Bubuk kopi itu kujerang. Kuperhatikan pasir-pasir hitam itu perlahan larut dalam air yang perlahan mendidih. Aku masih ingat ketika kau berbicara bahwa menghasilkan crema[i] dalam espresso tidak bisa sembarangan. Kau bilang sebagian CO2 yang tersimpan dalam biji kopi pasca pembakaran, hanya akan bereaksi ketika terpapar air bersuhu tinggi. Hanya dengan cara itu ribuan gelembung mikroskopik yang muncul akan menjelma menjadi crema yang membuat espresso istimewa.
Meski saat itu aku tidak mengerti sepenuhnya kata-katamu, tak sedetikpun aku mampu memalingkan wajah. Menikmati detik-detik ketika secara serius kau mengajariku membuat espresso. Geli rasanya waktu kau mengatakan betapa menyenangkan memiliki coffee shoppribadi di rumah dengan aku sebagai baristanya.
Kumaksimalkan panas api dari kompor sesuai instruksimu. Kau selalu bilang, selain memang untuk menghasilkan ekstraksi sempurna, air yang mendidih membuat kopi menjadi social drink. Konsep yang lagi-lagi membuatku mengerutkan kening. Aku ingat kau tertawa melihat ekspresiku. Secangkir kopi adalah medium untuk berbagi diantara para penikmatnya. Menurutmu, untuk mencapai suhu yang wajar untuk diminum, dibutuhkan rentang waktu yang tidak sebentar. Momen menunggu itu, adalah waktu yang tepat untuk berbicara dari hati ke hati. Asap yang mengepul perlahan dari permukaan kopi seakan menguapkan segala beban. Aku tersipu ketika kau mengatakan bahwa, aku adalah teman yang tepat untuk berbicara dalam momen itu.
Air mengelegak. Aroma khas mulai menguar. Gelembung-gelumbung kecil muncul membentuk buih-buih halus kecoklatan. Ah...bubuk kopi. Apakah harus seberat itu perjalananmu untuk memiliki aroma seharum ini? Dijerang panas sedemikian rupa hanya untuk mempersembahkan aroma untuk dihirup pihak lain. Sesuatu yang justru menyiksamu. Apakah harus selalu sehebat itu alam mengujimu untuk memuaskan lidah-lidah yang menuntut rasa terbaikmu? Mengapa mereka begitu egois?
Aku tergugu.
Hai kopi..apa yang kau rasakan di dalam sana? Apakah takdir kita harus serupa? Bahwa kita harus didera untuk menjadi yang terbaik. Bukan untuk diri kita sendiri, tapi untuk orang lain. Mengapa untuk menjadi harum dan beresensi, tahap menyakitkan ini harus kita lewati? Mengapa harus aku yang berkorban demi perempuan itu dan janin yang dikandungnya? Tolong jawab aku.
Kubiarkan airmata itu deras. Maaf jika kopimu asin, sayang. Aku sungguh tak ingin tangis ini terlacak. Namun tetesnya terlanjur lekat dan mustahil untuk dipisahkan. Kuharap manis tetap mampir di lidahmu yang hampir tak lagi berkata-kata. Sungguh, aku ingin hari ini semua bisa terjawab. Tentang mengapa kau berhenti meminum kopi pagimu. Tentang bagaimana kau menghabiskan senjamu tanpa lagi bercengkrama dan menertawakan banyak hal bersamaku. Tentang dia yang kini kau cintai. Tentang jarak yang terentang diantara kita setelah berita tentang mustahilnya tawa bayi di rumah kita. Tentang tanah yang tidak lagi mampu kita jejak. Tentang tanganmu yang tak lagi terentang untuk mendekap. Aku sungguh ingin tahu. Aku sungguh ingin punya alasan untuk melepaskanmu. Jika kau ingin aku seperti bubuk kopi, mungkin inilah saatnya. Jika itu yang kau inginkan, aku bersedia.
Kuhela napas panjang. Ini kopimu sayang. Kuharap ekstraksi kopi ini sempurna. Setelah mungkin selama ini kau bungkam soal ketidaksempurnaan kopiku. Biarlah ini menjadi penutup yang manis. Mungkin kopi ini tak lagi hangat ketika kau datang nanti. Tapi kuharap tetap bisa menemani kita berbicara. Kuharap kau tetap bisa merasai cinta pada setiap tetesnya, karena jika kau menolak untuk meminumnya, aku sungguh tak lagi punya cara untuk mengatakannya. (Esme)
[i] Bagian atas kopi yang berbentuk buih seperti krim yang terbentuk akibat ekstraksi kopi yang sempurna.
Inspired by:
Cinta dalam gelas (Andrea Hirata) and my own poem hohoho...