Avion

44 22 4
                                    


Dion mencari seat-nya dengan tidak mudahnya, karena insiden tabrakan dan mencari Anin untuk mengembalikan tiketnya tadi alhasil sudah banyak orang duduk atau berdiri mengatur koper untuk ditaruh diatas kabin yang mana membuat jalan menjadi ekstra sempit. Dion mencari seat 14A sebelah kiri samping jendela, entah kenapa pemandangan di atas ketinggian selalu bisa membuatnya terhanyut dalam keheningan, dan mengembalikan rajutan kenangan pahit yang pernah ia coba untuk lupakan.


Setelah berusaha menahan nafas tidak bersenggolan dengan orang-orang yang (masih) rempong dengan kopernya, Dion pun tiba di seat-nya. Beauty, Cozy, and Silent, gumamnya sambil tersenyum sendiri. Memang penerbangan kelas Main Cabin Extra sering sepi jika tidak dalam musim liburan.


Akhirnya Dion sampai di kursinya, terlihat ia tak sendirian. Sudah ada seorang wanita yang duduk di sebelahnya, yang sedang sibuk dengan headset dan juga novelnya. Berbeda dengan kebanyakan social climber jaman sekarang yang menggunakan berbagai macam headset brand ternama seperti beats by dr.dre, IEM Co-Donguri Shizuku, TFZ King, wanita ini justru menggunakan walkman sebagai penghilang kebosanannya. Dion terkagum melihat masih ada wanita sederhana yang menggunakan bahan-bahan oldskool di era kemajuan teknologi dan fashion yang pesat ini.

Lalu Dion duduk, tampaknya wanita ini tidak menyadari kehadirannya. Ia terus fokus dengan bukunya, bagai ada magnet di setiap lembaran halamannya. Pesawat sudah take-off, kini ia ada di ketinggian 38.000 ft di atas permukaan laut, ada kehampaan di hatinya walaupun pesawat sedang ramai. Masih terlintas memori ketika ia pertama kali bertemu dengan seorang wanita yang mengubah hidupnya di tempat yang sama dengan sekarang. Wanita yang mengubah cara pandangnya terhadap hidup, memberinya motivasi untuk terus berjuang menggapai mimpinya, wanita yang menjadi alasannya untuk tetap hidup seperti sekarang. Memori itu terus menerus terputar di kepalanya, seakan ada rewind yang sengaja disetel oleh otaknya karena situasinya sama persis dengan kejadian tiga tahun silam.

"Serius banget bacanya." ucap Dion membuka pembicaraan.

"Hehe iya nih, abis seru sih bukunya!" Jawab Anin antusias, sambil tersenyum manis ke arah Dion.

Dion diam sejenak, menikmati detik demi detik senyuman terindah yang pernah ia temui di 23 tahun masa hidupnya.

"Baca novel ya?" Dion bertanya lagi.

"Bukan, puisi." jawabnya singkat namun tetap dengan nada ramah.

"Puisi?"

"Iya, puisi. Puisi lama lebih tepatnya." Anin mulai mencoba fokus kembali ke bukunya.

"WS Rendra?" Dion bertanya segera, sebelum Anin benar-benar tenggelam ke dalam delusi bukunya.

"Bukan, Sapardi Djoko Damono."

"Hujan Bulan Juni?" Dion teringat kepada seorang seniman Indonesia yang sangat terkenal di era kakeknya, dulu kakeknya suka sekali membacakan kalimat-kalimat mutiara karangan Sapardi Djoko Damono.

"Eh? kamu tau?" Anin tersentak antusias sambil melihat ke arah Dion, nampaknya ia mulai tertarik dengan topik yang ditawarkan oleh Dion.

Dion terdiam, Anin benar-benar mirip dengan orang itu. Caranya tersenyum, tatapan mata yang sayu-sayu menggemaskan.

"Hei! kok bengong?" Anin membuyarkan lamunan Dion.

Shit! bisa-bisanya gue kepikiran dia di saat-saat seperti ini.

Dion terus mengutuk dirinya yang tidak bisa fokus dengan lawan bicaranya. Wanita itu tidak benar-benar pergi dari hidup Dion, ia akan tetap terus tinggal di dalam tubuh Dion, tepatnya di hati dan otaknya. Because when people go, memories stays.

"Eh iya sorry, gue suka bait puisi yang ini.." lalu Dion membacakan puisi karya Sapardi Djoko Damono favoritnya yang ia dapatkan dari kakeknya sewaktu Dion masih kecil.


Aku ingin mencintaimu dengan sederhana;
Dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu.

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana;
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan
kepada hujan yang menjadikannya tiada.


Anin tersenyum manis, cantik. Dia cantik, sungguh-sungguh cantik. Dion bergumam sendiri.

"Aku juga suka karya-karya WS Rendra, apalagi yang ini.." Anin membacakan sajak favoritnya dengan alunan nada layaknya seorang pujangga.


Mencintaimu adalah bahagia & sedih;
bahagia karna memilikimu dalam kalbu;
sedih karena kita sering berpisah.


Mereka beradu sajak selama 7 jam perjalanan ke Tokyo, tidak ada lagi kata orang awam di antara mereka, yang ada dua insan anak manusia yang sama-sama menyukai puisi, sajak, prosa dan sedang berbagi perasaan satu sama lain. Bukan, mereka bukan sedang jatuh cinta. Percayalah, jatuh cinta tak sesingkat ini, namun tak serumit itu.






Aninditha Rahma, bolehkan aku mengenalmu lebih dekat lagi?

Tertanda, Dionella Arkham Hades.



ETHEREALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang