FOCUS, FOCUS AND FOCUS

9 1 0
                                    


Tiga otak. Otak kanan, otak kiri dan otak kecil dapat menyimpan memori hingga ukuran giga sekalipun. Bahkan komputer dengan otak intel tak akan dapat mengalahkan cerebrum manusia. Namun, itu semua seolah berbalik saat ini. Pikiranku saling serang, hantam, hajar dan aku mati kutu. Rasa iri menjalar hingga ke ujung hati. Wajar kan jika aku iri? Boleh kan aku iri? Bagaimana tidak, kedua kakak lelakiku mendapatkan pendidikan yang sangat cukup.Kakak pertamaku mendapatkan pendidikan yang amat mumpuni hingga apapun keinginannnya dipenuhi. Hingga kini tumbuh menjadi pemuda gagah bahkan beberapa tentara wanita menaksirnya. Kakak kedua seorang dokter spesialis bedah, bisa berkuliyah S1 hingga S2 dibiayai oleh orang tua. Kini, ia menjadi abdi negara yang digaji tiap bulan. Lalu aku? Ingin melanjutkan S2 saja ditolak mentah-mentah.

"Ayah tak setuju jika kau lanjut ke S2. Kau ini perempuan untuk apa mengenyam pendidikan tinggi-tinggi jika profesimu sekarang dan nantinya profesimu hany guru saja. Guru itu gajinya kecil, apalagi hanya guru honor. Mau ditaruh mana harga diri ayah ini, ndoook? Apalagi guru honor itu sudah pasti jadi pesuruh, menggantikan jam yang tak diajar oleh guru PNS, gaji dari BOS itupun dibayarkan tiga sampai enam bulan kemudian. Apa yang kau cari? Jika kau jadi dosen maka ayah meretui, namun jika kau ingin S2 namun profesimu tetap menjadi guru, jangan harap ayah akan membiayaimu. Cari saja biaya sendiri". Perkataan ayah penuh dengan nada tinggi. Aku dibuatnya tak berkutik.

Ya,aku iri memang pada kedua kakakku, Mas Mandala dan Mas Furqon,.pendidikan mereka dibiayai penuh, apalagi Mas Furqon, ia dikuliyahkan hingga menjadi seorang spesialis bedah dan sanggup meneruskan S2. Nilainya juga mendapat predikat A. Sering aku merasa bahwa aku adalah anak pungut atau anak tiri. Hal ini aku rasakan karena perlakuan ayah dan ibu yang amat sangat beda. Bayangkan saja sedari kecil aku dimintai membersihan rumah yang sebesar itu, sendirian lagi, sementara kakakku dibolehkan untuk latihan memanah bahkan belajar menembak. Kata ayah perempuan itu harus di rumah, membereskan pekerjaan rumah dan segala macam yang berhubungan dengan dunia perempuan. Beliau seorang jendral besar tapi pemikiran masih seperti jaman kolonial. KOLOT. Jika ingin ikut, maka aku harus merengek terlebih dahulu atau menyelesaikan segala pekerjaan rumah. Melihat tekadku yang begitu besar untuk selalu belajar akhirnya ayah luluh dan selalu mengajar kami bertiga kemanapun.

Bukan Zahra namanya, jika tak nekad sama sekali. Larangan tetap tak kupedulikan. Otakku berputar, tanganku terus menuliskan ide-ide untuk membuat barang yang bisa dijual selain itu aku membuat berbagai jenis tulisan mulai dari puisi, cerpen,dan opini,sayangnya karya-karyaku belum pernah dimuat sama sekali. Jika berhasil dimuat, maka bisa mendapatkan honor dari tulisan yang dimuat.

"Baik ayah, tak apa jika tak mau membiayaku. Sudah terlalu sering aku mencari uang sendiri. Tidak hanya menjadi guru ayah, yang perlu ayah ingat aku juga sudah memulai berwirausaha. Kusimpan uangku untuk biaya kuliyah selama empat tahun. Ayah tak mau membiayai lantaran aku mengambil FKIP kan yah? Iya kan yah? Lalu, ayah juga tak pernah menghargai nilai-nilaiku selama kuliyah. Pernah aku memamerkan nilai cumclaude ku pada ayah. Bahkan nilai indeks prestasi komulatifku 4.0, artinya sempurna, tapi apa tanggapan ayah. Ayah acuh. Ayah hanya diam saja. Sedangkan, jika Mas Man dan Mas Furqon mendapat prestasi atau bahkan piala, ayah langsung memeluk mereka? Apa bedanya aku dan mereka berdua ayah? Apa? Apa aku ini anak tiri atau anak pungut?

"Zahra jaga ucappanmu?" Nadanya meninggi lagi dan mataku membulat.

"Kenapa ayah tahan tangan ayah. Ayo ayah pukul saja. Tampar saja jika ayah tega.Lagi pula siapa sih aku ini? Seorang anak yang tak pernah diakui. Tak diinginkan. Mungkin kelahiranku juga tak direncanakan? Iya kan yah?"

Aku berlari keluar mengambil sepeda motor dan pergi kerumah Pak Yi. Pak Yi adalah kakak kandung ayah. Ia mempunyai seorang istri yang biasa kupanggil Mak War. Lelah hati ini.

"Ra, kau melamun lagi?"

"Ah tidak Sya. Aku, aku, aku hanya rindu pada ibu!" Tukasku.

Kini malam menyibakan siang. Sang raja siang telah kembali ke peraduan seolah tak peduli dengan siulan para penghuni yang minta agar siang diperpanjang agar bisa mencari rejeki sepanjang hari. Namun, matahari tak peduli dengan pinta para manusia serakah itu. Ia hanya tunduk pada Sang Khalik selaku pencipta, pemelihara dan pemilik alam semesta.

Ingin rasanya aku menyerah pada keadaan. Rasa sesak seringkali menggerogoti hati, bahkan tamparan itu seolah menjadin kian panas. Namun jika aku menyerah, apa gunanya aku disini? Sedangkan semesta selalu menyemangati dan Allah selalu ada untuk para hamba-Nya.

Yahukimo, menjadi tempat singgahku kini selama empat tahun kedepan. Nekad itu modal utama aku ada disini, tanpa sanak saudara dan restu orang tua. Berbekal tanda tangan ayah yang kupalsukan semuanya berjalan mulus. Lalu apakah itu dosa? Apakah itu berbohong? Entahlah kini aku tak peduli. Jika suatu hari aku terkena imbas dari perbuatanku ini, maka aku siap menanggungnya.

Yahukimo, tak pernah terbayang sebelumnya olehku bahwa aku dapat masuk ke wilayah ini untuk mengabdikan diri pada bangsa dan demi memajukan anak negeri. Dingin menusuk kulit, mungkin suhunya 19 derajat Celcius.lebih dingin dibanding Provinsi Lampung. Maklum saja masih banyak rimba disini, bahkan suara derasnya air sungai mampu kudengar. Jika di Metro, Lampung masih kaya akan signal handphone, tidak disini. Di tempatku tinggal kini aku harus mencari jaringan telepon hingga setengah mati. Modem dan laptop yang dibawa juga tak ada artinya. Mungkin harus memanjat pohon agar dapat mengoperasikan benda-benda kesayanganku.

"Ya Allah, bagaimana aku bisa hidup tanpa mereka. Merekalah hartaku, merekalah yang kupunya disini. Bagaimana aku dapat menyelesaikan tugasku. Printer tak ada!"

Jika sudah begini maka cara manual pun bisa kulakuan asalkan nantinya anak-anak bisa belajar. Belajar bisa dengan alam karena berdasarkan pengalamanku, jika anak diajak untuk belajar keluar kelas dan dikaitkan dengan tema pembelajaran, maka ia dapat dengan mudah menerima informasi dengan mudah.

"Tenang Ra, besok kita memanjat rumah pohon yang ada didekat sekolah tempat kita bertugas.Rejeki kalau dapat sinyal haha, jika tidak siap-siap kau hidup seperti Tarzan!"

"Darimana kau tahu disana ada rumah pohon?" Tanyanya lagi.

"Kau bisa tanyakan apapun kepadaku. Tadi aku sudah berkeliling desa bersama yang lain dan aku juga sempat melihat pemuda-pemudi yang jadi tentara disana. Tampan-tampan Ra.Dan..."

"Ah sudah-sudah Sya. Dasar tukang gossip. Tidur, esok kita mulai bertugas".

Waktu menunjukkan pukul 00.00 WIT. Mata belum mampu terpejam, mungkin saatnya menulis pengalaman disini. Ada yang unik ketika aku sampai di Yahukimo. Bentuk rumah penduduknya seperti jamur bahkan seperti rumah di film Smurf. Unik. Orang-orang disini menyebutnya "honai".

Saataku menulis, tiba-tiba mataku terpejam. Aku harus focus pada tujuan yang inginkucapai. Be Focus, Focus, Always Focus.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 23, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SUNSET IN PALESTINETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang