Memulai suatu cerita biasanya dari suatu hari. Mari kita mulai dari suatu pagi atas suatu hari yang telah dilupa. Yang jelas itu pagi, terlihat matahari masih kantuk-kantuknya. Pagi ini kalau tidak salah. Atau pagi kemarin bila hari ini belum sempat pagi. Langit begitu membiru. Seperti langit dipinjami biru pelangi. Bukan lagi biru, cenderung ke nila. Begitu mata selepas memandang rangkaian daun pada cabang pohon mangga, sesaat terpaan cahaya menyemburat, memenuhi sudut ke sudut mata.
Tertutup rapat, namun cahaya terus merambat.
Itu sesaat, tapi terasa sangat lambat.
***
Langit mulai tersipu di salah satu ujungnya. Awan-awan di atasnya memantulkan senja, semacam aurora. Ujung yang kubelakangi pastilah tertidur. Biasanya mereka bermimpi akan bintang. Beberapa burung nampak menjauhinya. Birunya langit tertutup oleh langit-langit. Kalaupun dibongkar, mungkin tetap tertutup awan yang menggumpal rapat-rapat. Entah ada apa saja yang kulewatkan sembari memikirkan. Yang kulewatkan di luar sudut pandang, di setiap titik buta.
Bu Piah tampak menghentikan suaranya. Merasakan ada sesuatu yang mengganjal waktu. Sontak kita memperhatikannya. Aneh, memang. Ilmu yang sedari tadi diocehkannya tiada kita gubris, namun kesenyapannya kita nikmati. Beliau menyingsing lengan bajunya sekilas, memperlihatkan leher jam tangannya pada siswa sekelas. Siswa garda depan tampak menyadarinya. Ikut memastikan jam dinding yang kedudukannya setinggi presiden dan wakil presiden menunjukkan kebenaran.
"Sudah selesai dari tadi, ya?" Tanya Bu Piah terengah-engah penat. Maklum, selepas menjadikan satu paragraf sesingkat satu kalimat.
"Iya, Bu!" Seru mereka. Padahal Bu Piah bertanya dengan tanda tanya yang menurun nadanya.
Seluruh siswa memperhatikannya, mengangguk, bersorak membenarkan. Termasuk yang wajahnya layu kembali bermekaran. Yang tadinya kedua tangannya ditekuk segera terangkat kaku-kaku. Itu isyarat memundurkan siswa kembali ke rumah, beristirahat dari medan perang. Sayang sangkakalanya sedari tadi tak berbunyi. Kita antara untung dan rugi sepuluh menit.
Mencoba sedikit menelisik. Memastikan murid-muridnya tak berupaya bermain cerdik. Hingga akhirnya Bu Piah menunjukkan persetujuan. Memasukkan buku tebal matematika nya dan menyediakan telapak tangan. Beliau juga punya rindu. Satu persatu siswa menghampiri. Hendak mengecup kulit mengkerut dimakan oleh usia. Beberapa hendak memberikan kehalusan pipinya pada tangan itu. Kita, seperti biasanya, ialah yang terakhir. Sebagai penutup.
"Farhan, nanti bareng Ibu ke rumah sakit?" Perhatiannya sepertinya sedari tadi kepadamu. Berkendara motor butut sendirian menuju rumah sakit tentunya cukup mempenatkan.
"Ndak, Bu. Banyak tugas. Hehe."
"Masih sakit ibumu, Han?"
"Sudah baikan sebenarnya. Cuman kondisi psikologisnya." Saut Bu Piah.
"Oh."
YOU ARE READING
la.ngit
Teen FictionKita berada di bawah langit yang sama, tapi melihatnya dari sudut pandang yang berbeda. Aku melihatnya sebagai lautan tinta biru. Kamu melihatnya sebagai aku. Selagi kita masih bisa melihatnya, dari sudut pandang kita.