"Prill, jajan nyok ke kantin."
Aku mengangguk pelan seraya meletakkan tasku di kursi. Aku lalu mengikuti langkah Mhira yang dengan cepatnya keluar dari kelas.
Dan, bagian inilah yang tak kusuka. Mataku melihat setiap orang memandangiku dengan tatapan-tatapan yang aneh. Ada yang berbisik-bisik dan ada juga yang sampai menjatuhkan buku yang sedang dibawanya setelah melihatku. Sisanya, aku tak dapat menjelaskannya.
"Prill, gila! Lo diliatin sama siswa-siswi di sini karena saking kagumnya." Mhira berdecak kagum.
Aku hanya bisa tersenyum. Itu pun terpaksa.
Aku langsung menghentikan langkahku saat menyadari jika ada seorang pria yang berdiri tepat di hadapanku. Ah, ralat. Bukan seorang. Tapi, beberapa orang.
Aku yang berhenti mendadak, membuat Mhira mau tak mau menabrak punggungku. "Ada apaan sih, Prill..."
Kuberanikan diri untuk menengadahkan kepalaku. Mataku langsung beradu dengan mata cokelat si pria yang berdiri menjulang tinggi di hadapanku. Setidaknya, itu yang kurasakan sekarang.
"Oh, jadi ini Prilliendra Nataliansyah yang adiknya si Ali itu?" Pria itu memperdekat jaraknya denganku. "Cantik banget, ya?"
Aku menundukkan kepalaku. Kulangkahkan kakiku mundur, setelah sebelumnya memberi isyarat kepada Mhira. Kulihat juga dari sudut mataku, semua murid yang sedang berkeliaran tadi pun mendadak hilang, tak berbekas.
"Gak usah takut, gue temennya Ali." Pria itu tertawa kecil. "Nama gue Rival."
Aku menghentikan langkahku. Aku menatapnya yang sedang menatapku sambil tersenyum, menunjukkan lesung pipi di wajah bad boy-nya. Kuberanikan diri untuk bertanya, "Kak Rival beneran temennya Bang Ali?"
"Yang lo liat di depan ini semuanya sohib Ali. Kita juga udah diingetin buat jangan genit-genit sama lo. Jadi, lo gak usah takut gitu sama kita." Kak Rival tersenyum lagi. Mungkin, mencoba untuk terlihat ramah olehku.
Kurasakan, Mhira memegang tanganku. Ia lalu berbisik, "Prill, pergi yuk dari sini."
Aku menganggukkan kepalaku, pelan. "Kak Rival kalo mau ketemu sama Abang, ke kelas aja."
"Emang lo sama Mhira mau ke mana?" Kak Rival mengerutkan dahinya.
Okay, ternyata Kak Rival tahu nama teman baruku itu. Apa penting bagi teman-teman dia untuk mengetahui segala sesuatu yang berhubungan denganku? Kurasa tidak. Dan, aku memang benar-benar tak menginginkan hal tersebut.
"Ke kantin. Kalo gitu, aku sama Mhira permisi."
×÷×
"Prill, emang keluarga lo sejak kapan sih pindah ke Indonesia?"
Aku menyelesaikan kunyahan batagor di mulutku, lalu menelannya. Aku cocolkan batagor ke saus kacang secara menyeluruh. "Sejak dua bulan yang lalu, sih."
"Gila, yak? Berarti, si Ali cepet juga punya geng sebanyak itu di sekolah ini. Belum juga, di sekolah lainnya. Emang dia jarang di rumah?" Mhira masih mengunyah batagor di mulutnya. Sepertinya, ia tidak takut tersedak.
"Abang kalo siang emang jarang ada di rumah. Tapi, kalo malem gak pernah absen. Always stay in home." Aku memasukkan batagor ke dalam mulutku, lalu mengunyahnya dengan pelan.
"Tapi, pas Ali balapan sama Andri, waktunya malem loh."
Aku langsung tersedak makanan yang akan kutelan. Saat aku mencoba mengambil gelas limunku, sebuah tangan mendahuluinya. Tangan itu lalu menyodorkan gelas tersebut ke arah mulutku.
Dari aroma parfumnya, aku tahu jika itu dia.
Aku dengan sedikit terbatuk-batuk, meminum limun tersebut. Tangan itu kembali meletakkannya di atas meja. Sepersekian detik kemudian, si pemilik tangan duduk di sampingku.
"Mhira, lo temen macam apaan? Lo jangan-jangan mau bunuh kembaran gue, ya?" Dia menatap tajam ke arah Mhira. Raut wajahnya juga terlihat marah.
Mhira mendekatiku. Tubuhnya terasa bergetar. "Prill, kembaran lo nyeremin amat. Gue takut sumpah."
Aku menoleh ke arah dia. "Bang, jangan suka nuduh ke orang lain. Gak baik itu."
Dia mendekatkan wajahnya ke wajahku. "Tapi, dia bilang yang enggak-enggak tentang gue ke lo."
"Kalo pun itu bener, aku gak bakalan bilang sama Mama ataupun Papa." Aku menghela napas. "Jadi, jujur aja sama aku."
"Bukan itu yang jadi masalahnya." Dia menjauhkan wajahnya dariku. Dia menundukkan kepalanya. "Bukan."
Aku mengernyitkan alisku. "Terus, kalo bukan, apa?"
"Gue-"
'Tingnong... Tingnong...'
"Bel masuk udah bunyi, tuh! Masuk kelas yuk, Prill!" Mhira menarikku pergi dari situ. Kulihat, dia menatapku dengan tatapan yang sulit untuk aku artikan.
Sebenarnya, dia itu kenapa?
×÷×
New update ^~^ Maaf pendek :" Jangan lupa buat vote & comment, yak? Sayang kalian❤