Puzzle 1 : Tali Sepatu

11 0 0
                                    



Matahari sudah meninggi saat Dova membuka matanya. Ditariknya selimut dengan malas. Kalau saja ini bukan hari pertama sekolah, mungkin Ia tak perlu menarik selimut itu, gumamnya. Bukan berarti Ia tak senang sekolah, sebenarnya Ia sangat senang sekolah. Namun, percakapan dengan ayahnya 2 minggu yang lalu tidak membuatnya kembali bersemangat untuk bersekolah. Ya, Ia awalnya sangat berat untuk meninggalkan tempat yang selama ini pernah menjadi lokasi tumbuh kembangnya, dan tentu saja sekolahnya. Ia sangat mencintai sekolahnya. Tempat yang menurutnya ideal untuk belajar dan berteman. Ia jelas harus berpisah dengan Mr. Smith yang menjadi mentornya untuk debat bahasa Inggris. Ia mungkin tak akan pernah lagi duduk-duduk di warung Mak Jum yang terkenal dengan bakmi murah meriahnya, dan mungkin tak akan bertemu lagi dengan Ario, Denis, Rama, dan Chika, sahabat-sahabat terdekatnya. Bisa dikatakan tak mungkin mengingat jarak mereka yang sangat jauh. Apalagi ayahnya menegaskan bahwa mereka tidak punya rencana kembali dalam waktu dekat. Ah, Ia semakin tak bersemangat saat mengingat itu semua. Mau bagaimana lagi, sang Ayah tidak memberinya pilihan.

Sudah dapat ditebak, Ia datang terlambat di hari sekolah pertamanya. Kepala Bagian kesiswaan yang menerimanya tampak tak begitu gembira dengan kehadirannya. Bagaimana mungkin ada anak baru yang "begajulan", datang terlambat di hari pertama menunjukkan diri. Ia terlihat seperti orang yang menahan emosi. Dova sendiri tak menghiraukan respons tersebut, Ia hanya pasrah ketika Ia digiring ke sebuah ruangan. Tak lama kemudian, mereka berjalan ke ruangan lain yang berada di samping sebuah taman.

Seorang guru keluar dari ruangan dan bercakap-cakap dengan Kepala Bagian Kesiswaan. Raut wajahnya jernih dan ceria, sangat bersahabat. Ia tersenyum manis menyambut kedatangan sang "murid begajulan". Dova menjabat tangan guru itu saat sang Petugas minta diri untuk kembali ke ruangannya. Hari baru Dova secara resmi dimulai saat itu.

"Anak-anak, kita kedatangan seorang murid baru. Ayo, kamu berdiri di sini dan memperkenalkan diri,"

Dova seolah enggan untuk menggeser posisinya. Ia melangkah malu-malu ke depan kelas. Ia atur napasnya dan berusaha menguasai dirinya. Namun, bibirnya belum juga mengeluarkan suara.

"Ayo, Nak ! Kami semua ingin tahu siapa kamu"

Dova melirik sang Guru. Ia tak melihat sedikitpun aura tak bersahabat dalam dirinya. Ia melihat sebaliknya. Ia merasakan aura ketulusan dan kasih sayang dalam diri sang Guru. Ia menunduk tanda hormat dan mulai berbicara

"Selamat Pagi semua. Nama saya Cordova Toledia. Saya berasal dari Merida." Ucapnya dengan suara lirih

"Suaramu terlalu pelan, kami yang di belakang tidak mendengar dengan jelas," celetuk seorang murid dari bangku belakang

"Selamat Pagi semua. Nama saya Cordova Toledia. Saya berasal dari Merida. Sudah kedengaran?"

"Panggilannya siapa?"

"Teman-teman bisa panggil saya Dova."

Perkenalan berlangsung meriah. Ada yang bertanya tentang hobinya, pelajaran kesukaannya, alamat rumahnya, bahkan ada yang bertanya tentang kekasihnya. Dova sudah bisa merasakan aura yang positif dari kelas itu. Terbit harapan di hatinya akan menemukan sahabat-sahabat yang baru. Pelajaran pada jam itu juga menyenangkan. Sang Guru ternyata adalah guru favorit di sekolah itu. Cara beliau mengajar juga sangat mengasyikkan, membuat waktu cepat berlalu hingga tak terasa sekarang sudah waktunya istirahat.

Waktu istirahat dimanfaatkannya untuk melihat-lihat keadaan sekitar. Ia mencari tahu dimana letak kantin, toilet, perpustakaan, ruang guru, dan ruangan laboratorium. Ia sedikit senang, walalupun terletak agak jauh dari pusat kota, sekolah barunya lebih indah dan lebih bersih dibanding sekolahnya yang lama. Apalagi, sekolah ini memiliki letak yang sangat strategis. Dekat dengan toko buku besar, tempat makan, dan stasiun kereta. Artinya, semua hal yang Ia butuhkan mudah dijangkau.

Karena baru, Ia kemudian berkenalan dengan banyak orang yang menurutnya wajib untuk diketahui. Di jam istirahat itu, Ia sudah berkenalan dengan beberapa petugas kebersihan sekolah, petugas perpustakaan, penjaga sekolah, security, dan beberapa pedagang di kantin. Ia masih belum percaya diri untuk berkenalan dengan teman-teman sebayanya di sekolah itu. Ah, masih banyak waktu, pikirnya. Seiring perjalanan waktu nanti juga akan bisa berkenalan juga. Semoga.

Sepertinya tak butuh bicara apapun baginya untuk mendapatkan seorang teman.

"Cordova !"

Ia mendengar suara seorang perempuan memanggil namanya dari arah belakang. Suara yang renyah dan terdengar sangat bersahabat. Tapi Ia terlalu jaim untuk langsung menyahut. Ia putuskan untuk terus berjalan dan berharap suara tadi memanggil namanya lagi.

"Cordova, tunggu !"

Ia membalikkan badan. Tampak sesosok jelita datang menghampirinya. Ia jadi salah tingkah karena tak berharap sosok inilah yang memanggil namanya tadi.

"Hey, sombong amat dipanggilin ngga nyahut-nyahut"

"Cordova, kan?"

"Aku...aku"

"Hahaha, ga usah gelagapan gitu juga. Aku manggil kamu karena itu liat, tali sepatu kamu lepas ikatannya, kasian kan kalo anak baru jatuh karena keinjek tali sepatunya sendiri. Bisa-bisa sampe lulus kamu ga punya temen. Hahahaha"

Dova tak memperhatikan kata-katanya, yang Ia perhatikan adalah sosok jelita itu terlihat tertawa lepas. Ia memperhatikan mata si Jelita yang berbinar jernih.

"Hey, kok bengong?"

"Hmm.. thanks!"

"Just thanks. Well..."

Si Jelita berlalu begitu saja. Sangat kontras dengan perilakunya beberapa detik lalu yang tampak bersahabat. Dova termangu dan jadi salah tingkah. Ia berjalan cepat untuk bisa menghampiri si jelita.

"Hey, wait."

Sial, saking bersemangatnya, Ia sampai menginjak tali sepatu yang belum sempat diikatnya. Beberapa murid lain tertawa terbahak melihat kejadian itu. Si Jelita termasuk salah seorang yang tak mampu menahan tawanya. Anehnya, Ia malah kembali menemui Dova dan mengulurkan tangannya.

"I know. Aku Edemma. Panggil saja Emma"

"And don't worry, walaupun anak baru yang jatuh karena menginjak tali sepatunya sendiri. I'll be your friend" lanjutnya sambiltertawa renyah. Tawa seperti yang Ia tunjukkan sebelum ia berlalu.

The Missing PuzzleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang