Prolog

100 23 3
                                    

Dara menatap sendu ke arah ponselnya yang tergeletak dekat jendela kamarnya. Dia berharap layar ponselnya itu menyala, menampilkan sebuah panggilan masuk dari seseorang yang sangat penting di hidupnya. Seseorang yang belakangan ini membuatnya menjadi penikmat kehidupan.

Tak lama menunggu, akhirnya ponsel milik Dara menyala, layar menampilkan satu buah panggilan masuk. Di layar ponsel sana tertera nama seseorang yang membuat garis bibir Dara melengkung ke atas dengan cepat.

Segera Dara ambil dan letakkan benda tipis itu tepat di telinganya. Sambil menjawab salam, Dara masih tersenyum lembut membayangkan wajah seseorang di seberang sana.

“Hari ini boleh aku ajak kamu main keluar? Sepertinya hari ini kamu juga sedang tidak sibuk nih.” Kata seseorang di ujung telfon sana.

“Wah rencana bagus tuh, lagipula besok kan weekend, jadi bolehlah..” Sahut Dara menyetujui ajakan Ahsan.

Beberapa detik setelah Dara menjawab salam. Sambungan telfon terputus. Namun senyuman di wajah Dara masih tetap sama.

Kembalilah Dara taruh ponselnya di meja dekat jendela. Lalu dia berjalan menuju cermin yang tingginya sejajar dengannya. Ditataplah cermin itu dalam-dalam. Dia masih ingat kata-kata ibunya dulu.

Pagi itu pikiran Dara sangat kacau. Dia ingin bisa melihat seperti orang kebanyakan. Melihat indahnya dunia dengan kedua matanya.

Dia sangat marah. Dia merasa kecewa pada dirinya sendiri yang tak mampu melihat dengan normal seperti yang diinginkannya itu. Sampai-sampai saat itu dia melempar apapun yang ada di dekatnya. Bahkan ayah, dan kakak lelakinya tak berani menenangkan Dara dan masuk ke dalam kamarnya.

Barang yang Dara lemparkan itu bahan utamanya adalah keramik.

Ibunya yang baru pulang dari pasar langsung berlari menuju kamar Dara. Walaupun suami dan anak lelakinya menghalanginya untuk masuk, tetapi dia tetap masuk ke dalam kamar Dara.

Berjalanlah Ibunya Dara dengan hati-hati, melewati pecahan kaca yang tersebar di lantai kamar Dara. Bahkan tangan Dara sendiri sudah terluka karena memegang pecahan kaca yang tajam itu.

Pelukan hangat seorang ibu, pelukan yang menyalurkan kasih sayang seorang ibu pada anaknya, pelukan yang sangat menenangkan, pelukan yang membuat nyaman, pelukan yang sampai kapan pun tak akan pernah terlupakan. Pelukan itu kini Dara rasakan karena ibunya  memeluknya erat.

Tubuh mungil Dara tidak berdaya sekalipun sudah memberontak, karena nyatanya tenaga ibunya jauh lebih besar.

“Sayang dengar ibu!” Ucap Ibunya Dara gemetaran ketika meminta Dara untuk tenang.

“Ga mau bu. Lepasin Dara!”

“Dara!” Suara Ibunya Dara meninggi, Dara tertegun dibuatnya.

Diusaplah dengan perlahan pucuk kepala Dara oleh tangan lembut ibunya. Dara perlahan menenang.

Ibu adalah dunia kecilnya, kemanapun Dara pergi, dalam gusar, dalam bahagia, ataupun dalam kesedihan dia akan kembali pada dunia kecilnya. Dunia kecil yang selalu memberikan kenyamanan dan keteduhan dalam hatinya, dunia kecil yang dinamai ibu olehnya.

Setengah berbisik ibunya berkata “Sayang, kamu harus sabar. Jadikanlah sabarmu seperti bumi yang rela menanti langit menurunkan hujannya hanya untuk menumbuhkan biji-bijian yang ada di dalam perutnya.”

“Sabar yang membuahkan hasil yang baik. Kamu berbeda tapi kamu istimewa, sayang.” Lanjut ibunya.

Dara kemudian membalas pelukan yang telah ibunya berikan. “Tetaplah di sini bu, di sampingku. Aku selalu merasa tenang jika ibu di dekatku.”

DaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang