Yogyakarta, 13 Juli 2013
Sore ini aku mendapat undangan buka puasa bersama di rumah dia, awalnya aku tak ingin hadir namun karena paksaan temenku akhirnya kumerelakan untuk pergi kerumahnya.
Yah, kami tiba dalam keadaan basah-basahan karena hujan dan waktu berbuka pun telah tiba dari 10 menit yang lalu. Ada sambutan hangat dari Ibunya. Ibu yang kedua kali aku bertemu.
Berbuka puasa bersama serta sholat maghrib berjamaah dan makan dengan apa yang telah disiapkan oleh ibunya. Serta sholat tarawih berjamaah di mesjid yang sering dia ceritakan kepadaku itu.
Namun dalam perjalanan menuju mesjid aku hanya bisa senyum dan mengangguk-ngangguk saja, temanku Lia yang asyik berbicara dengan ibunya berbahasa jawa tanpa kumengerti sedikit pun apa yang sedang mereka bicarakan, saat itu aku hanya mengikuti rute jalan menuju mesjid saja dan berdiam diri. Berdiri di shaf yang sejajar dengan ibunya namun aku berdiri di paling ujung sebelahku Lia dan sebelahnya ada ibunya.
Usai sholat tarawih berjamaah dilanjutkan dengan ceramah singkat dari penceramah, aku tak mengerti sedikitpun apa yang disampaikan karena penceramah itu memakai bahasa jawa sepenuh isi yang disampaikannya. Lalu dilanjutkan lagi dengan lia dan ibunya berbicara menggunakan bahasa jawa juga, saat itu aku hanya berzikir saja dalam diamku. Karena aku merasa ini seperti asing bagiku, aku tak mengerti apapun dan mereka juga menghiraukanku. Aku hanya larut dalam dunia dzikirku saja dan tak kusadari mereka seperti menyapaku lalu aku tersadar dalam dzikirku dan sedikit bergabung dalam pembicaraan mereka. Yaah, aku menjawab ketika ada pertanyaan yang dilontarkan kepadaku karena hanya itu saja yang memakai bahasa indonesia.
Usai sholat kami kembali ke rumahnya. Aku, dia dan Lia tertinggal dibelakang, dia menjelaskan setiap bagunan dan sejarah kotanya kepada Lia dan aku juga? Ntahlah aku saja tak mengerti karena mereka memakai bahasa mereka JAWA, aku hanya mengikuti mereka dari belakang dan sengaja aku memperlambat langkahku agar aku bisa menikmati setiap langkahku dengan mengamati setiap bangunan yang ada tanpa harus menjadi nyamuk dalam pembicaraan mereka. Sempat dia bertanya kepadaku kenapa kamu di belakang? Sini.. hanya itu saja, lalu dia melanjutkan ceritanya kepada lia.
Sesampai dirumahnya, aku dan temen-temen lainnya duduk di teras depan rumahnya dengan bercanda, berbicara apapun dengan menikmati kembali makanan berbuka tadi. Karena udara malam yang begitu dingin akhirnya kami pun masuk kedalam rumahnya dan melanjutkan canda tawanya.
Ibunya pun bergabung dengan kami tepat duduknya disampingku. Tapi apalah daya itu semua tak berpengaruh tetap saja yang lainnya lagi lagi berbicara bahasa JAWA. Aku dan Mas Sat hanya bisa terdiam saja, sedikitpun aku tak mengerti pembicaraannya. Akhirnya tibalah saatnya untuk meminta izin pulang karena hari pun sudah larut. Setelah berpamitan dan membawa bungkusan makanan yang diberikan oleh ibunya untuk sahur kami pun bersegeralah pulang.
Yah dalam perjalanan pulang, suasana malam yang sangat dingin. Aku yang diboncengi oleh Mas Sat kami hanya melaju lambat saja dalam perjalanan itu Mas Sat memulai pembicaraan dan dia bertanya kamu lagi dekat sama siapa? Lalu ku jawab aku dekat sama Allah, hehe.
Serius lho Ay.. sama Rian yaa katanya. Lalu aku hanya diam dan dia melanjutkan pembicaraannya. Menjelaskan mengapa dia bisa berpikir seperti itu, aku hanya menyimak dengan seksama. Hingga akhirnya dalam topik tersebut terbawa nama Lia.
Aku hanya mendengar dan mendengar saja, dan aku berpikir ternyata selama ini ada orang yang menyimak dan mengamati tentang aku dalam bersikap dan berbicara kepadanya. Entahlah aku tak mengerti mengapa indera dia begitu tajam hingga mengetahui semuanya. Awalnya aku tak mengakui akan kebenaran itu, namun akhirnya dengan paksaan dia akhirnya aku mulai bercerita sedikit tentang awal perasaanku dengannya.
Hingga dia mengatakan bahwa "menurut kasat mataku tadi, sepertinya ibunya Rian lebih senang dengan Lia karena bisa dilihat dari cara mereka berbicara. Entah mungkin karena mereka sama-sama orang jawa jadinya merasa nyaman atau gimana, tapi sekilas aku melihatnya yaa seperti itu."
Kembali lagi aku hanya mendengarkan saja, yaah malam ini hatiku sedikit sakit karena ada rasa yang melewati hati ini sedikit hingga sampailah di depan gerbang asramaku dan usai sudah cerita itu beserta paket solusinya.
Aku masuk ke kamarku dan ku berdiri di hadapan cermin mengamati diriku ini, muka kucel, hitam, hidung pesek, muka bulat dan pipi tembem. Aku berpikir bahwa aku bukan sosok yang sempurna dalam fisik mungkin benar dia lebih sempurna.
Aku meneteskan air mata saat aku membuka jaket pinjeman dari ibunya, teringat kisah tadi. Sehingga air mata membasahi pipiku seketika. Ku menangis dalam kesunyian malam dan ku mulai bercerita di sini, yaah ini cerita yang kubuat disaat hati sedang sakit. Hingga aku ingin terlelap untuk istirahat sejenak dan semoga sahur nanti aku terbangunkan.
Hingga dua hari setelah itu, aku pulang ke kampung halamanku meskipun ku membawa beberapa goresan di hatiku. Semoga saja pulang nanti rasa itu bisa terobati dengan adanya keluargaku di sana.
Semenjak kejadian itu, semenjak liburan itu dan semenjak awal masuk kuliah lagi aku mencoba menetralisir kembali suasana hatiku ketika bertemu dengan orang-orang yang membuat hatiku sakit. Perlahan memang perasaan itu kembali normal kembali. Aku mencoba menghilangkan rasa itu, dan aku bisa. Mampu menghilangkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
(Mungkin) Friendzone
Short StoryBerawal dari ketidaksengajaan, Tanpa sangka menjadi klasik. Mungkin biasa, tapi misteri