Prolog

29 1 0
                                    


Kafe yang terletak di seberang Stasiun itu masih sepi ketika Aku datang. Sesuatu yang nampak kurang wajar. Bukankah Kafe ini selalu terlihat ramai bahkan di hari kerja? Hari ini Sabtu, waktu juga sudah menunjukkan pukul 11. Ada apakah gerangan? Aku sungguh tak bersemangat, seolah semesta turut berkonspirasi untuk semakin membuatku gundah.

Aku masih tak percaya akan keputusan yang telah kubuat. Dua keputusan paling penting dalam hidupku yang mungkin tak akan bisa kutarik mundur. Keputusan yang juga sangat mungkin akan membayangiku entah sampai kapan. Sejujurnya, aku tak tidur semalaman dan masih belum sepenuhnya yakin atas dampak yang timbul atas keputusan ini. Tapi aku sudah lelah. Tak ada lagi waktu untukku.

Jadwal keberangkatan keretaku masih 45 menit lagi. Kupandangi layar ponsel dengan malas, membaca pesan-pesan yang terakhir kukirim untuknya. Aku berharap hari ini ia tak telat, seperti kebiasaannya. Sebab, Ia harus mendengar sendiri dariku. Pun, aku tak berharap ia tak datang, sangat mungkin hal ini akan semakin rumit. Segelas jus jeruk pesananku datang. Aku enggan menyentuhnya, jus itu kupesan agar aku dapat hak untuk bisa duduk di sini. Itu saja.

Waktu berjalan lamban, masih 30 menit lagi aku baru bisa berangkat dan ia tak muncul juga. Aku mulai cemas. Cemas menanti kehadirannya dan cemas karena aku takut aku tak mampu menyampaikannya saat Ia datang. Kumainkan sedotan plastik di gelas jusku. Yang ada aku malah semakin tak karuan.

"Hey, sudah lama? Aku nggak telat kan?"

Suara renyah itu membangkitkan keceriaan dan amarahku di saat bersamaan. Aku senang karena akhirnya Ia datang, menepati janjinya, tapi aku juga marah karena setelah pertemuan ini, mungkin tak akan pernah ada pertemuan selanjutnya. Aku marah sekali. Marah sekali.

"Emma, aku nggak punya waktu banyak."

"Ya, I know."

Aku mengatur napas dan pikiranku, aku belum berani menatap matanya. Ku buang pandanganku ke arah stasiun yang disesaki calon penumpang.

"Sebaiknya kita ga ketemu-ketemu lagi!"

"What? Kamu kenapa sih?"

"Tadi malam aku chatting sama Aldo sampai hampir pagi. Dia cemburu berat sama aku. I got what He meant. That's why?"

"Va, aku lebih dulu kenal kamu daripada kenal dia. Lagian dia tau kok siapa aja sahabat-sahabat aku, termasuk kamu. Aku udah ceritain full. Santai aja!"

"Ini ga sesimpel yang kamu kira. Dia anggap kalo kita tuh nostalgia, dan dia merasa apa yang kamu ceritain tentang aku, ke dia, itu ga lengkap, masih ada yang kamu sembunyiin"

"Apa yang aku sembunyiin dari dia, coba, apa?"

Aku berhenti sejenak. Aku melihat matanya mulai berkaca-kaca. Aku memutuskan untuk tak mengungkapkan lebih lanjut isi chatku dengan Aldo kepadanya.

"Udahlah. Cukup. Intinya sebagai sama-sama lelaki, aku tau kalo dia ga suka kamu deket sama aku. Turutin aja dia. Dia masa depan kamu"

"Hey, menurut kamu fair ga sih kalo aku harus memilih antara cinta dan sahabat?"

Aku menangkap gelagat yang kurang baik. Segera kusambar tasku dan bergegas menuju stasiun. Kutinggalkan uang sejumlah yang kuingat atas pesananku.

Ia masih belum puas, ia mencegahku

"Cordova, tunggu dulu"

Aku tak menghiraukan panggilannya, aku berjalan secepat mungkin. Sial, ternyata lampu lalu lintas untuk pejalan kaki berubah jadi merah. Akhirnya ia kembali dapat mencegatku,

"Apa benar kalo kamu punya perasaan khusus untuk aku?"

Jantungku seperti mendadak berhenti dan persendianku mendadak melemah. Ini akan jadi makin rumit. Aku berjalan spontan hingga bberapa kendaraan bermotor berhenti mendadak. Sumpah serapah tak kuhiraukan. Aku berasa berada di dunia yang berbeda.

Ia tetap tak menyerah. Ia memanggil namaku sambil berteriak. Tetap tak kuhiraukan panggilannya. Yang kulakukan adalah tersenyum simpul dan melambaikan tangan tanda perpisahan.


The Missing PuzzleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang