D I A T O N I K A
○●○
"Nasi sudah menjadi kerak panci." --Kadena Airin Laevara
"Terkadang, rasa sakit bisa diredam oleh rasa sakit yang lain." --Juanda Kenan Saffaraz
○●○
Jakarta, 20 Juni 2019.
Lima jam setelah delay, akhirnya, pesawat pun siap take off ke Palembang. Memasuki lorong kabin, gadis berambut panjang itu celingak-celinguk. Kursi-kursi penumpang ia sentuh dengan pandangan kosong. Sneakers-nya diseret malas, berjalan hingga tiba di kursi yang bernomor sama dengan yang tertera di tiket.
Kaki mulus tersebut berhenti-enggan langsung duduk. Diamati jendela bersudut tumpul yang sejajar dengan pintu darurat yang dipunggunginya. Lalu, netra Kadena beralih pada kotak bagasi di atas kepala, dibuka guna menaruh koper mini yang lebih mirip tas carrier beroda.
Boro-boro ke Dufan atau mengunjungi Monas seperti wishlist-nya. Sepulang dari audisi kemarin, Kadena enggan makan apa pun. Tidur sepanjang hari, dan baru melek saat jadwal penerbangan ke Palembang sudah mepet.
Kadena terlalu galau memikirkan kekalahannya di audisi menyanyi kemarin. Ia benci gagal. Sangat benci, melebihi rasa bencinya pada bau kaus kaki yang semerbak.
Niatnya menginap sehari lagi di hotel terpaksa urung, lantaran harus pulang. Lusa, ia harus menjalani Pengenalan Kegiatan Kampus yang diselenggarakan oleh universitas impiannya di Palembang. Ah, sebuah tamparan pasti ia terima saat pulang ke kota pempek tersebut. Ya Tuhan, ia benar-benar galau! Kadena takut pulang. Terlebih, ia takut diejek karena gagal.
Aksi nekatnya pergi ke Jakarta tanpa izin ternyata sia-sia. Nasi sudah menjadi kerak panci. Tidak bisa dimakan lagi. Kalau nasi sudah menjadi bubur mah masih bisa dimakan. Bikin kenyang. Lah, ini? Pahit, Bund.
"Permisi. Bisa minggir dulu?"
Lamunan Kadena dipecahkan oleh suara di belakangnya. Ia menoleh. Siapa laki-laki berjaket denim ini? Orang asing. Rahang tegas yang mengunyah permen karet itu terangkat maju-menyuruh Kadena duduk.
"Minggir, gue mau duduk," ulangnya ketika menyadari bahwa mereka tampak seumuran.
Sontak, Kadena mengernyit. Ia pun menepi-membuka jalan untuk lelaki itu agar duduk di dekat jendela. Namun, yang dilakukan lelaki tersebut malah sebaliknya.
Ia menduduki kursi di sisi lorong kabin, tempat orang berlalu lalang. Membiarkan Kadena berdiri macam patung berwajah datar. Tubuh ramping gadis itu ditabrak satu dua orang yang tergesa-gesa melewati kabin.
"Lo di dalam. Gue malas dekat jendela," ucap lelaki itu begitu dingin.
"Enggak. Lo yang di dalam," bantah Kadena kesal.
"Cek lagi tiket lo. Ini kursi gue."
Laki-laki itu berlaku bodo amat. Ia malah memasang earphone yang tersambung ke USB mini di kantong jaketnya. Bersandar, lalu memejamkan mata sambil bersedekap.
Kurang asem!
Tanpa aba-aba, Kadena otomatis menginjak sepatu bermerek Converse biru tua yang dipakai orang tersebut. Erangan kuat tak terelakkan. Tatapan kaget dari penumpang lain otomatis tertuju pada mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diatonika
RomanceSuper nekat. Kata yang pas untuk menggambarkan sisi ekstra gila Kadena. Persetan pada larangan dan janji keluarga, Kadena tetap bersikukuh ingin jadi penyanyi. Di balik keras kepalanya, ada hati yang gagal move on dari Radevin. Terlebih ketika sang...