24. Pengakuan

1.8K 180 14
                                    

24

Pengakuan

“Ada banyak hal yang seringkali ingin kita ingkari. Nyatanya nggak bisa. Semakin kita ingkari, semakin kenyataan membunuh perlahan.”

A&A

Helaan nafas Dara yang kesekian kalinya masih tak mampu menghapus kegelisahan gadis itu. Di sampingnya, ada Dama yang sedari tadi merangkulnya sambil terus memuji bakat akting adiknya. Perlahan tangan Dara mulai melingkari pinggang Dama, kemudian ia sandarkan kepalanya di bahu sang kakak.

Lelah. Tak tahu kenapa, ia merasa bebannya akhir-akhir ini cukup banyak.

“Kenapa?” bisik Dama.

Dara menggelengkan kepala sebagai jawaban.

Beberapa anak yang kebetulan masih berkumpul di ruang teater mencuri pandang ke arah mereka. Sebagian bertanya-tanya, sebab selama ini hanya orang-orang tertentu yang mengetahui hubungan darah antara Dama dan Dara. Tak ayal pemandangan yang terlihat ‘mesra’ itu membuat mereka bingung.

“Pulang?”

Kali ini Dara mengangguk. Mau tak mau Dama mengalihkan pandangannya ke arah sahabat-sahabatnya, lalu dibalas anggukan pelan termasuk dari Kara.

“Aku pulang bareng Fany,” sahut Kara seolah mengerti maksud tatapan kekasihnya.

“Kalo gitu, aku pulang dulu bareng Dara,” pamit Dama.

Tanpa sengaja, kedua manik mata Dama menangkap basah Andra yang sedang memerhatikan adiknya. Alis Dama sontak terangkat, menebak-nebak apakah sikap aneh Dara ini ada hubungannya dengan Andra atau tidak.

Setelah beberapa langkah kepergian Dara dan Dama, Andra yang sedari tadi hanya diam merasakan sesuatu bergetar di sakunya. Tangan Andra bergerak meraih ponsel yang entah kapan ia simpan di sana. Ia langsung mengecek pesan yang masuk ke dalam ponselnya. Detik itu pemuda dengan alis tebal itu melirik Dama yang sudah semakin menjauh.

From: Dama

Setelah gue anterin Dara, kita ketemu di tempat biasa

“Ndra, mau bareng nggak?” tanya Biel seraya menyentuh bahu sahabatnya.

Andra menoleh pelan lalu menggeleng. “Ada urusan,” katanya.

“Oke deh. Gue, Fany sama Kara duluan dah kalo gitu,” balas Biel.

Andra hanya menganggukkan kepala.

“Duluan ya, Ndra,” pamit Kara dan Fany bersamaan.

“Iya.”

Selanjutnya, pemuda itu menghela nafas panjang. Ada sesuatu yang membuat hatinya tidak tenang. Ada hal yang tak ia mengerti bagaimana cara mengatasinya. Kini, setelah semuanya berjalan sejauh ini, Andra justru semakin bingung.

Belum lagi mengenai pesan dari Dama. Efek dari pesan itu membuat Andra teramat resah. Ia seolah sudah dapat menebak apa yang akan sahabatnya itu katakan padanya. Andra mendesah berat, lalu menggelengkan kepala. Apapun yang terjadi nantinya, haruslah ia hadapi.

***

Duduk berdua bersama Dama ternyata bisa sekaku ini. Kali pertama dalam hidup Andra, ia merasa ingin menghindari dari tatapan mengintimidasi sahabatnya. Di lain sisi, ia paham sekali bahwa yang saat ini dihadapinya bukanlah Dama sahabatnya, melainkan kakak dari gadis yang selama ini mengobrak-abrik hatinya.

“Jadi? Ada yang mau lo jelasin ke gue?”

Pertanyaan pembuka dari Dama itu membuat Andra mendongakkan kepalanya.

Andra & Andara [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang