Rutinitas

296 4 0
                                    

Setiap hari aku terbangun tepat saat adzan subuh berkumandang. Aku segera mandi lalu mengambil air wudhu. Ku mulai dari pergelangan tanganku, berkumur-kumur, memasukkan air ke dalam hidung, lalu membasuh wajahku, lengan sampai ke siku, kepala, telinga, dan kedua kaki. Air mengalir yang membasahiku terasa menyegarkan hngga membuatku tersadar sepenuhnya dari alam mimpiku. Lalu aku bergegas menunaikan sholat subuh. Setelah itu aku memakai seragam sekolah dan mempersiapkan buku pelajaranku. Mungkin aku selesai bersiap-siap pada pukul setengah tujuh. Ku sempatkan memakan kue yang biasanya dijual ibuku. Ibuku menjual aneka jajanan pasar seperti donat, panada, onde-onde, bingka, dan lainnya. Setelah diberi uang jajan barulah aku berangkat ke sekolah.

“ayo yan berangkat sekolah!”
“tunggu mba, lagi pakai sepatu.”

Setiap aku pergi ke sekolah, aku selalu bersama adikku Rayyan. Sekarang dia sudah kelas 1 SD. Kami menyusuri jalan yang masih dalam perbaikan. Perbaikan itu tepatnya di depan sekolah adikku SD Negeri 004. Di sebengkok wilayah tempat tinggalku merupakan wilayah yang sering banjir, walaupun hujannya hanya sebentar. Saat banjir aku melihat sampah-sampah yang tersangkut di parit-parit. Tapi, karena sekarang sedang masa perbaikan banjir itu berubah menjadi becek karena masih berupa tanah dan belum di aspal.

Setelah mengantar adikku sampai gerbang sekolah, akupun melanjutkan perjalananku ke lampu merah. Di pinggiran jalan ini hanya ada hotel, toko-toko, dan mini market sehingga jalan ini agak sepi karena toko-toko open sekitar jam delapan. Di jalan inilah kadang ku temui orang stress, orang nge-lem, bahkan orang aneh yang suka berteriak sendiri. Perjalananku ditemani dengan kicauan burung-burunh walet yang menyambut mentari pagi.

Sesampainya di lampu merah, aku menyeberang ke ruko yang tentunya belum buka, di sanalah aku menunggu angkot. Setelah dapat angkot, hanya butuh tujuh menit untuk sampai, tapi tidak langsung sampai ke sekolah. Aku berjalan kaki lagi sekitar dua menit. Kira-kira total lama perjalananku dari rumah ke sekolah kurang lebih tiga puluh menit.

***

Saat ini aku kelas tiga SMA jurusan IPS. Sebagai anak kelas 3 yang sebentar lagi lulus, hidup kami akan dipenuhi dengan tugas, ulangan harian, tugas praktek, sosialisasi dari universitas, simulasi, ujjan dan sebagainya. Di kelas 3 inilah masa-masa menentukan jurusan yang akan di tuju di perguruan tinggi. Saat kelas 2 aku memilih jurusan sistem informasi, setelah kelas 3 semuanya berubah. Aku sempat memilih manajemen, pendidikan sosiologi, dan pendidikan guru sekolah dasar. Cukup sulit menentukan jurusan di perguruan tinggi. Aku ingin minat dan hobiku selaras. Aku suka berbicara, bersosialisasi, bekerja sama dan lain-lain. Ku pikir manajemen pemasaran cocok untukku, tetapi setelah ku lihat mata kuliahnya berupa ekonomi makro, ekonomi mikro, pengantar ekonomi, dan lainnya. Ku rasa aku kurang sreg dengan jurusan ini.

Di minggu terakhir bulan september, ada sosialisasi dari suatu universitas swasta. Universitas tersebut cukup bagus. Pembicaranya adalah seorang wanita, dia jurusan ilmu komunikasi. Aku baru tau tentang jurusan itu. Dia bekerja sebagai marketing di universitasnya. Kalau dipikir-pikir inilah yang ku cari. Aku sangat tertarik, tapi yang namanya swasta so pasti mahal. Setelah itu aku searching universitas negeri yang terdapat jurusan ilmu komunikasi, sayangnya universitas di kotaku tidak terdapat jurusan itu.

***

Masa-masa kelas 3 adalah masa yang sibuk, sibuk memperbaiki nilai, sibuk mencari universitas, sibuk mencari info kost-an yang dekat dengan universitas, dan sibuk memilih jurusan. Bahkan aku sekarang sering ke ruang BK untuk konsultasi mengenai pendidikan setelah SMA. Sempat terpikir untuk mengikuti jalur bidik misi, karena kondisi keuangan ibuku. Tapi tentunya terdapat beberapa syarat. Gaji orang tua harus kurang dari 3 juta per bulan, karena ibuku hanya menjual jajanan pasar yang pendapatannya sekitar 1 juta per bulan. Kondisi tempat tinggal, aku tinggal di rumah nenekku yang merupakan rumah sendiri bukan kontrakan karena rumah itu dihuni sejak ibuku masih anak-anak. Keluarga ku cukup mampu karena om ku PNS, nenekku yang setiap bulan mendapat dana pensiunan karena alm kakekku dulu seorang guru.

Aku teringat saat konflik perceraian orang tuaku, keluarga ku yang disini sangat heboh dan membesar-besarkan masalah. Bukan keluarga ku sih, just my grandma.

“biar saja si Dinda sama adek-adeknya sekolah disini, ada pamannya, julaknya yang bantu.” Ucap nenekku lewat telepon.
You such a liar.  Hanya pencitraan. Yang ada ia malah menyuruh ibuku menyiksaku dengan menyuruh berangkat sekolah dengan jalan kaki lalu naik taksi.
“biar saja dia jalan kaki, siksa saja dia.” Ucap nenekku yang tak sengaja ku dengar.

Terkadang aku sempat berpikir,
“inikah yang namanya dibantu?”
“inikah yang namanya keluarga?”

sangat berbeda dengan definisi yang kuketahui, berbeda dengan di KBBI, berbeda dengan di wikipedia, berbeda dengan sinetron dan drama, dan tentunya berbeda dengan yang aku inginkan. Walaupun di PIK-R mempelajari 8 fungsi keluarga, bagiku itu ibarat sebuah dongeng, why? Karena tidak sesuai dengan kenyataan yang ku hadapi.

***

Rumah adalah penjara bawah tanah
Keluarga adalah penjaganya yang kejam
Apa yang bisa mereka janjikan untuk masa depanku?
Aku bukan robot yang bisa mereka suruh ini dan itu
Terkadang mereka menganggapku anak kecil, yang tidak perlu mengetahui masalah orangtua.
Tetapi setelah sesuatu atau masalah terjadi, mereka menganggapku sudah dewasa dan memaksaku untuk mengerti situasi dan kondisi serta memahami keputusan mereka, yaitu bercerai.
Mereka lupa, bahwa aku hanyalah seorang remaja yang berada dalam masa pencarian jati diri, mencari tau siapa dirinya dan apa yang seharusnya ia perbuat sebagai individu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 09, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Sepenggal KisahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang