Stay -2- (2)

623 42 0
                                    

Semusim lalu, ketika bulan kasih sayang.

Seseorang menggedor pintuku sangat keras, aku tersentak dan segera membuka daun pintu itu. Park Jinyoung berdiri di seberang pintu, wajahnya sangat marah.

"Jinyoung, ada apa? Tak biasanya kau seperti ini."

Jinyoung tak memindahkan pupilnya, masih tajam menatapku. Sungguh dia menatapku seperti aku penjahat, seperti seseorang yang akan melarikan diri bila arah tatapannya bergeser.

"Kenapa aku tak tahu kau memiliki dua namja-chingu.." katanya lirih. Matanya berkedip, wajahnya tak lagi memperlihatkan kemarahan, dia menggeleng pelan.

"Apa maksudmu? Ayo masuk dulu.." Aku merangkul badannya yang nampak lelah.

Park Jinyoung memang selalu begitu. Ketika marah matanya seperti ingin membunuhku, tapi bicaranya tetap dengan intonasi rendah, dia tak pernah sekalipun membentakku. Pun meski berkali-kali dia mengatakan kalimat-kalimat putus asa karena kesalah pahamannya.

"Kau pasti salah paham lagi, Jinyoung."

"Tidak. Aku melihat sendiri kau menggandeng tangan Seokjin. Tak hanya itu, kau juga merangkul bahunya."

Aku menunduk. Ah tidak, dia melihat kejadian tadi siang.

"Kau ingin mendengar versiku?" Aku putus asa bertanya. Dia memang sangat pencemburu. Dia mudah termakan ucapan orang lain, apalagi jika kejadiannya seperti ini. Kupikir sudah pasti dia lebih mempercayai matanya daripada mulutku.

"Katakan." Jinyoung menjawab pendek.

"Aku memang pergi bersama Jin. Tapi tidak seperti yang kau pikirkan, aku hanya membantunya berjalan ke halte. Jadi, tadi siang aku tak sengaja bertemu dengannya di café dekat kantorku. Ketika hendak pulang dia berjalan dengan menyeret kakinya. Katanya, kakinya terkilir. Ya, aku hanya membantunya berjalan."

"Kau tahu dia menyukaimu kan? Dan kudengar kau juga menyukainya. Jadi haruskah aku mempercayaimu, Jis?"

Sudah kuduga. Dia seperti ini, untuk kesekian kalinya.

"Kau memiliki mata yang bisa kau percayai, pun orang-orang menyayangimu dengan memberitahukan perasaanku. Tak usah mempercayaiku lagi seperti biasanya. Aku tak percaya kau memiliki hatiku.."

Aku membuang wajahku yang hampir menangis. Jinyoung, haruskah aku melepasmu? Aku membencimu yang tak pernah mempercayaiku. Aku membencimu yang selalu menyudutkan dan meragukanku. Tapi bisakah kau tetap tinggal, karena aku.. sangat mencintaimu.

"Kau bahkan tak mencoba meyakinkanku. Kalimatmu tadi justru memperjelas hubungan gelap kalian. Terima kasih sudah menusukku dari belakang. Seharusnya aku tak memberimu kelonggaran tiap kali hatiku merasa ragu. Selamat tinggal, kita cukup sampai disini, Jis."

Tidak.

Dia meninggalkanku, punggungnya menjauhiku dan mendekati ambang pintu. Tanganku terlalu pendek untuk meraihnya. Wajah hampamu semakin memudar, kau tak lagi disini, Jinyoung-shi. Aku berbisik pelan untuk hatiku, mari perlahan membiarkan ini.

STAYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang