part 1

110K 3K 24
                                    


Aku Syaleindra Yuki Minami, dari nama saja kalian pasti bisa menebak kalo aku ini keturunan Jepang-Indonesia. Ayahku sendiri memang berasal dari Jepang, sedangkan Mama munri dari Indonesia. Hari ini aku merayakan ulang tahun yang ke-25. Aku merayakannya hanya bersama Mama dan putraku yang baru berusia lima bulan, Verzy Dunant. Ah, juga asisten rumah tangga yang bekerja di rumah Mama ini.

Papa sudah meninggal sejak aku berusia sepuluh tahun. Jadi, sejak itulah Mama yang menangani semuanya, selain mengurusku juga menangani perusahaan. Bahkan, di saat aku mengalami keterpurukan satu tahun lalu, sepulang dari Perancis tepat sehabis dinyataan lulus dari kuliahku, Mama selalu ada untukku. Dengan tidak tahu diri, waktu itu aku pulang dengan membawa berita bahwa aku telah hamil oleh kekasihku sendiri. Brengsek dan tidak bertanggung jawab, begitulah sedikit gambaran dari pria sialan itu.

Aku stres, aku merasa menjadi anak yang tak bisa dibanggakan seperti mimpi Papa dan juga Mama. AKu telah menyia-siakan perjuangan Mama selama ini untukku, mengingat Mama lah yang telah membesarkanku. Ketegaran Mama waktu itu memang membuat hatiku semakin teriris dan merasa berdosa. Tidak memarahi, mengusir atau mendepakku dari daftar kartu keluarga, tetapi Mama merangkulku penuh kasih sayang, mengucapkan kalimat-kalimat mendukung dengan intonasi suara yang lembut. Aku tak menyangka Mama akan bertindak seperti itu padaku yang jelas sudah mengecewakannya. Kami menangis bersama sambil saling memeluk, melepaskan beban dan memberi kekuatan.

Hingga akhirnya support dari Mama lah yang membuatku bertahan sampai saat ini. Aku akan memperbaiki kesalahanku, menebus semuanya dan membuat Mama bangga padaku, menjadi ibu yang baik untuk Ezy, itu cita-citaku.

__oOo__

Selesai kami merayakan ulang tahunku. Kini aku dan Mama masih duduk dan mengobrol di meja makan, sesekali membicarakan mengenai perkembangan butikku, atau mengenai perusahaannya.

“Sayang…” celuk Mama lembut. Aku menghentikan suapan biskuit susu yang sudah ku lembutkan seperti bubur pada Ezy. Aku menatap kedua manik mata Mama.

“Ya Ma?” sahutku.

“Mama ah, kau masih ingat Bunda Joy dan Ayah Joe kan?” tanyanya. Aku mengernyitkan alis berusaha mengingat. Ya, Bunda Joy dan ayah Joe, dulu aku memanggil mereka seperti itu karena kami dulu tinggal dalam satu atap. Mereka mengalami kebangkrutan dalam bisnis yang sedang dirintis kala itu. Tahu itu, Papa dan Mama meminta mereka untuk tinggal bersama kami, di rumah ini. Aku ingat betul, peristiwa itu terjadi saat umurku menginjak usia tujuh tahun. Mereka sangat baik padaku, bahkan sebelum perusahaannya bangkrut mereka selalu mengunjungi kami dan membawakan banyak makanan setiap kali berkunjung.

”Aku ingat.” Balasku disertai senyum. Aku menyimak sambil terus menyuapi Ezy yang tampaknya sangat menikmati makanan barunya ini, karena selama ini aku hanya memberinya asi. Ck, semakin chubby dan gempal saja badannya itu.

“Mama, ingin menikahkanmu dengan putra bungsu mereka, Sya,” tubuhku tersentak, perkataan yang keluar dari mulut mama mampu membuatku diam seribu bahasa.

“Sya, Mama hanya ingin kau hidup seperti keluarga kecil lainnya. Ezy butuh Ayah, Sya. Dia akan tumbuh menjadi anak laki-laki, akan lebih bagus bukan kalau ada sosok ayah yang menemaninya tumbuh dan berkembang?” jelas Mama pelan-pelan, seolah tahu kalau aku sedikit tak suka dengan berita ini. Ingin sekali aku mengatakan bahwa aku masih bisa mengurus Ezy sendiri, mencintainya sepenuh hati. Soal tumbuh menjadi anak laki-laki, aku bisa jamin tanpa sosok ayah pun Ezy bisa tumbuh seperti anak laki-laki yang punya orangtua lengkap.

“Siapa namanya?” tanyaku lirih, masih belum mau menatap Mama, takut berakhir pasrah kalau sampai melihat kedua mata Mama yang pasti sedang menyorotku penuh harap.

“Demond Axel Dermawan. Usianya 20 tahun, Sya.”

“Apa? Ma, bukan apa-apa, tapi bagi Syasya 20 tahun itu masih sangat muda untuk menjadi seorang suami, apalagi menikah dengan wanita sepertiku, punya satu anak. Apa Mama yakin?” entahlah rasanya aku mulai kesal saking terkejut mengetahui usianya. Jujur, sebenarnya aku tak kuasa berbicara sekeras itu pada Mama, tapi ini benar-benar tidak mungkin. 20 tahun? Setahuku usia segitu masih memiliki emosi yang terbilang labil, bagaimana kalau dia mudah tersinggungan, lalu marah, memicu pertengkaran atau malah sampai pada kekerasan? Tuhan, yang benar saja? Dia masih harus kuliah, bukannya mengurus anak dan mencari nafkah untuk keluarga.

“Sayang, menilai orang itu bisa dari banyak sisi, bukan hanya dari usia. Usia tidak bisa dijadikan patokan untuk mengukur dewasa atau tidaknya orang itu. Kamu harus mengenalinya lebih dalam, Mama beritahu supaya kamu sedikit kenal dengannya. Demond adalah seorang Direktur muda di A’food Group, salah satu cabang perusahaan keluarga Dermawan. Dia juga seorang chef papan atas di salah satu restoran miliknya. Jangan kau pikir dia masih kuliah dan seperti bocah ingusan, atau tidak mampu menghidupi keluarganya.” Mama tersenyum … mengejek padaku. Cih,

Oke, aku berhasil dibuat menganga oleh penjelasan Mama tentang Axel, hm aku akan memanggilnya Axel. Sulit dipercaya!

“Dia memiliki kecerdasan diatas rata-rata makanya, mampu menamatkan pendidikan di jurusan bisnis dan manajemen sekaligus pendidikan chef di usia 17 tahun.” Jelas Mama, kembali membuatku menganga.
“Ada orang seperti itu ternyata?” gumamku lirih, namun sayang Mama mendengarnya.

“Tentu saja ada, dia calon suamimu.”

“Ma, aku belum menyetujuinya loh.” Tegasku dan membuat Mama kembali diam. Astaga, aku membuat Mama sedih lagi? Tapi aku masih belum ingin menikah untuk saat ini.

“Kalau Mama memberitahumu mengenai hal lainnya, apa kau masih akan menolak?” aku kembali bertanya-tanya tentang pertanyaan Mama,

“Maksud Mama?

“Dia, Demond melamarmu dua hari yang lalu langsung pada Mama.”

Bagaimana bisa dia melakukan itu? Kenal saja tidak. Lalu, apa alasan dia melamarku? Heish, apakah aku sedang penasaran dengannya sekarang?

“Apa ia mengenalku sebelumnya?” tanyaku sambil membawa Ezy dalam rengkuhanku karena ia terlihat mengantuk. Merebahkan kepalanya di dadaku dan mengelus puncak ubun-ubun yang sudah ditumbuhi rambut-rambut tipis.

“Ia pernah bertemu denganmu dua kali. Mungkin kau tidak tahu, saat kami datang ke acara pengesahaan restoran barunya. Yang kedua, dia sempat bertemu denganmu langsung di butik.” Jelas Mama lagi. Mana aku tahu, aku tidak akan sadar kalau itu dia, kan?

Aku menggelengkah kepalaku pada Mama, sebagai tanda aku sama sekali tidak mengenal Axel.

“Ya sudahlah, jadi bagaimana? Kau mau menikah dengannya? Demond serius mengenai ini, Sya. Mama tidak ingin kau larut dalam kesendirian. Tidak tahu kenapa, Mama bisa seyakin ini kalau dia jodoh yang sudah dipersiapkan Tuhan untukmu.” Aku tertegun mendengar setiap rentetan kalimat yang Mama ucapkan padaku. Terdengar sedikit berlebihan, memang. Tapi, aku sampai tertegun mendengar serentet kalimat yang terucapkan oleh Mama.

Sayang, rasa ragu masih ada. Perasaan tidak ingin kecewa untuk yang kedua kali juga masih menghantuiku. Segala peristiwa di masa lalu meninggalkan bekas yang mendalam dan sangat menyakitkan ketika kembali diingat. Mungkin, aku sudah berdamai hingga bisa leluasa bercerita tentang masa lalu, tapi untuk melupakan bukan suatu hal yang mudah. Itulah yang membuatku berprinsip untuk tidak jatuh ke lubang yang sama dan menghasilkan perasaan kecewa.

“Ma … beri aku waktu.”

Married	with	young 	manTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang