Merlion Park, hari ini aku memilih menikmati indahnya Singapore River. Meski masih lelah karena perjalanan tadi, sore ini aku memilih memanjakan mata di Merlion Park. Sendirian tentu saja, mana mungkin Kak Santi dan keponakanku bersedia menemani. Jauh di lubuk hati ini aku ingin sekali Kak Santi beserta Bang Rafli menghiburku, yah meskipun Bang Rafli sejak tadi berusaha menawarkan jasa tour darinya tetap saja aku tidak enak dengan Kak Santi.
"Sudah Anya! Mari lupakan kegalauan!" tekadku pada diri sendiri.
Sepanjang mata ini memandang, semua orang sedang bercengkrama. Ada yang dengan keluarga, teman atau pasangan. Sementara aku? Hanya sendiri, miris sekali. Setelah dipikir-pikir liburan sendirian seperti sekarang justru lebih menyesakkan.
Aku akan lebih teringat dengan kenyataan yang ada. Ditinggal saat sedang cinta-cintanya itu sakit banget loh. Rasanya seperti ada beribu-ribu belatih yang menancap di jantung. Oke, aku memang ngawur, mana mungkin aku tahu rasanya dihujam beribu belatih di jantung, memang aku terdengar sangat hyperbola.
"Anya!" sebuah tepukan ringan di bahuku menyadarkan aku dari lamunan. Aku melihat dengan jelas sosok yang berdiri di hadapanku, seorang perempuan bertubuh mungil dan berkulit eksotis.
"Gendis!" teriakku heboh. Bagaimana tidak heboh kalau yang berdiri di hadapanku ini sahabatku yang sudah lama tidak ada kabarnya.
Kami berpelukkan seperti sepasang kekasih yang sudah lama tidak bertemu. "Gila kamu tambah cantik aja Nya!" seru Gendis saat pelukkan kami sudah terurai. Tak bisa aku hindari lagi, aku langsung senyum-senyum tidak jelas saat dibilang tambah cantik. Ayolah, perempuan mana yang tidak suka dibilang cantik.
"Ah kamu bisa saja. Btw, kamu ada di sini? Bukannya terakhir aku denger kamu dinas di Palembang?" tanyaku dengan antusias. Akhirnya aku dan dan Gendis menghabiskan waktu dengan asik mengobrol. Gendis bahkan menawarkan diri untuk menemaniku ke Chinatown besok. Tentu saja aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan itu.
"Anya, aku turut kecewa sama Braka. Aku yakin kamu saat itu pasti terpukul banget," ujar Gendis saat kami akan berpisah ke tempat masing-masing.
Aku tersenyum kecil, kalau Gendis tau ada hal yang lebih menyedihkan dari itu, dia pasti akan memeluk dan menghiburku langsung. "Kecewa pasti, tapi itu udah lama kok, udah dua tahun jugakan. Malah aku mengalami hal yang lebih pahit dari itu," ujarku menatap Gendis yang terlihat mengerutkan dahinya bingung.
"Maksudnya?"
"Aku gagal nikah Ndis. Besok harusnya aku dipersunting laki-laki yang satu tahun ini jadi pasanganku. Sayang semua itu batal," tenggorokanku terasa tercekik saat mengatakan kalimat itu. Pengalaman yang sangat pahit yang berkali-kali harus aku ucapkan dan aku ceritakan. Jika tidak diceritakan dan Gendis tahu dari mulut orang lain, dia pasti akan sangat marah. Padahal beberapa menit yang lalu kami sudah sepakat untuk kembali menjalin silaturahmi.
Gendis menutup mulutnya kaget, matanya sedikit melebar. "Siapa laki-laki brengsek itu Nya?! Aku akan patahkan burung perkututnya! Enak saja dia mempermainkan sahabatku!" teriak Gendis penuh emosi dan tentunya mengundang banyak pasang mata yang menatap kami.
Aku meringis malu, mulut blak-blakan Gendis masih seperti dulu. Ini Singapore masih belum jauh dari Indonesia. Pasti di antara orang-orang yang mendengar teriakan Gendis itu salah satunya dari Indonesia.
•••
Ini hari terakhir aku di Singapore, tentunya selama 6 hari kemarin dengan setia Gendis menemaniku. Bahkan dia rela harus mengambil cuti untuk menemaniku yang sedang galau ini. Sayang sekali, hari ini Gendis ada urusan mendesak dan tidak dapat menemaniku. Padahal hari ini aku berencana naik Singapore Flyer dan menikmati pemandangan sore yang indah dari Singapore Flyer.
Tadinya aku ingin pergi jalan-jalan dulu dengan Gendis dan ditutup dengan menaiki bianglala raksasa itu. Sayang Gendis tidak bisa menemaniku. Mau tidak mau aku akhirnya hanya puas menunggu sore dengan berjalan-jalan di sekitar Singapore Flyer.
Aku masuk ke dalam salah satu kabin bianglala raksasa ini saat warna oranye matahari mulai terbenam. Mungkin ada sekitar 10-12 orang di dalam kabin ini. Hingga seseorang menatapku dan aku menatapnya. Bola mataku melebar membesar, kenapa kami harus bertemu di sini sih?
"Anya," dia menggumamkan namaku pelan. Aku hanya menghela napasku lelah dan memicingkan mataku ke arahnya. "Kamu Anya!" sekali lagi pria dengan tampilan parlente itu kembali berujar. Kali ini dia sangat yakin bahwa aku ini Anya.
"Hai," hanya satu kata itu yang dapat aku ucapkan. Garing? Bodo amat. Mana ada perempuan yang mau bermanis-manis ria dengan mantan calon tunangan brengseknya.
Yup, dia Braka. Pria yang sempat aku singgung sebelumnya. Bagai pucuk dicinta ulam pun tiba, laki-laki satu spesies dengan Coki ini justru nongol saat beberapa hari ini Gendis membahasnya terus. "Kamu sendirian?" tanyanya kemudian.
Orang-orang di sekitar kami tidak perduli, mereka asyik dengan pemandangan indah dari atas bianglala ini. Sedangkan aku merasa menyesal datang ke sini, bukan keindahan yang aku lihat justru muka kurang ajar Braka. Aku tidak berniat menjawab pertanyaannya, dia punya mata untuk tahu aku di sini sendirian atau tidak.
"Anya, ada yang ingin aku jelaskan. Ini tentang dua tahun yang lalu," ucap si brengsek di sampingku ini tidak tahu adat. Berani-beraninya dia mengungkit kenangan pahit itu kembali.
"Sudah tidak ada yang perlu dijelaskan lagi Braka. Kamu sudah bahagia dengan mantanmu, begitu juga aku dan masalah clear," tukasku lugas. Aku tidak ingin repot-repot menjaga nada suaraku agar tetap sopan, pria sepertinya tidak pantas diperlakukan dengan sopan.
Dari ekor mataku, aku dapat melihat Braka menghembuskan napasnya pelan. Mungkin dia kecewa dengan jawabanku. "Ini tidak seperti yang kamu bayangkan Anya," Braka masih berusaha mengajakku berbicara.
Topik dua tahun lalu merupakan hal sensitif kedua untukku saat ini. Tentu saja hal sensitif pertamaku adalah Coki. Kini Braka justru terlihat sangat bernapsu untuk berbicara denganku.
Kalau boleh dibilang, aku sebenarnya ingin juga mendengar penjelasan Braka. Tetapi egoku selalu menang, aku tidak ingin mendengarkan masa lalu menyakitkan itu. Terlebih Braka yang sekarang telah berbeda dari segi penampilan. Dulu Braka jarang mengenakan setelan formal seperti sekarang, tetapi sekarang dia mengenakan setelan formal di dalam bianglala. Aku curiga laki-laki ini sebenarnya ingin melamar seorang perempuan di sini.
Tersadar dengan pemikiran itu, aku mengedarkan pandanganku melihat ke sekitar kabin. Tidak ada satu pun orang yang menyapa Braka atau mengenal Braka. Artinya dia sama sepertiku, dia sendirian. Sudahlah, gaya pakaian Braka bukan urusanku.
"Aku tidak ingin mendengar penjelasanmu untuk sekarang," kataku akhirnya membuka suara kembali.
"Oke, jika kita bertemu secara tidak sengaja sekali lagi. Maka kamu harus mendengarkan penjelasanku Anya," tekan Braka serius yang hanya aku jawab dengan anggukan pelan. Oh ayolah, presentase pertemuan kami dibawah 50% jadi aku tidak perlu takut sakit hati ketika si brengsek ini jujur padaku. Selama dua tahun Braka menghilang pun baru ini kami bertemu kembali.
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Di Tangan Mantan (Terbit Lagi)
ChickLitRank #04 (010218) Pernikahan yang harus dibatalkan sepihak oleh Coki merupakan sejarah paling buruk dalam hidup Anya, dan Braka yang datang kembali ke kehidupan Anya hanya memperkeruh keadaan. Rumit dan sangat berbelit saat orang tua Anya setuju unt...