Rania
Gedung Nusantara (Menza), Akhir September 2002
Barisan Irja Bawah yang berjumlah 50 orang berjalan cepat. Sesekali aku melakukan PPM---Peraturan Penghormatan Militer, sebutan salah kaprah untuk posisi menghormat pada senior.
Barisan dibagi menjadi dua pleton. Aku menjadi danton barisan depan.
"Selamat Pagi, Kak!", seruku tegas.
Kadangkala aku masih terkejut mendengar suara teriakan sendiri. Tanganku terangkat dengan posisi hormat melintasi para Wanita Praja Angkatan 12 dan 13 yang keluar dari dua wisma. Barak Jatim dan Sumut. Mereka juga akan melaksanakan makan pagi bersama.
Kami mempercepat langkah, ketika nampak dari kejauhan para Nindya Wanita Praja bertali kor putih di pundaknya berdiri di tangga menza. Salah satunya berseru keras.
"Hai Capra! Cepat lagi gerakannya!".
Kami lantas memasuki Gedung Nusantara dari pintu sisi kiri. Hampir bersamaan dengan para Calon Praja warga Wisma Jambi Atas, rekan-rekan dari satuan putra.
"Berhenti gerak! Balik kanan gerak! Serong kiri gerak! Hormat gerak! Tegak gerak! Serong kanan gerak! Balik kanan maju jalan!".
Sudah menjadi rutinitas sebelum menempati meja makan masing-masing, setiap praja diwajibkan memberikan penghormatan pada Lambang Negara, patung Burung Garuda yang bertengger di dinding depan atas Menza. Begitupun bila akan meninggalkannya.
Beberapa senior sudah sampai duluan rupanya di Menza.
Tentu saja, kami datang paling pagi untuk aerobik, tapi pulang paling akhir. Sementara para senior itu datang di saat bahkan mentari hampir muncul dan begitu cepat kembali ke barak.
Sementara mereka asyik mandi dan pakai pelembab serta bedak bertabir surya, kami yang bahkan tak sempat mandi lagi. Harus rela berlari-lari demi sesuap nasi.
Dan lotion juga bedak bayi ini, apakah mereka bercanda? Lihat saja kalau sampai Indo tak bisa mengenali diriku yang mulai menghitam ini ketika Pelantikan nanti.
Aku getir mengingat perkataan Lurah wisma kami, Mbak Kamiliya.
"Semua ada saatnya, Dik. Kelak kalian juga akan menjadi senior seperti kami. Pasti dongkol sekali menjadi yunior. Kami juga pernah merasakannya. Ingat, berhati-hatilah hidup di STPDN. Anak baik, belum tentu bernasib baik di sini.
Maka pintar-pintarlah membawa diri. Jangan sok-sokan, jangan jegger, jaga nama baik kalian dan kontingen. Ingat pula, pasal 1, bahwa Senior tak pernah salah. Apabila ada kekhilafan kami selaku senior, kembali pada pasal 1, bahwa senior tak pernah salah".
Bah! Hukum macam mana pula itu? Memangnya mereka hidup di planet orang suci?
Dan, jegger itu. Menjadi trouble maker atau biang masalah. Aku hanya tahu satu hal. Kebajikan tak selalu selaras dengan yang terlihat bagi manusia. Siapa pula yang menginginkan hidupnya bermasalah, atau setidaknya menimbulkan masalah bagi orang lain?
"Hadap serong kanan kiri gerak! Hormat Gerak! Tegak Gerak! Lapor! Nama Rania Shafrinanda, NPP 14.1188 bersama 15 orang rekan, ijin duduk, Kak!".
Salah seorang Nindya Wanita Praja sebagai senior paling atas, yang duduk di deretan meja itu, menganggukkan kepalanya pelan. Perwakilan yunior memang diwajibkan melaporkan Nomor Pokok Praja (NPP, atau kalian biasa menyebutnya NIM) dan jumlah personelnya untuk izin duduk semeja dengan para senior.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nagara Bhakti
Historical FictionRania Shafrinanda dan Yasmin Athifa takkan menyangka. Bahwa tak pernah mudah menjalani hidup di Lembah Manglayang. Berbagai tempaan mereka lewati. Menghasilkan kepribadian sekokoh intan. Takkan pernah mudah melalui masa-masa sebagai Wanita Praja STP...