Part 1

1.3K 57 1
                                    

Sasya merapikan jilbabnya. Hari itu matahari bersinar ganas di atas kepala warga Jakarta. Sudah hampir dua jam dia menunggu Panji di cafe dalam Stasiun Manggarai. Sesekali dia arahkan pandangannya ke luar jendela, berusaha mencari sosok Panji di antara orang-orang yang tengah sibuk berlalu-lalang.

Ia mulai gelisah. Jemarinya masih sibuk pada ponselnya, berusaha menghubungi Panji.

"Hai, maaf ya? Tadi di jalan macet banget. Ini aja aku lari dari parkiran." ucap lelaki berbibir tipis itu. Peluh di keningnya memang tak menandakan bahwa perkataannya itu bohong.

Sasya tak menjawab sepatah kata pun. Ia segera beranjak dari tempat duduknya dan meninggalkan Panji.

"Sya, tunggu dulu dong. Jangan marah gini," Panji mengejar Sasya dan berusaha menjajarkan posisi berjalan mereka.

Sasya menghentikan langkah kakinya, berusaha mengatur napas dan lalu menoleh ke arah Panji, "Sejak kapan aku bisa marah sama kamu?" Ujarnya sambil tersenyum. "Yuk, cepetan, jam 2 fimnya sudah mulai," sambung Sasya.

Panji mengertukan dahi sambil ikut tersenyum, lalu mengangguk mantap.

Mereka melanjutkan perjalanan menuju salah satu mall di bilangan Jakarta Selatan. Seperti biasa, mereka menghabiskan waktu untuk menonton film, dan menikmati kopi di kafe favorit mereka sambil bercerita tentang banyak hal hingga siang berganti malam.

Entahlah, sebelumnya mereka hanyalah dua orang asing yang bertemu di dunia maya. Dua orang asing, yang kemudian saling mengikuti karena merasa memiliki kesamaan 'sense of art'.

Setelah itu, keakraban terjadi begitu singkat di antara mereka.

Sasya, gadis muslimah berwajah teduh. Gadis yang mampu meluluhkan hati pria manapun dengan tutur bahasa dan prilakunya yang lembut. Baginya, Al-Quran adalah pedoman hidup. Ia percaya, bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad S.A.W adalah utusan Allah.

Panji menemukan banyak hal yang belum pernah ia temui dalam diri gadis manapun dalam diri Sasya. Toleransi, kesederhanaan dan semangatnya dalam hal mengejar mimpi-- mampu menciptakan decak kagum di dada Panji.

Bagi Panji, Sasya adalah malaikat yang di dorong tuhan untuk hidup di antara para manusia.

Panji, pria berwajah oriental yang memiliki pola pikir dewasa. Banyak gadis yang ingin memiliki dirinya, karena selain kedewasaan, ia juga memiliki karir yang cukup mapan. Baginya, Injil adalah pedoman hidup. Ia percaya, bahwa Allah adalah Bapa yang mahakuasa dan Yesus Kristus adalah putra tunggal-Nya.

Bagi Sasya, Panji adalah satu-satunya pria yang memiliki banyak kemiripan dengan sang ayah. Kesabaran dan pola pikirnya terhadap dunia yang rumit, mampu membuat Sasya sulit menolak untuk tidak mengaguminya.

Waktu terus berlalu. Dan, dalam tiap detiknya yang terus berganti, perasaan kagum di antara Panji dan Sasya-- berubah jadi cinta.

Cinta, yang seharusnya tidak pernah ada.

Namun mereka memutuskan untuk saling menyembunyikan apa yang sebenarnya mereka rasa, meski cinta yang mereka punya terus memaksa untuk diungkap keberadaannya.

Sebab mereka mengerti, bahwa mereka berbeda dimensi. Ada garis dan batas yang tidak mungkin dapat mereka lalui. Mereka memahami, bahwa pencapaian tertinggi untuk perasaan yang mereka miliki hanya sebatas 'saling menemani'. Dan, perpisahan adalah hal yang kelak akan mereka hadapi.

•••

Mereka terus bersama, saling menemani dalam suka dan duka. Sasya ataupun panji mencukupkan segalanya, berusaha menghindari perbedaan mereka.

"Sya, besok kamu ikut ke rumah orang tuaku ya? Ada acara keluarga, sekalian aku mau kenalin kamu ke orang tuaku," pinta Panji.

Sasya yang tengah mengaduk cappucino miliknya, langsung menghentikan gerakan tangannya. Ia mengerutkan dahi, "acara apa?"

"Anniversary pernikahan mereka."

"Nggak, ah, aku nggak enak. Takut," jawab Sasya singkat, lalu kembali mengaduk cappucino miliknya.

"Lho, kenapa? Karena hijabmu?" Tanya Panji.

Sasya mengangguk.

"Tenang aja, orang tuaku nggak serasis itu kok," ujar Panji sambil menengguk kopi di hadapannya. "Pokoknya harus ikut," sambungnya.

Sasya hanya diam. Dalam hatinya, ia benar-benar gelisah memikirkan apa yang kelak akan terjadi.

Untuk Imanmu Dan ImankuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang