanjutnya.

Tuk
Tuk,

"Maaf mengganggumu Nona, tapi sepertinya kursi di sebelahmu kosong. Bolehkah aku mengisinya?"
Tanya sebuah suara baritone pada si gadis. Yang kemudian dibalasnya dengan anggukan.
"Hey, apa kau suka dengan The Carpenters?"
"Kau menguping?"
Jawab Hayi sinis pada lelaki di sebelahnya.
"Tak bermaksud. Hanya saja kau memutarnya sedikit keras"
Kemudian hening di antara mereka.
Sampai kemudian si gadis menekan sebuah tombol disamping jendela yang menandakan ia akan turun di pemberhentian selanjutnya.

----
----
----

"Permisi. Nona!"
Pria baritone tadi yang menyapanya.
Tubuhnya tinggi, dan rahangnya tegas. Sangat menarik rasanya sampai kiranya Hayi ingin coba mematahkan.
"Apa perlumu?"
"Santai. Gelangmu ini tertinggal, aku hanya coba mengembalikannya. Dan kau tak perlu berterima kasih untuk itu"
Hayi, hanya mengambil apa yang menjadi miliknya, gelang berbandul pesawat kecil. Lalu pergi tanpa sepatah katapun terucap dari bibirnya.
"Sampai jumpa lagi, Nona Pesawat!"
Dengan ucapan itu pula, Hayi mengeratkan genggamannya pada gelang yang sudah melekat pada pergelangan tangan kirinya selama bertahun-tahun itu.

Hingga esok hari tiba, dan area taman belakang tak seindah yang biasanya Hayi rasakan. Karena dengan tidak sopannya sebuah senyuman menyilaukan menyambutnya tepat di bawah pohon yang rindang di ujung selatan taman.
"Sedang apa kau di sana? Mencariku?"
Masa bodoh dengan tingkat percaya dirimu pria gila, gadis itu bukan datang untuk mencarimu. Sekejap Hayi pergi, sekejap itu pula pria itu mengejarnya.
"Nona! Ayo berkenalan lagi"
Dan itu sukses membuat Hayi terhenti serta berbalik menatap pada pria itu, marah dan bingung kini meliputi pikirannya.

"Cepat dan lakukanlah"
"Baik"
Kemudian pria di hadapan si gadis menjulurkan tangan kanannya, berharap lawannya bersedia untuk melakukan hal yang sama. Namun agaknya harapan hanyalah harapan jika kau tidak berusaha untuk mewujudkannya. Sebab dari itulah dengan beraninya pria itu menggaet tangan kanan si gadis dan mengamitkan tangan kanannya pada tangan kanannya sendiri. Melakukan gerakan tangan tanda perkenalan seperti pada umumnya.

"Namaku Bobby, si pria gendut yang sekarang sudah tampan. Senang rasanya kembali bertemu denganmu, Nona Pesawatku"

Sudah sedari kemarin Hayi menyadari ini, tapi tiada menyangka bahwa Bobby, si teman kecilnya yang dulu gendut dan sipit itu masih mengingatnya. Haru seolah menyeruak dan ingin untuk segera dilepaskan, namun rasa lain mengatakannya untuk tidak.

"Tak ingin menjawabku?"
"Diam dan coba pikirkanlah bodoh"
"Ini tak sesuai keinginanku. Kita kembali dan kau seperti bukanlah orang yang sama"
"Karena kau, waktu dan harapanku yang terlalu tinggilah yang membuatku berubah, Tuan"

Gadis itu kemudian berlalu, dan menyisakan tingkat perasaan aneh yang tinggi pada otak si pria. Karena seharusnya, ia merasakannya dengan hati, dan itu kemudian akan terjawab dengan ringannya.

"Tunggu, apa ia sedang bermain peran denganku seperti dulu lagi?"
Oh ayolah Bobby, masa kanak-kanakmu sudah berlalu.

----
----
----

Hari berganti minggu, dan kemudian berganti bulan lalu tahun. Sudah delapan kali musim berganti dari kembalinya Bobby ke London, tapi hati bodohnya tak kian juga untuk mengerti. Kebersamaan serta keakraban mereka lambat laun kian pulih dan membaik. Namun satu, rasa yang membuatnya berbeda. Hayi tak bisa lagi mengharapkan Bobby serta dengan segala kedunguannya yang ia punya, berkali ia mencoba dan berkali pula ia gagal. Rasanya sulit untuk tersampaikan, dan Bobby dengan enggannya untuk memberi sebuah kesempatan. Sampai akhirnya Hayi tertuju pada suatu pilihan.

"Kau ingin balas dendam padaku ya?"
"Bodoh, untuk apa?"
"Entahlah. Ku rasa kau hanya ingin"
" Terserah apa katamu, tapi ku harap kau tidak rindu dan segera menangis setelah aku pergi"
"Hah. Kau pikir air mataku ini akan dibuang percuma?" Dan kemudian Hayi mengedikkan bahunya.

"Baiklah, satu pelukan gratis untukmu"

Lalu hangatnya pelukan Bobby mengungkung si gadis, dengan perasaan yang membuncah air matanya sedikit mengalir dari ujung mata. Tak sampai satu menit, si gadis melepaskan pelukan yang ia dapat. Kemudian,
"Terima kasih"
"Tentu. Haruskah ku jawab dengan kalimat sama-sama?"
"Cobalah menjadi pintar Bobby, aku sudah muak untuk mengataimu dengan kata bodoh"
"Baik aku mengerti"
Tersenyum, kemudian pria itu lanjutkan dengan melakukan pose hormat seperti para aparat.

"Sekarang, aku pergi. Kali ini sungguh, ku harap kau tidak lupa untuk selalu merindukanku, Tuan Pesawat"
"Ya, dan tentu. Aku akan merindukanmu"

----
----
----

Langit pagi ini tak begitu cerah, entah ada apa dengan London di hari Sabtu ini. Tapi yang jelas, Bobby tak menyukainya. Kemudian angin lembut menerpa permukaan wajahnya, dan sebuah pesawat melintas di udara tepat ketika pandangan matanya tertuju kesana.
"Hey, Nona Pesawat!"

.
.
.
.
.
.

'Hanya satu hari lagi,
hanya satu jam saja,
hanya satu menit,
ku mohon berhentilah sebentar'

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 06, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

WE ARE [ BOBBY X HAYI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang