[Bab 1] Pagi Buta II

18 0 0
                                    

Sudah sekitar seminggu sejak bersarang di bangku ini. Sekitar beberapa yang cukup aku kenal, sekitar beberapa yang cukup kenal aku. Struktur kelas, jadwal piket, jadwal pelajaran. Masih saja Gita yang di sampingku. Kurasa benar katanya, kami adalah pasangan yang seru.

Dan Brendan. Aku mulai memendam rasa awal begitu mengetahui pada dasarnya memang dia baik. Pada dasarnya dia memang seperti yang berada di jendela. Lagipula itu rasa pada pandangan pertama, wajar saja bila salah. Siapa jua yang tidak jatuh hati pada pemuda yang nyaman dipandang, nyaman didengar, nyaman dipikirkan. Ya, semuanya. Tidak mungkin semuanya adalah jodoh dari Brendan. Sejak saat itu aku sadar diri, tepatnya tiga puluh menit setelah tragedi jendela itu.

Masih kagum, sih.

"Oi, Mbar!" seru Gita berusaha mengagetkanku sembari menepuk pundak ku dari belakang. Tapi usahanya sia-sia. Bisa kulihat jelas badannya melangkah masuk meski kakinya dijinjit-jinjitkan.

"Oi."

"Dih, Ambar cuek, ah."

"Lah? Terus aku harus njawab gimana?"

"Ya apa gitu."

Gita mengambil tempat duduknya yang kemarin sempat dipindah seenaknya. Gita lebih mudah bergaul ketimbang aku. Begitu ada pelajaran yang dia rasa kita berdua tidak bisa, segera berpetualang lah dia. Berkelana meminta ajaran. Seringnya menuju Brendan, sih. Tapi tidak menutup kemungkinan lainnya. Mungkin itu juga alasan mengapa kursi Gita adalah satu-satunya kursi plastik di kelas ini.

Sementara aku lebih suka termenung di sini. Tidak begitu tertarik dengan pelajaran. Sesekali bergosip dengan Lusi dan Lana.

"Ada yang mau kamu ceritain, Mbar?"

"Enggak. Sepanjang Minggu kemarin juga nggak ngapa-ngapain."

"Oh. Kalo aku sih-"

"Hei, Ambar, Gita!" sapa Brendan lewat jendela, melintas di depan kelas.

Entah kala itu aku menjawab apa. Gita membalas "hei" bila tidak salah. Aku lupa.

"Dia udah punya pacar."

"Serius, kamu kayaknya punya bakat jadi mata-mata, deh."

"Aku chatting-an kemarin."

"EH?"

Gita hanya tersenyum tipis, seakan berbisik "Gita gitu, lho."

"Dasar pelakor."

"Selama janur kuning belum melengkung, masih halal hukumnya menikung. Lagian kan ini Brendan bukan Farhan juga. Haha."

"Farhan?"

"Jadi lu belum kenal Farhan?"

Aku menggeleng.

"Cowok sampingnya Brendan, yang udah pake seragam SMA sejak MOS, yang lu gebet sejak hari pertama."

Aku mengangguk.

Mataku mencoba mencari sosokmu. Di sampingku, walau tidak benar-benar di sampingku. Menatap jendela juga. Serasa bercermin kala itu.

Farhan, ya.

***

Dulu aku kira itu adalah semangat untuk lebih berusaha berkenalan dengan teman-temanku yang akan menemaniku selama tiga tahun ini. Dulu aku kira itu adalah tanda terlalu nyamanku bersama Gita, Lusi, dan Lana.

Oh, iya. Di samping Lusi sudah ditempati. Namanya Untung. Dia terpaksa menempatinya karena datang terlambat. Mungkin lain kali bisa kau bertukar tempat dengannya.

Besok aku akan kembali. Hari sudah malam.

Good nite.

Good nite

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Dec 28, 2017 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

la.ngitWhere stories live. Discover now