THIS IS MY DECISION

43 3 0
                                    

Awan putih menggantung di langit seolah memiliki tali senar yang transparan nan kencang. bertebaran ke segala arah tanpa mempedulikan burung besi yang sedang kunaiki. terbelah cerahnya langit dan yang mengejutkan seluruh orang yang brada dibawah sana.

Ingatan ingatan itu saling bertautan menggema, masa kecilku. Terbesit rasa malu mengingatnya. Dulu, aku dan para sahabat berteriak "pesawat njalok duite, woi njalok duite".

Dalam pikiranku dulu pasti si supir pesawat (pilot) mendengar suara kami. Betapa bodohnya waktu itu! Setelah aku besar, logikaku pun berjalan tidak mungkin pilot pesawat dapat mendengar suara kami yang terlalu jauh bahkan sampai berkilo meter jauhnya.

Di tengah keraimaan pesawat aku merasa sendiri dan mengelus pipi yang masih terasa panas sangat panas bahkan. Pikiranku melayang pada kejadian beberapa jam yang lalu.

Semua saudaraku setuju tentang keputusanku bahkan termasuk ibu, namun tetap tidak dengan ayah.

"Ayah ini kesempatan langka bahkan ini tawaran dari dosen ndok ayah yang punya link dengan kementrian pendidikan dan presiden secara langsung".

"Kamu anak perempuan, anak perempuan tak boleh pergi jauh dari orang tua dan kakak laki-laki. Siapa yang akan mengawasimu nanti?"

"Tapi ayah sendiri menyekolahkan kedua mas ndok sampai tinggi bakan sampai ke luar negeri, tapi kenapa ndok tidak ayah?"

Pria paruh baya yang masih gagah itu terdiam tak dapat menjawab pertanyaan yang diajukan oleh anak perempuan satu-satunya di keluarga kecilnya itu. Lalu gadis itu tetap melanjutkan kalimat yang sudah tak dapat ia tahan lagi.

"Ndok ingin menjadi guru namun ayah tak mau, ayah hanya setuju ketika ndok paksa waktu itu. Ndok masih muda ayah jadi ndok mohon!"

"Plakk". Aku tak mendapat jawaban apapun, yang kudapatkan hanyalah sebuah sentuhan paling kasar darinya. Padahal ia tak pernah melakukan ini sebelumnya.

Aku berlari menuju kamar sebagai tempat ternyamanku. Air asin mengalir begitu saja tanpa aku perintahkan. Namun, ini bisa menjadi pengobat laraku. Seketika itu pula tanganku bergerak mengambil sebuah tas besar. Kumasukkan semua kertas berharga bahkan pakaianku. Kemudian, kujatuhkan benda kotak itu ke tanah dari atas balkon.

Aku bersiap untuk berlari tak peduli aral dan rintangan yang menghadang. Lalu, seikat tali dari sprei dan hordeng telah dibuat dengan sangat kencang dan kutautkan ke besi balkon. Aku berlalu menuju gerbang tinggi dan kupatjat. Tiba-tiba, terdengar suara mesin bergemuruh dari jalanan. Lalu aku menaikinya. Selamat Tinggal semua.

SUNSET IN PALESTINETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang