A [2]

9 5 0
                                    

I may not be the one your thinking of
I may not fit your perfect dreams of love


***

Hari ini cukup menyebalkan. Kenapa? Karena aku tak menemukannya sama sekali di sekolah. Dia seperti menghilang begitu saja. Ya, aku tau sih dia pasti sibuk dengan kegiatannya. Sementara aku? Pengangguran, mungkin.

Langkah kaki ini membawaku menuju ke arah gerbang sekolah. Yeah, sekolah telah berakhir. Jadi daripada aku gabut, lebih baik pulang.

Sekolah masih tampak ramai dengan berbagai kegiatan ekskul. Ahh iya, aku baru ingat bahwa akan diadakan rangkaian pensi tahunan sekolah. Pasti dia sibuk mengurus hal itu. Yah apa boleh buat, aku memang tak berminat bergabung.

Tiap langkah banyak mata memandang ke arahku. Aku tak menghiraukannya saja dan terus berjalan. 

"Itu bukannya kak Kai?"

"Ganteng banget Ya Allah"

"Dosa apa gua mesti saingan lagi sama dia?"

"Matanya susah banget apa kedip, gak tahan liatnya"

"Wow dia jalan kesini!"

Suara-suara yang terus bergema selama aku berjalan menyusuri koridor tak ku hiraukan. Hingga mataku menuju ke arah lapangan. Terdapat kumpulan orang-orang yang tampak panik. Tanpa kusadari kaki ini melangkah ke arah sana.

Kerumunan membelah dengan sendirinya melihat diriku mencoba merangsek maju. Betapa terkejutnya aku melihat dia terkapar di lapangan dengan darah yang tampak mengalir dari hidung. Aku merasa marah. Tatapanku makin menajam. Tanpa kuhiraukan yang lain, segera ku angkat dia menuju Ruang UKS.

"Permisi, Bu," ucapku.

"Ahh Kaiva. Ada apa? Itu kenapa Rava? Ya Allah! Taruh di ranjang sebelah sana, biar Ibu periksa!" kata Bu Lia, dokter jaga UKS.

Segera kutaruh dia ke atas ranjang. Aku berdiri menatap Bu Lia dalam diam. Aku merasakan ada yang gemuruh yang menyesakkan dada ini. Kesal, marah, dan cemas menjadi satu. Sebenarnya ada apa? Kenapa dia bisa sampai seperti ini?

"Bu, saya izin keluar sebentar. Saya carikan teh hangat untuk Rava dulu. Permisi," 

"Iya. Ibu akan jaga disini," balasnya.

Aku segera menuju kantin dan mencarikan teh hangat untuknya. Aku butuh mengambil nafas agar bisa berfikir netral.

"Jo, teh hangat satu ya!" teriakku kepada Mas Bejo, penjual minuman di kantin ini yang sudah jadi langgananku.

"Oke! Tumben beli teh hangat, biasanya HiLo! dingin Ka," tanyanya sambil membuatkan pesananku.

"Oh itu buat Rava," balasku singkat.

"Loh, kenapa neng Rava? Sakit?" 

"Gak tau Jo,"

"Yaudah ini gratis. Bilang ke neng Rava, gws. Anjayyy...." balasnya sambil tertawa.

"Gaya nya... Yaudah, thanks Jo. Duluan ya," balasku sambil geleng kepala.

Dengan segera aku berjalan ke UKS. Tetap mencoba mengatur ketenangan diri. Sampai depan pintu aku mendengar suara dari dalam. Pintu tak tertutup dengan rapat. Aku melihatnya. Ia telah sadar, namun tak sendiri. 

"Kamu kenapa? Kok bisa begini?" ucap sebuah suara.

"Aku gak apa-apa. Makasih udah nolongin ya!" balasnya dengan senyuman.

"Lain kali hati-hati! Kalau kayak tadi lagi gimana? Aku gak di dekat kamu, bahaya," balas Arga-laki-laki itu.

"Iya, maaf ya. Gak lagi lain kali,"

"Ini aku bawain teh hangat sama semua barang kamu udah aku bawain kesini. Bu Lia lagi keluar sebentar. Nanti kita cek lagi ke klinik ya,"

Aku melihat kegusarannya disana. Tangannya menyentuh wajah itu perlahan. Sang empu hanya diam memejamkan mata dan membalas ucapan Arga dengan anggukan kecil.

Tanganku terkepal erat. Selalu begini, telat.

Tak terlihat.



To be continue

SemuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang