Sederhana saja. Kau bilang kopi buatanku adalah yang terenak yang pernah mampir ke lidahmu. Padahal sudah kukatakan berkali-kali racikannya sama saja dengan yang dihidangkan oleh yang lain di kedai ini. Suhu yang pas saat menjerang air, serbuk kopi yang memang kami olah sendiri dari biji kopi pilihan, dan (pesan terpenting dari paman) mengaduknya dengan perasaan. Perasaan tulus melayani dan ingin mempersembahkan yang terbaik pada sang peminum.
Sepintas sangat tidak masuk akal. Apa pengaruhnya cara mengaduk kopi dengan rasanya? Sampai sekarang pun aku tidak tahu dan tidak pernah mengerti, tapi sudah kubuktikan bertahun-tahun bahwa kedai kopi paman tidak pernah sepi pengunjung. Misteri tentang adukan itu tetap kunikmati saja, karena aku lebih sibuk memikirkan bagaimana semua kombinasi itu bisa bersinergi menghasilkan rasa yang memikat siapapun peminumnya.
Aku masih ingat pertama kali kau datang. Jaket almamater kuning terpasang pas di bahu bidangmu. Simbol intelegensia dari rombongan manusia muda yang setiap tahun datang ke kampung halamanku. Selama beberapa tahun terakhir nama program kunjungan ini berubah-ubah, tapi yang paling kuingat adala KKN, Kuliah Kerja Nyata.
Kau bilang kedai kopi paman termahsyur diantara senior-senior yang pernah datang ke kampung ini. Gaungnya membuatmu penasaran...sangat penasaran karena kau adalah pecandu kopi yang idealis. Satu pesanan tentunya akan membuktikan kebenaran berita itu.
Tegukan pertama.
Kuperhatikan matamu berbinar. Kau mengangguk-angguk pada rekan-rekan semejamu. Segera saja kunjunganmu menjadi kunjungan kedua, ketiga, keempat dan seterusnya. Dan entah bagaimana ceritanya, lidahmu menolak untuk meminum racikan dari tangan selain tanganku.
Berlebihan menurutku, tapi tak dapat kusangkal matamu yang berbinar setelah menyesap kopi itu membuatku gugup. Debar-debar aneh muncul tanpa bisa kukendailkan. Rasanya menyenangkan memperhatikanmu berdiskusi ramai dengan rekan-rekan jaket kuningmu, membicarakan tentang apa yang bisa kalian lakukan di kampung ini. Selalu ada energi meletup-letup disana. Energi yang tak dapat kusangkal menjadi magnet luar biasa bagi mataku.
Tak kusadari pada akhirnya kunjunganmu kau lakukan seorang diri. Lebih sering begitu. Selalu di meja yang sama. Meja yang menghadap ke hamparan sawah dan mendapat asupan angin segar beraroma padi itu. Kau selalu punya alasan untuk menarikku duduk menemanimu menatap senja yang turun perlahan. Memperkenalkan latte, espresso, moccachino, capuccino dan nama-nama kopi yang terdengar asing di telingaku. Berbicara tentang banyak hal. Rasanya aku selalu ingin punya alasan untuk tinggal dan menyimak semua yang kau bicarakan. Dan debar itu, terbawa hingga malam tiba. Terus terasa ketika dua tahun berikutnya kau menghilang setelah saat-saat menyenangkan itu. Kau tidak pernah kembali lagi setelah program kunjunganmu selesai. Hingga suatu sore kau muncul dan mencariku.
Matamu masih berbinar ketika meneguk cangkir yang kuberikan. Dan selalu kuingat senyum itu. Senyum ketika kau memintaku untuk menyeduhkan kopi di setiap pagimu. Aku agak kecewa. Sungguh aku ingin dengar alasan lain, bukan hanya sekedar kopi. Tidak yang sesederhana itu.
Kau tertawa dan kemudian bertanya, tahukah aku apa perbedaan wortel, telur, dan bubuk kopi? Aku menggeleng. Wortel adalah benda keras, tapi apa yang terjadi ketika ia dijerang air bersuhu tinggi? Ia akan menjadi lunak dan mudah untuk dipatahkan. Telur adalah benda rapuh meski dari luar berkulit keras, dan apa yang terjadi jika ia direbus? Ia akan mengeras dan kaku. Namun berbeda dengan bubuk kopi. Ketika mendapat perlakuan sama, semakin panas airnya, maka ia akan semakin harum dan menjadi lebih istimewa. Aku tetap tidak mengerti.
"Tahukah kau," katamu kemudian, "aku menganggap kau seistimewa bubuk kopi. Betapapun berat ujian yang alam berikan untukmu, semua itu mustahil membuatmu jatuh. Kau justru akan semakin kuat dan menjadi lebih harum. Kau tidak akan rapuh seperti wortel, atau menjadi sekeras telur. Aku membutuhkan orang seperti itu seumur hidupku." Dan menurutmu rasa kopiku adalah implementasi dari kesederhanaan, ketulusan, dan loyalitas. Semua itu menjadi alasan kuat untuk kau memilihku.
Kau menatap, menanti aku berkata-kata. Namun aku memilih untuk beranjak ke dapur kedai. Ketika aku kembali, kau menunduk kecewa. Kuletakkan secangkir kopi baru di hadapanmu dan tersenyum. Minumlah...rasai cinta di dalamnya...rasai kesetiaanku dalam setiap teguknya...aku bersedia meracik kopi untukmu berapa kalipun kau menginginkannya dalam sehari..karena inilah caraku mengatakan "Ya"