Tiga...

6 1 0
                                    

Mataku mengerjap dan mendapati lingkungan yang asing di sekelilingku. Entah kenapa hal pertama yang kulakukan saat tersadar adalah menangis, mungkin tangisanku cukup kencang hingga membuat mas Kunto berlari tergopoh menghampiriku.

"Alhamdulillah, Mal. Udah sadar lu? Minum dulu" mas Kunto berucap sambil menyuguhiku segelas air putih. Kuminum seteguk. Ingatanku perlahan kembali pada saat sebelum kesadaranku menghilang. "Kita dimana mas? Ratna sama Kamal mana?" aku bertanya.

"Di rumah sakit, lu masih demam tinggi gitu. Ratna udah pulang barusan" jawab mas Kunto. Sepertinya ia tidak mengindahkan pertanyaanku tentang Kamal. Dahiku mengernyit. Kurasakan panas di sekujur tubuhku. Mas Kunto menatapku prihatin. "Istirahat Mal, biar cepet sehat. Mama sama Papa di luar negeri pasti marah sama gue kalo tau anak kesayangannya sakit" ucapnya. Aku menarik ujung-ujung bibirku agar terlihat seperti sebuah senyuman bagi mas Kunto, ia pun melangkah keluar dari kamarku seraya berkata "Kalo butuh apa-apa panggil aja, gue ada di luar"

Baru saja mataku akan terpejam, suara Taylor Swift mengalun merdu dari handphone ku. Aku melihat nama ~Kamal~ pada display HP ku, tanpa berpikir dua kali, aku menekan tombol hijau. "Halo, Mala? Gimana keadaanmu? Kamu sekarang dimana? Aku boleh ketemu?" itu suara Kamal, di ujung telepon. Tanpa terasa butiran air meleleh lagi di pipiku. Aku selalu merasakan kenyataan bahwa Kamal begitu mencintaiku, hanya saja ia seringkali salah dalam menunjukkan rasa sayangnya. Saat ini, sekalipun kami masih ingin bersama, segalanya sudah tidak mungkin. Ia telah berjalan begitu jauh meninggalkanku dan keluargaku dengan segala tingkahnya. Namun kelegaan merayapi hatiku saat mendengar suaranya, karena itu berarti dia dalam kondisi baik. Setidaknya mas Kunto tidak main hakim sendiri kepadanya. Kondisi ini sungguh sebuah dilema bagiku, seperti dihadapkan pada buah simalakama.

"Lebih baik kamu.. jangan hubungi aku lagi" ucapku datar, menahan tangis.

"Kenapa Mal? Bukannya kamu tau kalo perasaanku ke kamu gak akan berubah? Aku tau aku salah, apa kamu gak bisa kasih aku kesempatan lagi? Aku mohon jangan tinggalin aku. Aku janji akan berusaha kontrol emosiku dan jadi lebih baik buat kamu. Bukannya kita udah janji untuk selalu bersama?" kata Kamal.

"Harusnya kamu sadar kalo dulu kita itu udah tunangan, semua bukan lagi tentang kamu atau tentangku, tapi juga tentang keluarga kita. Bukannya kamu yang berkali-kali bilang minta pembatalan tunangan tanpa sedikitpun peduli perasaanku? Sikapmu itu udah mempermalukan keluargaku. Aku mungkin bisa tahan, tapi keluargaku? Kenapa kamu gak pernah berpikir lebih jauh sebelum berucap atau bertindak?" ucapku terbata-bata.

"Aku tau. Aku cuma kebawa emosi. Semua cuma karena aku takut kehilangan kamu. Please, maafin aku, Mal" pintu kamar terbuka bersamaan dengan kata terakhir Kamal di telepon. Mataku masih berkaca-kaca. Mas Kunto lekas mengambil handphone di tanganku dengan tatapan marah. Sepertinya ia mendengar percakapanku dari balik pintu.

"Masih kurang dia nyakitin lu, Mal? Gue tau gak gampang, tapi mulai sekarang gue minta tolong sama lu, jangan berhubungan lagi sama dia. Lu mesti sadar. Badan lu kurus begini, gampang sakit dan bahkan kejadian tadi sore, ulah siapa??" ujar Mas Kunto.

Sepuluh menit kami berdebat, dan terhenti ketika pintu kamar diketuk. Itu Ratna. Dia masuk setelah kami persilakan dan langsung menangis memelukku. Mas Kunto yang tampak sedikit heran, memilih untuk menjauh dari kami. Aku pun mengusap rambut Ratna, lalu berbisik "Aku udah gak apa-apa kok, Na"

Ratna masih saja menangis. Aku mulai heran sebab Ratna bukanlah sosok wanita yang sensitif. Mas Kunto mengajak Ratna duduk setelah mengambilkan segelas air putih. "Mala, tadi pas gue dijalan, gue liat Kamal.."

"Ratna, please. Stop ngebahas tentang Kamal di depan Mala" sergah Mas Kunto.

"Tapi, Mas. Gue liat Kamal.. kecelakaan. Di depan rumah sakit ini" tegas Mala, masih dengan isak tangis. "Dia.. dia meninggal di tempat, Mal"

Aku merasa seketika ada petir yang menyambar kesadaranku. Sosok Kamal sempat membayang di pelupuk mataku sesaat sebelum semua kembali gelap.

***

SiMalaKama(L)Where stories live. Discover now