Diiringi manajer serta stylist kami, aku dan Haeri Eonni memasuki 10 Corso Como, melewati pintu kaca ganda bermotif lingkaran beraneka warna, yang sudah menjadi ciri khas dari bangunan empat tingkat berupa gabungan cafe, toko buku, butik, serta galeri seni tersebut.
Semenjak dibuka pada tahun 2008 lalu, cabang dari retail mewah yang berpusat di Milan ini segera menjadi pilihan berbelanja nomor satu para sosialita Gangnam dan selebriti. Meski harus membayar mahal, tetapi bagiku sepadan dengan kepuasan atas kualitas dan keunikan barang limited-editon yang tak akan bisa kudapat di tempat lain.
“Jangan menoleh ke kiri,” gumam Haeri Eonni.
Bodohnya, aku justru melakukan larangan tersebut.
“Omo! Minkyung-ssi! Sudah lama kita tidak bertemu.” Seorang wanita paruh baya bermantel bulu bermotif zebra meninggalkan kursi kulit berwarna tembaga di area galeri, untuk menghampiri kami.
“Sudah kuperingatkan,” bisik Haeri Eonni lagi.
“Omo! Semakin hari kau semakin cantik saja!”
“Annyeong haseyo, Nyonya Lee.” Aku menganggukkan kepala sopan.
“Kebetulan sekali kita bertemu di sini,” ujarnya gembira. Namun perlahan senyum Nyonya Lee memudar selama memandangi kacamata besar yang melindungi mataku. “Apa di luar sangat terik?”
“Ya,” jawabku singkat, tak berminat melepas kacamata demi dirinya.
Bila bukan karena hubungan baikku dengan Lee Junseok, general manager 10 Corso Como, yang notabene adalah keponakan dari Nyonya Lee, aku tak akan repot-repot meladeni kecerewetannya selama ini.
“Ah… Yeah, omong-omong, bagaimana kesanmu mengenai CEO Shin? Aku menunggu kabar darimu semenjak dua minggu lalu.”
Sebagai balasan atas bantuan Lee Junseok, setelah memenangkanku dalam persaingan memperebutkan sebuah tas fantastis bersulam emas dari koleksi musim semi Balmain—yang bahkan belum sempat dipajang di butik—dengan seorang aktris papan atas Korea, aku pun menerima desakan kencan buta yang dirancang oleh bibinya.
“Maaf, aku sangat sibuk belakangan ini sehingga lupa menghubungi Anda, Nyonya Lee,” ujarku, tak sepenuhnya berbohong. “Apakah Tuan Shin tidak memberitahumu bahwa kami memutuskan untuk tidak melanjutkan pertemuan?”
“Kenapa? Apa kau tidak menyukainya? Tapi apa kekurangan CEO Shin? Dia masih muda, cukup tampan, cerdas, dan yang terpenting berasal dari keluarga terpandang. Sama sekali tanpa cela!”
Aku tak akan menyebut pria berusia empat puluh tahun “masih muda”. Tampan mungkin relatif. Mengenai kecerdasannya, aku terlalu bosan mendengar pembahasan prestasinya yang tanpa henti untuk menyadari hal tersebut. Sedangkan status sosial keluarganya… Hal semacam itu tak pernah menjadi prioritas bagiku.
“Kurasa kami hanya tidak berjodoh,” elakku.
Jangwoo Oppa menyela saat itu juga, beralasan kami sedang terburu-buru, sehingga bisa segera meninggalkan sang mak comblang pemaksa.
“Seperti apa tipe pria yang kau suka, Minkyung?” tanya Haeri Eonni, selagi kami menaiki tangga menuju area butik di lantai dua.
“Kenapa tiba-tiba Eonni bertanya?”
“Selama ini aku melihatmu dikelilingi banyak pria potensial, tetapi selain satu-dua kali kencan, tak ada yang kau tanggapi dengan serius.”
“Belum ada yang cukup menarik untuk membuatku ingin berkomitmen,” aku berdalih, sembari berusaha menekan bayangan wajah Taekwoon ke sudut terjauh benakku.