Bab 8

49.9K 6K 62
                                    

Masih pagi dan aku sudah duduk manis di kafe yang memang buka lebih pagi karena menyediakan sarapan. Secangkir teh manis dan ponsel pintar menemani pagiku yang sepi. Aku sengaja keluar pagi-pagi agar tidak bertemu dengan Bang Rafli dan keluarga kecilnya. Hari ini Bang Rafli datang berkunjung selama satu minggu dan tentunya aku harus jarang berada di rumah jika ingin keadaan tetap kondusif.

Aku menghela napasku pelan, berat rasanya harus menjalani kehidupan seperti ini. Rasanya aku ingin tinggal sendiri dan berupaya mandiri, jauh di lubuk hatiku ada rasa takut jika dicampakkan oleh keluarga. Terlalu sering dicampakkan membuatku merasa susah untuk percaya dengan komitmen dan keluarga.

"Nya! Ngelamun aja sih," Sofie duduk di hadapanku. Dia terlihat kasual hari ini, tetapi tetap cantik.

"Aku nginep ya Sof, ada keluarga Bang Rafli datang," pintaku pada Sofie.

Sofie menggelengkan kepalanya pelan, dia tidak ingin aku menghindar. Aku tahu itu, karena Sofie pasti akan selalu menasihatiku perihal hubunganku yang tidak baik dengan kakak iparku itu.

"Kau harus segera berdamai dengan rasa takutmu itu Nya."

Aku menghela napasku pelan, aku tahu jika terus dibiarkan seperti ini masalah ketakutan ini akan tambah menjadi. Bayangan kembali dicampakkan dan dibuang terasa begitu nyata untukku. Tidak siap tentunya untuk kembali merasakan hal itu.

"Gak sekarang Sof. Aku nyaman dengan keadaan ini, biarin aku gak ngerasain dilepeh lagi," gumamku.

"Bahasamu Bu! Ya kali situ dimakan terus dilepeh. Gak enak dong!" tukas Sofie dengan nada suaranya yang terdengar menyembunyikan tawa. Mau tidak mau aku pun ikut tersenyum simpul, di saat seperti ini aku punya Sofie yang dapat menemani dan mendengar keluh kesahku.

"Kau kapan mau nikah Sof? Aku harus siapin mental buat ditinggal nikah nih," gurauku. Sebenarnya tidak bergurau juga sih, kalau Sofie sudah berumah tangga aku pasti akan sangat kesepian.

Sofie memutar bola matanya malas, dia tahu aku lebay. "Aku masih normal ya Nya! Lagian gimana mau kewong orang calonnya aja gak ada," tutur Sofie.

Aku tertawa kecil menanggapi penuturan Sofie. Sahabat terbaik memang selalu ada saat susah dan senang. Salah satu yang membuat aku dan Sofie betah bersahabat ya alasan kita bisa menerima susahnya teman sama-sama.

•••

Jam makan siang, aku dan Sofie memutuskan pulang ke rumah masing-masing. Sebenarnya aku ingin mengekor Sofie ikut pulang ke rumahnya, tapi sayang Sofie mengancam akan ngambek jika aku tetap mebgikutinya. Jadi dengan terpaksa aku mengikuti saran Sofie untuk pulang ke rumah.

"Dino jangan berantakan sayang!" suara teriakan perempuan yang sudah pasti bukan Ibu menyambut pendengaranku saat membuka pintu depan, itu suara Kak Santi.

"Udah gak papa San. Kan jarang-jarang cucu Oma berantakin rumah Oma," kali ini suara Ibu yang terdengar lembut.

Aku berhenti melangkah dan memiluh menenangkan detak jantungku yang menggila. Aku sengaja berdiri saja di ruang tamu, di balik tembok di depanku merupakan ruang tengah, tempat dimana kami sekeluarga biasa berkumpul. Tenang Anya, kamu cukup lewat dan naik ke kamar dan semua masalah beres, ujar hari kecilku.

"Anya? Dari mana saja nak?" tanya Ibu begitu melihat sosokku muncul di ambang perbatasan ruang tamu dan ruang tengah. Di sana aku melihat Kak Santi yang mulai menatapku tidak suka.

Aku terus menguatkan hati agar tidak menangis meraung di sini, dimusuhi oleh kakak ipar sendiri itu rasanya gak enak. "Anya tadi habis ketemu Sofie Bu," sahutku pelan, berusaha menutupi kegelisahaanku, tentunya dibarengi dengan senyum palsu. "Mari semuanya, Anya mau istirahat dulu," pamitku langsung sebelum Ibu menawariku untuk bergabung dengan mereka. Sejak tadi aku tidak melihat sosok Bang Rafli dan Ayah, aku bersyukur akan hal itu.

Aku menenggelamkan kepalaku pada bantal lembek yang sudah terlihat tidak memiliki kapuknya lagi, bantal kesayanganku sejak dulu. Aku mulai menangis menumpahkan semua kekesalanku, aku kesal karena harus diperlakukan seperti itu. Bagaimana rasanya jika kalian dibenci tanpa melakukan kesalahan apapun?

Tok
Tok
Tok

"Anya ini Ayah," ketukan pintu dan dibarengi dengan suara Ayah menbuatku lekas menghapus jejak air mata dan menghentikan tangisanku.

"Bentar Yah!"

"Ayah tunggu di ruang baca ya Nak. Ada yang mau Ayah bicarakan," ucap Ayah lagi.

"Iya Yah."

•••

Aku membuka pelan pintu ruang baca setelah sebelumnya harus menegarkan hati saat tidak sengaja berpapasan dengan Kak Santi di ujung tangga. Terlihat Ayah sedang duduk dengan kaca mata baca dan sebuah buku biografi menemaninya. Tidak ada gambaran untukku kenapa Ayah memanggil dan apa yang akan Ayah bicarakan.

"Bagaimana kerjaanmu nak?" tanya Ayah lembut setelah melihatku duduk di sebelahnya. Kami duduk berdampingan di sofa panjang berwarna dark brown, warna kesukaan Bang Rafli.

Aku melirik Ayah sekilas dan mulai menyandarkan punggungku ke sofa, menjatuhkan kepalaku di pundak Ayah. Bermanja-manja dengan Ayah merupakan hal kesukaanku sejak kecil, sejak aku dibawa masuk ke dalam keluarga ini. "Lancar Yah," ucapku.

"Kemarin siang Braka datang kemari," ujar Ayah lembut.

Sontak saja aku langsung kembali menegakkan punggungku, menatap Ayah mencari kebenaran dari raut wajah Ayah yang ternyata terlihat sangat serius. Aku menghela napasku gusar dan berkata, "Mau apa dia kemari?"

"Dia meminta izin Ayah dan Ibu untuk kembali mendekati dan meyakinkanmu nak." Ayah membelai pelan rambutku, menatapku sayang.

"Lalu Ayah bilang apa?"

Aku semakin gusar saja saat melihat Ayah tersenyum samar. "Ayah katakan bahwa Ayah setuju, tentunya dengan syarat dia tidak akan mempermainkan anak Ayah lagi," kalimat Ayah ini terdengar bagaikan bom bunuh diri saja bagiku.

"Yah! Anya gak mau berhubungan dengan Braka lagi. Anya juga gak mau menjalin hubungan dengan siapa pun Yah."

Ayah menatapku sendu, ada rasa bersalah dan kasihan dalam bola mata itu, jujur saja aku benci tatapan beliau yang seperti itu. Aku palingkan wajahku, memutus kontak mata kami. Air mata jatuh dari kedua mataku, aku menangis dalam diam.

"Ini yang terbaik buat kamu nak. Dicoba dulu, kamu juga sudah tahu alasan Braka dulu," Ayah mengelus pelan punggungku yang sedikit bergetar. "Setiap manusia pasti pernah berbuat salah nak. Manusia juga berhak mendaapatkan kesempatan keduanya," nasihat Ayah.

"Kesempatan kedua? Anya gak percaya sama kesempatan kedua Yah. Braka dan Coki meninggalkan Anya karena mantan mereka, artinya mereka udah ngasih kesempatan kedua ke mantan mereka dengan ngorbanin Anya," tuturku sambil menahan isakan yang mungkin akan ikut terlontar juga.

"Kamu salah paham dengan Braka nak."

"Mantan Braka ada di Dubai Yah. Anya bukan perempuan munafik Yah, aku tahu alasan lain Braka menerima tawaran pekerjaan itu bukan karena ingin mapan, dia ingin bertemu mantannya. Akhirnya dia meninggalkan aku Yah." Usai berkata seperti itu aku berdiri dari dudukku dan melangkah meninggalkan Ayah sendirian di ruang baca.

Bersambung

Jeng jeng jeng, gimana ceritanya? Tambah aneh ya? Wkwkwk

Jodoh Di Tangan Mantan (Terbit Lagi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang