Katanya bahagia itu nyata.
Katanya bahagia itu ada.
Namun, mengapa dihidupku
Nyatanya hanya semu?
Nyatanya hanya bayang-bayang?
-Adara Ashfeen Brunella-***
Rembulan bersinar, memancarkan kilaunnya, walaupun tak secerah kilauan matahari. Sama seperti gadis yang kini merenung di balkon namun wajahnya menghadap sang rembulan, dirinya meredup seiring berjalannya waktu.
Baginya, bahagia nya hanya semu. Tak nyata, tak kasat mata. Hanya luka yang menemaninya. Hingga kini dia menyerah, meredup akan segala yang ada.
"Rey.." lirihnya, tak tertahankan lagi segala yang berkecamuk dalam hatinya. Luka, kesedihan, kecewa. Kecewa akan semua takdir yang ada.
"Gue tau lo denger gue. Gue tau rey, sejauh apapun kita berpisah, gue yakin lo tau apa yang gue rasain sekarang" air matanya tak terbendung lagi. Dadanya sesak, kedua tangannya menutupi wajahnya, menangis terisak dibalik tutupan itu.
Farel hanya menghela nafas berat, melihat adiknya kembali menangis dengan kenyataan yang ada. Dirinya pun terpukul namun dirinya dapat menutupi itu semua.
Farel melangkahkan kakinya secara perlahan ketempat adiknya. Terlihat adiknya sedang menangis sesenggukan dengan nafas tak teratur. Mengusap wajahnya, Farel menyentuh pundak adiknya.
"Raa.. Lo gabisa gini teruss. Jangan nyalahin keadaan ini ke diri lo. Ini semua udah takdir Ra"
Adara mengangkat wajahnya, menatap lurus kedepan. Bergeming tanpa peduli dengan ucapan abangnya. Air mata nya semakin deras. Semua yang terjadi dalam hidupnya membuat dirinya terpukul.
"Raa.. Masuk yukk udah malem. Gabaik buat elo" Farel menghela nafas lelah melihat Adara yang terus saja bergeming tanpa mempedulikan dirinya.
"Oke oke. Kalo lo gamau masuk gue-" Ucapan Farel terpotong begitu saja dengan suara Adara.
"Gue masuk bang. Bener kata lo, gua gabisa nyalahin keadaan kan"
Adara menghapus air matanya. Lalu menghadap ke belakang tempat abangnya berdiri. Kali ini dirinya tak mau menyusahkan farel. Sudah banyak yang Farel korbankan untuk dirinya.
"Nah gitu dong. Ini baru adek gue" Farel mengacak ngacak rambut Adara bermaksud menghiburnya.
Adara tertawa kecil, lalu bangkit dan bergelayut manja di lengan kekar abangnya.
"Bang besok lo harus anter gue ya, sekalian beliin gue paket" Adara mengedipkan matanya ke arah Farel, membuat Farel tersenyum miris.
Adiknya memang bisa berubah kapan saja. Pura pura ceria, hanya untuk menutupi lukanya. Tak mau membuat suasana kembali suram, Farel mengacungkan jempolnya tinggi-tinggi, membuat Adara bersorak ria.
Farel hanya geleng-geleng kepala, lalu menarik Adara untuk segera masuk kedalam. Menutup pintu balkon kemudian mendorong Adara ke atas kasur, menyebabkan adiknya jatuh dengan posisi telungkup.
"Bang sakit ihhh" Adara pura pura meringis kesakitan, yang hanya dibalas Farel dengan memutar bola matanya malas.
"Trik drama recehan lo!Udah cepet tidur anak kecil" Farel menjapit hidung Adara. Membuat Adara memukul lengan abangnya karena kehabisan nafas.
Farel terkekeh geli melihat adiknya kesulitan mencari nafas. Sedangkan Adara mencebikkan bibirnya kesal karena ulah abangnya.
"Is is sono deh. Pergi lo, gue mau tidur ngantuk" Adara mendorong Farel sekuat tenaga hingga berada diluar pintu kamarnya.
"Eh anak kecil. Gue bisa keluar sendiri kali, ngapain malah dorong dorong gini? Otak lo dimana?"
"Bacot deh elah. Lo mah nanti ikutan tidur di kamar gue. Hari ini gue mau sendiri" Adara menggerakkan jari telunjuknya ke kanan dan ke kiri.
"Ya iyalah. Apa susahnya-"
"Bumm" Suara pintu ditutup dengan keras oleh Adara membuat Farel terlonjak kaget ke belakang. Sedangkan Adara di dalamnya sedang cekikikan karena berhasil menjahili abangnya.
"HEH KUNYUK AWAS LO YE. GUE KURUNGIN JUGA LO DI KANDANG ANJING TETANGGA SEBELAH. GAADA SOPAN SOPANNYA YA AMA ABANGNYA. Sleep tight princes" Farel menurunkan nada suaranya di akhir kalimat, lalu melangkahkan kakinya ke pintu yang tepat berada di depan kamar Adara.
"Sleep tight too bang" Gumam Adara pelan. Lalu melangkahkan kakinya menuju ranjangnya. Menarik selimut hingga batas leher, berdoa, lalu menutup mata hingga pagi. Berharap bahwa besok keadaan tidak lagi sama.
***
Gemericik air hujan terdengar jatuh ke tanah. Membuat Adara yang kini tengah berjalan di koridor utama kembali merapatkan jaketnya.
Pagi ini, kota Bandung kembali diguyur hujan, membuat para siswa dan siswi lebih memilih berleha leha dibanding masuk sekolah.
Berbeda dengan Adara. Abangnya menepati janji nya untuk mengantar Adara, demi paket untuk nonton doinya Adara rela sekolah. Padahal dirinya sedang dalam keadaan mager, alias malas gerak.
Kakinya terus melangkah menuju tangga di arah selatan, tepat dipijakan pertama terdengar langkah gerasak gerusuk dari arah atas. Membuat Adara mendongak, lantas sedetik kemudian membulatkan matanya.
Tiga tangga diatas dirinya ada Dana, orang yang sangat ia hindari. Bukan karena Dana menyeramkan tetapi karena Dana terlalu gemar menjahilinya.
Aduh gimana ini. Dia udah ngeliat lagi. Ngapain ada burut satu ini si? Masih pagi juga. Adara menghembuskan nafas jengkel ketika melihat Dana yang turun menuju arahnya.
"Eh ada Dara jodohnya Dana. Ngapain bengong? Mau gue anter yaa?" Dana menaik turunkan kedua alisnya bermaksud menggoda Adara.
"Elo lagi! Elo mulu! Bosen gue." Adara mendecak sebal sementara Dana malah terkekeh geli.
"Sarap lo ya!"
"Wis santai dong yayang dara. Cowok tampan macam gua ini jangan dianggurin dong"
"Ganteng pala lu peang! Minggir gue mau lewat"
"Dara suka lucu ya. Kan dari tadi Dana ga ngalangin jalan Dara. Noh buktinya kebuka lebar"
Ucapan Dana yang dibuat polos membuat pipi Adara berubah merah padam, memang benar sedari tadi Dana tidak menghalangi jalannya. Malah dirinya yang meladeni Dana.
"Ih Dara sakit ya? Kok mukanya merah" Dana seketika menjadi panik melihat muka Adara yang tiba tiba berubah merah.
"Bacot lu ye." Adara mendorong bahu Dana. Lantas menaiki tangga dengan cepat. Dirinya sangat malu sekali, untung saja Dana tidak peka.
Dasar beloon, ujar batinnya. Sementara Dana dibawah menggaruk garuk kepalanya yang tidak gatal, heran dengan kelakuan Adara yang selalu sensi dengannya.
Padahal Dana merasa tidak pernah melakukan kesalahan. Menggedikkan bahunya cuek, lantas Dana kembali melanjutkan langkahnya yang terhenti menuju ruang guru.
Hay.
Cerita perdana.
Semoga suka.
Jangan lupa vote.
Hargailah, karena ga gampang mikirin ide.
Tolong ya hehe😊
KAMU SEDANG MEMBACA
IMMERSE THEN GLOW
Fiksi RemajaDiamnya menyimpan luka. Tangisnya meredam luka. Tawanya menutupi luka. Hancur, untuk kedua kalinya. Luka awal yang belum sembuh menambahkan kegetirannya. Menambah kerapuhannya dalam hidup. Ingin menghilangkannya tanpa tau harus bagaimana caranya.