***
Aku memejamkan mataku erat-erat ketika sebuah tangan besar tengah merapikan rambutku. Berusaha menyembunyikan degup jantungku yang bertalu-talu dan tubuhku yang langsung menegang kaku ketika merasakan belaian seringan bulu yang menyentuh pipiku.
"Clarissa. My little girl." Aku sedikit berjengit, dapat kudengar dengan jelas nada sinis yang begitu kental di setiap kalimatnya. "Milikku." Pria itu menghentikan belaiannya tepat di bibirku. Ia terkekeh, lantas memainkan jarinya di sana. "Bangunlah. Aku tahu kau terjaga,"
Seketika mataku membelalak terkejut, entah kaget karena pria itu mengetahui kebohonganku, atau karena sengatan aneh ketika napas hangatnya yang kurasakan saat ia berbisik tepat di samping telingaku. Aku segera beringsut menjauh, sambil menggenggam selimutku erat-erat. "Siapa kau?"
"Aku?" Suara berat itu tertawa terbahak, jenis tawa aneh yang bahkan mampu membuat sekujur tubuhku meremang hanya karena mendengar suaranya. "Mimpi burukmu, Clarissa."
"Brengsek!" Aku semakin mengkerut ketakutan di ujung ranjang. "Apa yang kau inginkan?!" Aku menelan ludah susah payah. Tubuhku kian gemetar ketika melihatnya yang serupa siluet hitam itu menampilkan sebuah seringai lebar.
"Kau melupakanku?" Itu bukan pertanyaan, melainkan pernyataan. Dengan nada penuh ancaman yang tak sedikitpun disembunyikan. Pria itu berdecak tidak suka. "Tck, ck, ck."
"SIAPA KAU!?" Aku berteriak marah, mengalahkan suara derasnya hujan. Aku yakin pria yang kini berdiri dan menyaru bersama kegelapan itu tengah mengawasiku dan menikmati setiap ketakutan yang ku keluarkan saat ini. Sialan! Kamar yang gelap dengan penerangan hanya dari sisa pembakaran di perapian membutku kesulitan melihat wajahnya. "Siapa, kau?" Aku mendesis, menatap nyalang ke setiap penjuru arah dan kembali mengulangi pertanyaan yang sama.
"Lucas. Lucas Volthaire." Suara dengan aksen berat itu kembali menyapa. Bersamaan dengan guntur dan petir yang saling bersahutan seolah mendukung suasana mencekam yang pria itu ciptakan. Lucas tersenyum sinis, "Suamimu,"
***
"Sial," Aku mengumpat pelan, meringkuk memeluk tubuhku sendiri di atas kursi kecil di pojok ruangan. Sambil memandang keluar lewat jendela yang menampilkan hujan deras yang saat ini mengguyur bumi. Bumi? Aku bahkan tidak tahu apakah aku masih berada di bumi.
Aku menarik napas panjang. Lantas membuang pandangan ke arah mana pun selain hujan. Kepalaku kembali berdenyut sakit. Padahal sudah tiga hari berlalu, namun hujan masih dapat mengingatkanku kembali pada bayangan aneh malam itu.
Tentang pria dalam kegelapan itu ... dan---
Ah, lupakan saja!
Aku bergidik ngeri. Kembali bergetar takut hanya karena mengingatnya, membayangkan lelaki halusinasiku itu adalah monster mengerikan di kegelapan membuatku tidak lagi bisa tertidur nyenyak.
Tapi sudah Tiga hari.
Dan selama itu pula tidak ada hal-hal dramatis apapun yang terjadi seperti yang aku pikirkan. Siluet hitam mengerikan itu bahkan tidak pernah lagi mencoba menunjukan sosoknya padaku. Jadi, kejadian malam itu ...
Ilusi, kah?
Tapi ... mengapa terasa sangat nyata?
Astaga! Terjebak di dunia ini membuatku kian tidak waras saja. Aku bahkan tidak bisa membedakan mana ilusi dan mana kenyataan. Oh, God!
"Aku ingin pulang." Aku mendesah lirih. Meski pun, rumah kumuh di pinggiran kota New York yang kumiliki tidak lebih dari butiran debu yang tidak berarti jika dibandingkan dengan kastil ini. Setidaknya, jika berada di sana aku tidak perlu hidup dibayangi kematian dan ketakutan yang terus saja mencekeram dada.
KAMU SEDANG MEMBACA
Yours
Fantasy"Kau milikku. Hanya milikku. Aku akan selalu melindungimu, dan sebagai gantinya... " Dia memberi jeda. Mata kelamnya menerawang sejanak, sebelum bibir tipis itu kembali menyeringai, "berikan kesetiaanmu padaku." *** Sesuatu telah terjadi. Membelotka...