Puzzle 2 : Autumn

4 0 0
                                    

Udara terasa begitu menusuk saat Emma membuka pintu rumahnya. Anomali, pikirnya. Hari-hari sebelumnya udara memang terasa sejuk, namun bersahabat. Sejuk yang menyenangkan, bukan sejuk yang membuatnya menggigil. Ada keraguan di hatinya saat membuka pintu, tampak dari langkahnya yang tertahan. Namun, sepertinya tekadnya lebih besar dibanding keraguannya. Ia kemudian melangkah dengan pasti dan berjalan cepat sekali.

Pedestrian di seberang rumahnya juga sangat sepi, padahal biasanya tempat itu selalu dipenuhi banyak orang. Ada yang berlari pagi, jalan santai, atau sekedar duduk-duduk di bangku yang memang banyak disediakan di tepi pedestrian. Tampaknya semua orang tahu bahwa hari ini memang bukan hari yang baik. Angin semakin menderu-deru, menerbangkan dedaunan kering berwarna cokelat. Sesekali anak rambut Emma bergerak-gerak mengikuti arah angin. Ia semakin mempercepat langkahnya. Entah karena dingin, atau Ia terburu-buru mengejar sesuatu yang sangat penting.

Tak lama ia sudah beada di dalam sebuah bus yang juga sepi. Hanya ada ia dan supir saja. Ah, mengapa semua jadi begini. Kota ini terasa seperti kota mati saja. Bus ini juga terasa dingin sekali. Sesuatu yang sangat janggal. Bukankah bus ini mempunyai penghangat? Ia akhirnya sibuk dengan pikirannya sendiri. Syukurlah, tak lama kemudian beberapa anak sekolah bergabung dengannya di dalam bus itu. Setidaknya bus itu tidak terlalu kosong.

Emma menyandarkan kepalanya ke jendela bus. Tatapannya tampak kosong dan ekspresinya seperti sedang dilanda kesedihan. Mungkin ia masih berpikir keras mengapa kekasihnya tak juga bisa mengerti keinginannya. Padahal keinginan itu bukanlah sebuah keinginan yang mustahil diwujudkan. Keinginan yang menurutnya sangat sederhana, tidak memerlukan energi untuk mewujudkannya. Namun, keinginan itulah yang membuatnya harus betengkar hebat dengan pria yang dicintainya itu.

Masih terngiang dengan jelas kalimat satir yang diungkapkan kekasihnya saat mereka terlibat percakapan telepon,

"Kamu tuh terlalu polos. Kamu ga bisa lihat kalo perhatian yang dia kasih ke kamu itu, modus. M.O.D.U.S"

Emma menahan emosinya karena air matanya selalu tumpah ketika ada seseorang yang mengganggap persahabatannya dengan Dova adalah hubungan sepasang kekasih. Hati kecilnya memang tidak menganggap demikian. Namun entah kenapa hatinya perih kalau seseorang, siapapun itu, yang menjelekkan Dova di hadapannya. Cinta? Entahlah. Yang jelas jawaban Emma menjelaskan sesuatu yang tidak diharapkan kekasihnya,

"Ya, aku memang polos. Lugu mungkin. Tapi menurut si Lugu ini, perhatian yang ia beri ke aku itu tulus dan ia ga pernah menghilang saat aku butuhkan. Mungkin kamu pintar, jenius, apalah, tapi kamu punya segudang alasan saat aku justru butuh kamu."

Kekasihnya terkejut, terpukul lebih tepatnya. Ia berusaha menyadarkan Emma dengan tujuan agar Emma lebih berpihak kepadanya. Jawaban Emma yang "lugu" sangat dimaknai berbeda olehnya.

"Aku nyerah. Ada baiknya kita ga usah ketemu dulu. Kamu harus menata ulang pikiranmu. Setelah semuanya tenang. Aku harap kamu bisa menntukan pilihan, Aku atau sahabatmu." Klik telpon dimatikan

Emma tak kalah terpukul. Tujuan utamanya berbicara begitu pun tak lain adalah untuk menyadarkan, "Aku butuh kamu, lebih dari siapapun". Reaksi sang kekasih membuatnya sangat gundah. Ia tak rela harus berpisah dengan kekasihnya, pun tak bisa melepaskan hubungan persahabatan yang sudah melekat kuat dan bermakna baginya.

Hatinya makin tak karuan. Dengan tergesa dipencetnya tombol stop untuk memberhentikan bus. Ia terlihat kacau. Padahal sudah jelas bahwa tempat bus itu berhenti bukanlah tujuannya. Setelah turun, ia berlari dengan kencang seolah ingin lari dari masalah yang sangat berat.

Ajaib. Langit mulai cerah dan angin mulai bersahabat. Ia sudah berhenti berlari dan berjalan dengan pelan. Ia terlihat gugup, berulang kali ia menatap ponselnya, mungkin bercermin. Ia mencoba menata rambutnya yang sudah agak kurang rapi karena ia berlari tadi. Ia atur syal dan baju hangatnya agar kembali rapi. Kafe yang menjadi tujuannya sudah terlihat. Sama seperti dengan tempat-tempat yang tadi ia lewati. Sepi. Ada apa dengan hari ini? Bukankah hari ini sabtu, dan tempat ini cerah? Ia kembali berkutat dengan pikirannya sendiri.

"Apa yang harus aku katakan, haruskah aku menanyakannya sendiri?" gumamnya

Ia menelusuri pandangan. Seseorang yang ia akan temui terlihat duduk manis di bagian kafe yang menghadap ke stasiun kereta. Orang itu sedang memegang sebuah gelas minuman yang tampak segar.

"Aku harus menanyakannya. Harus."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 19, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The Missing PuzzleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang