Langitnya sangat cerah, biru berhias awan. Banyak sinar tapi sedikit sejuk. Benar-benar hari sempurna untuk bermain di luar ruangan ketika jam istirahat tiba. Bermain bola, skateboard, menjahili teman, dan banyak lagi. Tak perlu khawatir kekurangan tempat, halaman masih luas
Di bawah pohon rindang di salah satu sudut halaman sekumpulan muda-mudi bercengkrama. Masing-masing membawa bekal makan siang mereka yang terdiri dari sandwich, apel, sekotak jus atau susu. Kudapan ringan namun cukup mengenyangkan bagi mereka. Tawa mengiringi topik mereka yang berganti-ganti. Mereka nampak begitu menikmati pembicaraan kecuali Jean. Yang memunggungi batang pohon. Dan menyenderkan punggung, memandang jauh ke atas langit. Fokus pada seekor burung yang ia pikir camar.
Dahulu, dia selalu berpikir kenapa tak lahir sebagai burung. Elang jika mungkin. Bisa terbang tinggi. Penglihatan tajam berkilo-kilo meter. Pemburu agung, Raja Angkasa. Terpenting adalah kebebasan yang selalu ada di hadapannya. Ketika ingin, Jean memejamkan mata. Membayangkan dirinya memiliki sepasang sayap lebar dan terbang tinggi melihat dunia.
Perlahan, berangsur-angsur perasaan itu menjadi nyata. Dia bisa merasakan lajur angin pada seluruh tubuh juga sayapnya, membawanya makin tinggi, semakin tinggi mencapai langit tertinggi. Untuk sebuah alasan dia merasa senang.
"Hei!"
Suara itu begitu keras. Jean terbelalak kaget. Dia lepas dari perasaan nyamannya barusan. Menatap kearah teman-temannya yang tertawa usil dan terbahak-bahak. Dia tersipu sembari menggaruk belakang kepalanya.
"Wow, Jean, kau benar-benar hebat dapat tidur sementara kami berisik seperti ini," ujar gadis di dekat Jean.
Jean tak menjawab, hanya menerbitkan senyuman kecut.Ini jam terakhir. Matematika. Salah satu pelajaran yang dikuasai Jean, namun juga yang paling membosankan. Setiap hari menghitung, menghafal rumus sama setiap tahun. Bila ada yang terbaru, rumusnya makin kusut seperti benang wool. Ms. Rowseen nampak begitu antusias seperti biasanya mengajar anak muridnya. Tak seorangpun memalingkan pandangan dari guru muda energik itu. Bukan karena sekelas menguasainya, tapi karena konsekuensi kehilangan satu nilai plus dari buku siswanya dan hukuman. Sementara Jean seakan melupakan ultimatum itu. Lebih memilih berpaling menatap keluar melalui kaca jendela buram kelas. Berharap agar kelas cepat berakhir.
"Tuan Carrington," suara nyaring Ms. Rowseen menyelinap di kuping Jean. Dia menoleh. Disambut tatapan tajam mengintrogasi sang guru, juga teman sekelasnya ikut menatapnya.
"Bisa kau fokus pada pelajaran, Tuan Carrington? Aku tahu kau ahli dibidang ini, tapi aku tak mentolerir siapapun yang tak memperhatikan dikelasku," katanya tegas.
"Yes, miss."
Begitulah Jean mencoba menegakkan punggung, melipat tangan, fokus pada whiteboard penuh coretan spidol hitam dan merah. Berisikan rumus-rumus yang baru Jean pelajari tadi malam. Seketika, perasaannya tadi siang kembali menghingapinya. Sambil menatap kedepan pikirannya kembali menjadi seekor elang.
Bel terakhir berdering. Rencananya Jean ingin segera pulang, namun seorang guru dari club fisika. Mengenakan jas wool coklat, berjambul coklat serta berkumis tipis, menghampirinya, tepat seusai dia memunguti barang dari loker. Melalui kacamata besarnya menerawang wajah Jean yang bosan. Dia Mr. Handerson.
"Tuan Carrington, kau ada waktu untuk ke club fisika? Aku ingin menyampaikan sesuatu padamu dan lainnya,"
"Baik, pak," jawab Jean singkat.
"Bagus! Ayolah!"Dan akhirnya Jean digiring sepanjang lorong menuju tempat paling menjemukan. Setiap pertemuan angka, rumus, percobaan, angka, rumus, percobaan, angka lagi, rumus lagi dan percobaan lagi. Cerdas cermat sebagai pengukur setiap anak. Atau kertas ujian. Sesungguhnya, Mr. Handerson mengajar begitu menyenangkan. Penuh senyum, dia juga perhatian. Tak pernah mengabaikan anak muridnya yang belum mampu. Menciptakan banyak metode pembelajaran. Itulah kenapa Mr. Handerson digemari banyak murid. Dia masih cukup tampan dan lanjang, sehingga jadi sasaran fantasi gadis-gadis penggemarnya.
Tetap sama saja bagi Jean. Menjemukan. Kehidupan monoton tak berkesudahan. Dia sekolah namun tak memiliki ambisi. Dikenal cerdas karena memang berkat dari-Nya. Menghafal hanya dengan sekali baca, terbawa terus walau tak diulangi kembali. Cukup populer dikalangan guru juga teman. Di sekolahnya ada seorang sepertinya juga. Seorang alumni, banyak prestasi, namun dia berambisi. Bekerja disalah satu perusahaan terkenal di Seattle. Jean malas mengikuti langkahnya, dan kesal harus disama-samakan dengannya.
Akhirnya pelajaran tambahannya selesai. Dia keluar lewat bagian belakang gedung sekolah. Segera berjalan menuju ke tempat dimana sepedanya terparkir, tak makan waktu lama, pemuda itu meluncur menuju jalur sepeda. Meninggalkan kawasan sekolahnya. Mengayuh pedal cepat seperti pembalap ditelevisi minggu pagi. Alasannya tak lain adalah awan-awan kelabu di atas pertanda hujan akan segera turun.
Sebuah bus kuning–bus sekolahnya–menyalip beberapa saat kemudian. Dia pun menoleh pada kendaraan berisi anak-anak berbagai ekspresi yang terlihat jelas dari kaca tembus pandang. Melihat mereka gaduh di dalam sana. Menjahili sesama dan sebagainya. Pemandangan memuakkan, dan alasan kenapa Jean tak pernah naik bus sejak pertama kali bersekolah. Beruntunglah sepeda Jean tak lebih cepat dibanding benda kuning bergerak itu.
Dia terus melaju hingga 23nd Avenue dengan kecepatan konstan. Bulir keringat melelehi dahi. Nafasnya memburu terdengar jelas. Disebuah titik, rumah bercat biru berdiri. Dikelilingi mahkluk hijau homogen. Rumput centipende membentang ke seluruh halaman yang luas. Dihiasi semak-semak kecil di sana sini. Pemandangan menyegarkan. Jean gemar memperhatikan mereka setiap saat. Setiap dedaunan gemerisik seakan menyambutnya. Atau kesempatan lain dimana Jean dan mereka bisa bersamaan. Kali ini mereka membisu. Mungkin sedih karena sang penonton tak melirik mereka. Terfokus pada jalan menuju garasi. Kemudian menggeletakkannya begitu saja, lalu menyeret kaki menuju rumah.
Seperti biasa, hari-hari seperti hari ini berhias sunyi. Siang malam. Minggu pertama hingga kedua. Bulan satu ke lainnya. Walaupun disetelnya lagu heavy metal-nya Avenged Sevenfold dengan volume max melalui speaker full range, sunyi sanggup melahapnya.
Sunyi adalah temannya. Bersama sunyi dia tinggal. Bersama sunyi pula dia berbaring. Tenggelam dalam sofa putih empuk yang nampak mahal. Menatap langit-langit pucat hampir dua jam. Melamun? Tidak juga. Berpikir? Bisa jadi. Lebih ke menikmati sebuah bioskop kecil di kepalanya. Layar maya itu menayangkan berbagai rekaman hari ini juga hari sebelumnya. Saling berhubungan. Masing-masing memuat emosi tersendiri yang mengefek pada ekspresi Jean. Ini terjadi tidak hanya disini. Dimana saja. Jikalau kau melihat pemuda ini diam. Bertatapan kosong, dan senyum-senyum sendiri. Pernah bioskop itu muncul ketika Jean bersepeda. Alhasil, semak-semak memeluknya.
Tetap saja, berleha-leha sambil bergonta-ganti ekspresi macam orang gila. Menonton film gratis walau beberapa rekaman itu pernah membuat dampak terlalu besar padanya, adalah hal asik. Bahkan sampai ke alam mimpi.
*
*
*
Ngehehehehehehe. Cerita yg udah monoton disana siniSempat bimbang sebelumnya buat jadiin ini prolog atau langsung part satu. Kalo boleh curhat ni ya, sebenarnya awalnya ini cerpen. Tapi ku buat deh jadi cerpan (anggap aja kuker :'v)
Terus yah? Ini mau nya ku buat gaya bahasanya kek novel terjemahan (kaya tau novel terjemahan kek apa lu *plak) ahh syudah lah :"vKubanyak bacot ya? *di gebukin
Overall, Thanks buat yg udah baca. Hope you like it dan gak sakit mata(?)Kupingku terbuka untuk kritik juga saran kalian. Dari pedes, manis, asem, kalo ada yg bersifat sesuatu akan aku baca juga sih hehehe
ENJOY!!!!!
![](https://img.wattpad.com/cover/129152431-288-k380978.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Jean
RomanceDipenghujung musim gugur, dimana hawa menjadi dingin, daun terenggut dari dahannya, dan salju pertama akan datang, Jean merasakan benih-benih cinta dari Richie tumbuh. Tak ada hal lain selain memikirkan gadis berambut kemerah-merahan itu. Mengikutin...