Prolog

8.7K 716 10
                                    

Aku menurunkan hoodie jaket yang membungkus kepalaku, perlahan mengibaskan tetes-tetes air hujan yang membasahi pakaianku itu ketika berlari dari tempat parkir mobil ke dalam kafe ini. Seketika aroma ramuan kopi, kayu manis dan vanila yang menusuk hidungku memberikan efeknya. Perasaan hangat menyesap perlahan ke dalam dada, mencoba berdamai dengan degup jantungku yang tidak karuan. Juga suara musik instrumental berpadu dengan denting peralatan makan dan obrolan santai serta tawa rendah para pengunjung kafe di latar belakang, serasa seperti kehangatan di dalam rumah sendiri. Rasa hangat itu menggenggam perlahan jari-jariku yang dingin, entah akibat suhu yang menurun drastis akibat hujan, atau akibat kecemasan yang tidak berhenti menggerogotiku ketika aku memutuskan untuk memulai semua ini. Untuk sekedar melangkah ke ruangan ini.

Kedua ujung bibirku tertarik tipis,

Oh, kamu bener banget Habibi. This place is really great! Kalau pikiranku lagi nggak fokus ke tempat lain, I might be really enjoying this place.

Maka aku kembali menghidupkan mode berburuku, fokus mencari wajah-wajah aristokrat itu. Mengedarkan pandanganku ke seluruh area di lantai satu sambil berusaha menahan wajahku untuk tidak menyeringai seperti orang bodoh akibat jatuh cinta pada pandangan pertama dengan Hiraeth, nama kafe ini. Bagaimana tidak? 

Hiraeth menyajikan suasana homey sebuah kafe dengan perpaduan dinding putih tulang di salah satu sudut dan perabotan serba kayu, lengkap dengan tanaman-tanaman bunga di dalam pot dimana-mana: di atas meja, di sela meja yang satu dengan yang lain, tergantung di atap kayu, dan juga berderet rapi di tepi dinding serba kaca yang mengelilingi kafe. Belum lagi pilihan musik klasik yang terdengar sophisticated di telinga, atau singkatnya, keseluruhan kafe ini membuatku jatuh cinta.

Ketika tidak menemukan satu pun dari mereka, aku mencoba membongkar ingatanku lagi, tentang sebuah informasi penting dari Habibi. Menurutnya, setiap Minggu sore pukul empat seperti sekarang ini, secara rutin, mereka selalu berkumpul di sini karena -sayangnya- ini juga tempat favorit hang out mereka. Dan kalau tidak salah ingat, biasanya mereka berkumpul di ruangan VIP –mataku seketika menemukan tanda VIP Room yang diukir di atas sebuah kayu di sebelah tangga- di lantai dua. Pantesan nggak keliatan di sini ...

Ketika sampai di atas, yang suasananya lebih sepi dan terlihat lebih private, aku yakin telah berada di tempat yang benar. Aku ingat wallpaper ruangan ini yang pernah muncul di salah satu video yang Habibi kirim untukku, juga tanda VIP Room di atas sebuah pintu yang tertutup. Perlahan aku melangkah ke depan pintu itu dengan kasual, supaya tidak terlihat mencurigakan oleh pengunjung di lantai dua dan juga beberapa waitress yang tersenyum melihatku, salah satu servis pada pelanggan yang baru tiba. Ketika tidak kudengar apa pun, aku berdecak kesal.

Sial, mereka pasti di dalam. Dan nggak mungkin aku bisa masuk kalau nggak diundang dari dalam.

Maka aku pun duduk di salah satu kursi, setelah menyerah dan penat berpikir bagaimana cara memastikan mereka ada di dalam tanpa harus membuat kegaduhan. Aku duduk dua meja dari hadapan pintu, setidaknya kalau mereka benar di dalam, aku bisa langsung tau ketika salah satu atau mereka semua keluar dari ruangan ini. Aku pun mulai membuka menu sambil menghela napas.

Didn't know that stalking will be this hard. Dan kalau ini baru langkah pertama, aku nggak bisa gambling seberapa banyak lagi kekecewaan yang bisa hatiku terima.

Setelah menyebutkan makanan dan minuman yang kupesan kepada waitress, aku mengambil laptopku dari dalam tas dan membukanya. Aku juga menutup lagi kepalaku dengan hoodie karena posisiku duduk tepat di bawah AC.

Hampir setengah jam aku duduk di depan laptop, dengan setengah gelas kopi sudah kuhabiskan, dan aku juga hampir lupa dengan tujuan utamaku ke sini -saking cozynya suasana di sini- tiba-tiba pintu ruangan VIP terbuka dan dari dalamnya keluar seorang laki-laki. Efek tenang yang sudah susah payah diciptakan oleh suasana kafe ini tiba-tiba bersurai. Seperti kembang api, ketenangan dan kehangatan itu berpencar dari permukaan kulitku dan segera digantikan oleh rasa dingin yang menyelemuti tubuhku. Perasaan lain perlahan berbaur dengan rasa dingin itu dan menyusup kembali ke dalam hati, perasaan yang sukses membuatku yakin untuk meninggalkan kehidupan lama dan membawaku kemari.

Kebencian.

Laki-laki itu masih setengah tertawa ketika ia melangkahkan kakinya ke luar ruangan dan sekilas tatapan kami bertemu. Dari sudut mataku aku masih menangkapnya memandangiku untuk beberapa saat -meskipun tidak banyak yang bisa dia lihat dari wajahku yang setengah tertutup hoodie- tapi fokus mataku terpusat pada interior di dalam ruang VIP. Benar-benar persis sama dengan yang pernah Habibi tunjukkan. Satu set meja dengan sofa besar berbahan beludru berwarna merah marun dengan bingkai emas -so royalty-, sebuah minibar di pinggir ruangan –wait, they serve alcohol ini here??-, sebuah meja bilyard dan meskipun sebagian ruangan masih tertutup pintu, aku tau masih ada satu set meja dan dua buah kursi dengan tiga buah rak buku tinggi di sekelilingnya yang merupakan sudut favorit Habibi.

Dan kemudian aku melihat mereka, keenamnya, minus satu orang yang baru saja keluar. Dua perempuan yang tengah duduk berdampingan di salah satu sofa dengan anggunnya, sambil menggenggam gelas flute berisi cairan kekuningan. Salah satu dari perempuan itu berbisik di telinga yang lain dan membuat mereka tertawa bersama, masih dengan keanggunan yang aku yakin telah diwariskan di gen mereka sejak lahir.

Dua laki-laki tengah bertanding bilyard dan yang satu lagi duduk di salah satu kursi bar sambil menatap kawan-kawannya dengan ekspresi bosan, dan kemudian pintu ruangan itu tertutup.

Aku tidak sadar telah mengepalkan kedua tanganku erat-erat dan mengigit bagian dalam bibirku sampai kurasakan aroma metal darah yang mengalir akibat gigitanku itu, berusaha mengendalikan emosi yang membuncah dari dalam dadaku ketika melihat mereka semua di hadapanku. Begitu nyatanya dan bersikap seolah mereka tidak pernah berbuat dosa fatal sama sekali. Aku begitu ingin mencekik mereka satu-persatu, menyakiti mereka supaya rasa dingin yang menyelimuti hatiku ini segera pudar, supaya aku puas.

Tapi tidak seperti itu cara menghancurkan mereka.

Aku sudah menunggu lama hingga hari ini tiba, dan aku tidak akan membiarkan emosi mengalahkan akal sehatku. Salah satu langkah saja, rencana yang sudah aku bangun matang-matang pasti gagal, dan selain itu ... hidupku taruhannya.

Ketika tak lama laki-laki yang keluar tadi kembali -sepertinya dari toilet- dan menatapku sekilas sekali lagi, dan membuka pintu ruang VIP, kudengar suara mereka. Suara tawa yang tanpa beban, membuatku darahku semakin mendidih. Saat itu juga, tekadku bulat sudah.

I promise you, Habibi. Aku nggak akan biarkan mereka lulus dari Khalifa sebelum mereka membayar perbuatan mereka sama kamu.

Aku akan hancurkan hidup mereka semua.

Satu-persatu.

Habibi's Project (Khalifa's International School) - ON HOLDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang