"Nal, bukannya kita lebih baik bergerak daripada cuma diem aja di sini?" Tanya Della sembari mengasah pisau belati di dekat Nabilah yang tengah sibuk mengamati keadaan di luar sana dari monitor. "Lo gak inget apa kata bokap lo? Penciuman mereka tajam, kalau kita cuma diem aja di sini sama aja kita bunuh diri."
Shania yang masih belum terlalu paham tentang ini hanya diam menyimak sambil mengisi perutnya dengan makanan instant.
"Tenang aja Del, kita jauh di bawah tanah. Lagi pula lo udah pasang pengharum ruangan yang otomatis nyemprot setiap tiga menit sekali 'kan?" Sahut Nabilah santai. Della mengangguk mengiyakan ucapan Nabilah barusan. Della memang memasang alat tersebut di atas sana untuk mengalihkan perhatian mereka. "We're safe then."
Kinal mengusap rambut basahnya dengan handuk lalu duduk di kursi sambil menyambar sebungkus cemilan dan memakannya. Kinal beralih menatap Shania yang sedari tadi tidak bersuara. "Jadi, apa tujuan lo ke sini?" Tanya Kinal penasaran.
"Ah," Shania membersihkan mulutnya dengan tisu lalu tersenyum tipis. "Sebenernya gue ke sini buat nyari seseorang." Kata Shania yang langsung membuat Kinal menatapnya dengan tatapan menyesal sekaligus kasihan.
Nabilah memutar tubuhnya guna menatap Shania. "Lo emang gak tau kalau kota ini udah terinfeksi?" Tanya Nabilah pelan.
Shania diam sejenak lalu menggelengkan kepalanya.
"Gak ada satu pun info yang nyampe ke sana? Ke tempat asal lo?" Kini giliran Della yang bertanya.
"Gimana bisa nyebarin info," Kinal bersuara sambil tersenyum getir. "Kita tuh udah terputus dari kota lainnya, Del. Sinyal aja gak dapet 'kan?" Ucap Kinal, Della dan Nabilah mengangguk.
"Sebelum virus ini menyebar ke seluruh Indonesia, kita harus cari tau. Kita harus selesain ini. Kalau nggak, yah kalian tau apa yang akan terjadi." Kinal beranjak dari duduknya lalu mengambil sebuah pistol dari rak tempat dimana mereka menyimpan berbagai macam senjata api dan senjata tajam.
"Karena ini hari pertama lo, gue bakal ngasih tau nama-nama dari senjata ini dan cara gunainnya," Kinal menyodorkan pistol yang biasa Polisi gunakan untuk bertugas kepada Shania. "Senjata yang paling bisa kita andalkan, selain gak terlalu berat, cara ngoperasiinnya pun juga mudah."
Shania beranjak dari duduknya lalu mengikuti Kinal. Kinal masuk ke dalam ruangan kosong lalu beralih menatap Shania. "Coba posisi tangan lo membentuk sudut 90° nah iya begitu." Kinal menunjuk ke arah pelatuk dan mengarahkan jari telunjuk Shania kesana. "Bidik sasaran, setelah itu tekan. Gampang bukan?"
Shania mengangguk paham. Kinal memberi isyarat kepada Shania untuk mencoba. Shania sedikit meringis lalu mulai bersiap. Sebelumnya dia belum pernah melihat pistol secara langsung, paling hanya dari film yang dia tonton saja. Dia seperti sedang bermimpi, di genggamannya ada pistol yang akan siap melumpuhkan lawan di hadapannya.
Jdaar!
Peluru melesat mengenai sebuah botol yang hanya terjatuh ke bawah. Kinal tersenyum tipis. "Lumayan lah untuk seorang pemula." Kata Kinal sambil menepuk bahu Shania. "Biasain ya denger suara bising begitu, karena mulai hari ini senjata api adalah sahabat lo. Sahabat kita."
"Malam ini gue yang keluar," ucap Della.
Nabilah mendelik. "Gila lo ya? Gak inget pesen bokapnya Kinal? Usahain jangan pergi sendirian."
Della menghela napasnya lalu ia menyandarkan tubuhnya di dinding. Dia harus mencari sepupunya. Dua sepupunya yang hilang saat wabah itu baru tersebar. Saat itu Della tengah berada di pusat kota dengan dua sepupunya, Sisil dan Saktia. Mereka menghabiskan waktu di pusat kota sebab libur semester akan segera berakhir.

KAMU SEDANG MEMBACA
Escape [Stopped]
FanfictionPerjuangan Shania mencari kawan lamannya di sebuah kota yang terinfeksi oleh virus yang tidak diketahui bersama teman-temannya.