Beberapa ingin ku ralat. Setelah beberapa hal dapat ku ingat, kita sempat mengukir kisah yang cukup melekat. Sebagian aku dapat ketika membeli kue kering utara pasar kambing, sebagiannya lagi sepanjang perjalanan tadi. Maaf untuk yang kemarin, dan terima kasih untuk yang lebih kemarin. Izinkan aku kembali mengulang memori. Kenangan yang patutnya dikenang dengan benar. Getir memang, setidaknya bukan hambar.
Oh, iya.
Kamu masih ingat langit, bukan?
Kita akan membahasnya hingga kau bosan.
***
Pada salah satu angka di bulan Juli. Matahari sudah bersiaga sejak pagi hingga sore nanti. Bersedia untuk memberi sapaan, lebih ke pecutan, kepada siapa yang sepulang liburan. Terutama siswa kemarin petang. Sebelumnya lebih parah ketika rompi kresek dan topi ultah masih melekat. Sekarang, walaupun dalam seragam yang dipaksa menutup badan, matahari sudah cukup segan. Langit juga mulai berhias awan berupa gumpalan-gumpalan di ujung-ujung pengelihatan. Tidak membantu memang, tapi itu lebih baik dari pada sekadar biru terang.
Namaku Ambar, sehingga selalu tertulis di bagian atas. Setelah aku tahu, sekilas membaca siapa saja yang akan menjadi teman sekelas. Ada Gita, temanku selama kegiatan kemarin. Ada Vion, tetangga tetapi tidak begitu akrab. Yang lain tidak hafal. Ada beberapa yang pernah terdengar, namum yang mana wajahnya tiada mengenal. Gita akan membantuku dalam hari pertama ini, semoga. Semoga tidak ada yang begitu dekat dengannya sehingga aku perlu mencari bangku lainnya.
Aku sedikit terburu. Sebelum kelas menjadi ramai dan situasi menjadi canggung. Menyusuri lorong, sempat menyerong menerobos rumput, memotong jalan menghindari gerombolan kakak kelas berdiri sombong. Kelas muda berada di samping parkiran sepeda. Dekat bila kamu mandiri berangkat ke sekolah. Namun maraton namanya bila kamu hanya bermodal kaki saja.
Di kelas cenderung sepi. Beruntung. Gita juga sudah duduk manis di tepi. Wajahnya terlihat bersemangat. Lebih bersemangat. Ada banyak cerita yang hendak ia ungkap, kurasa. Dan, ya. Di sini aku bukannya lebih mengenal Gita.
“Eh, Mbar! Duduk sini!” kukira aku lah yang akan memintanya. Sepertinya tidak ada teman-teman seasalnya di sini.
“Wah, pinter juga kamu nyarikan tempat duduk.”
“Iyalah. Tipe-tipe kayak kamu kelihatan suka duduk dekat jendela, terutama kalo naik angkutan umum.”
“Wew. Dukun ya?”
“Kepalamu kelihatan nggak begitu simetris di bagian kiri. Kutebak pasti kepalamu bersandar di jendela, duduk di depan samping sopir kalo naik mobil. Hahaha. Benar, kan?”
Aku hanya mantuk-mantuk, berdecak kagum dalam hati.
“Gita gitu, lho.”
“Anyway, kamu punya kabar menggembirakan apa?” tanyaku tidak ingin kalah.
“Kayaknya kita bakalan jadi pasangan yang seru, deh.”
“Yang satunya.”
“Haha. Gita suka gayamu. Jadi, di kelas kita bakal ada anak primadona yang sejak MOS udah jadi incaran organisasi-organisasi.”
“Oh, anak populer.”
Selanjutnya adalah Gita berusaha menjelaskan kepadaku hal-hal yang bertujuan membuatku tertarik pada obrolannya. Waktu itu aku acuh. Anggapanku adalah anak populer seperti di kebanyakan FTV. Keren, kaya, nakal. Kekanak-kanakan. Jago berantem. Punya karisma yang apabila setiap wanita memandang akan jatuh hati seketika. Aku tidak semudah itu, kamu tahu? Apalagi kalau ceritanya itu hanyalah sekadar cerita. Bahkan, aku tidak ingat namanya waktu itu.
Setelah sekitar sepuluh menit, Gita menyerah juga. Di benaknya mungkin tercipta bahwa sosok Ambar adalah orang yang anti-romantis, tidak punya ketertarikan dengan lawan jenis. Dia beralih topik menuju guru-guru di sekolah ini. Yang ini aku cukup mendengarkan. Sebentar saja, sayangnya. Dua menit kemudian, aku ingin mendengarkan yang sepuluh menit lalu saja.
“Hei, semua! Salam kenal.” Kepalanya muncul tiba-tiba melalui jendela di sampingku, cukup dekat dengan wajahku. Seruannya keras, apalagi kalau terdengar di telingaku, namun tidak sampai nyeri. Tangannya dilambaikan ke segala arah, begitu juga pandangan matanya. Padahal, didepannya, 20 cm didepannya, adalah aku duduk terpaku. Lucu, begitu kesan pertamaku.
“Oh, iya. Brendan.” Diikuti uluran tangannya.
Entah apa yang aku ucapkan, mungkin namaku atau sekadar “iya”, diikuti jabatan tangan perkenalan. Lalu Brendan masuk ke kelas melalui jalan yang benar. Sempat kupikir dia akan melompat masuk melalui jendela. Mencari tempat duduk, tepat di sebelahmu yang kala itu aku kira kakak kelas yang tidak naik kelas dikarenakan kamu lah satu-satunya siswa yang mengenakan seragam SMA.
“Aku punya nomor HP-nya, kau ingat?” goda Gita.
“Nggak.”
Aku tahu akan ada yang namanya grup kelas. Jadi, buat apa menurunkan harga diri?
“Kalau yang disampingnya siapa, Git?”
“Senior mungkin? Tapi yang aku tahu tahun kemarin nggak ada yang tinggal kelas.”
“Hmm.”
“Kesepakatan yang bagus, omong-omong. Brendan untuk aku, sedangkan kamu dapat yang di sampingnya. Hahaha.”
Aku balas dengan senyuman masam.
Tidak ada perasaan cemburu di setiap kata-katanya. Aku rasa Gita sekadar pengagum pria-pria primadona. Menghamba pada ketampanan dan kekerenan. Itu bagus kurasa.
Yang berada di depanku adalah Lana dan Putri. Dua-duanya merupakan kutu buku. Terlihat dari tadi awal masuk, mereka mengeluarkan buku dari tasnya. Bedanya yang satu novel yang satu sepertinya buku pelajaran SMA. Sementara di belakangku ialah Lusi. Sendiri. Padahal dia tergolong cantik dan ketika kami ajak berbincang tergolong asyik. Sungkan mungkin adalah alasannya. Masih banyak bangku kosong di depan meja guru.
Sampai saat ini aku merasa betah.
Langit di luar mudah dipandang. Tepi jendela di lantai dua. Ditambah yang aku lihat adalah bagian barat. Nanti sore aku dapat melihat senja menyemburat. Didampingi radio “Gita FM” yang tiada henti memberi surat. Dan kenangan jendela ini sudah indah, sejak pertama kali aku mengenalnya. Jendela, buku dunia.
***
Sedangkan kamu mendapat bagian timur. Yang apabila pagi dituntut ditutup. Yang apabila petang lebih awal redup. Padahal kamu datang lebih awal. Mengapa tidak kala itu kamu duduk di belakangku? Bersama melihat senja.
YOU ARE READING
la.ngit
Fiksi RemajaKita berada di bawah langit yang sama, tapi melihatnya dari sudut pandang yang berbeda. Aku melihatnya sebagai lautan tinta biru. Kamu melihatnya sebagai aku. Selagi kita masih bisa melihatnya, dari sudut pandang kita.