Part 2

828 42 3
                                    

Mobil Panji berhenti di depan lobby apartmen Sasya. Gadis yang ia cintai telah menunggu di sana. Setelah itu, mereka langsung bergegas menuju rumah orang tua Panji.

Selama dalam perjalanan, Sasya hanya terdiam. Larut dalam kegelisahannya, hingga mobil mereka tiba di halaman rumah orang tua Panji.

Panji mengerti apa yang tengah dirasakan oleh wanita yang ia cintai itu. Ia mengusap kepala Sasya, "kamu tenang aja, ya?" ujar panji sambil tersenyum.

Sasya menghela napas.

Di depan pintu rumah, mamah dan papah Panji tengah berdiri menyambut kehadiran putra mereka.

Panji menghampiri Sasya yang baru saja keluar dari pintu mobil, ia kemudian menggenggam jemari Sasya sambil mengangguk kecil.

Sasya kembali menghela napas, lalu mengikuti langkah kaki Panji.

"Mah, pah," sapa panji sambil mencium tangan orang tuanya. "Oh ya, kenalin, ini Sasya," sambungnya.

"Om, tante, aku Sasya," sapa Sasya.

Papah Panji hanya tersenyum kecil, lalu memalingkan wajah.

"Oh, ini yang sering kamu ceritain ke mamah?" Tanya mamah Panji dengan nada gembira. "Masuk yuk, Sya," sambung mamah Panji sambil merangkul bahu Sasya dan mengajaknya masuk.

Mereka duduk di meja makan.

"Tante tau, kalau Sasya mau datang. Makanya tante masak 2 versi makanan. Satu untuk Om, tante dan Panji. Dan, satu lagi untuk Sasya. Ini halal, tante masaknya juga pakai wadah yang beda," ujar mamah Panji sambil merapikan peralatan makan.

Sasya tersenyum, "makasih tante."

Setelah selesai menyantap makanan, mereka larut dalam obrolan yang menyenangkan. Namun, dalam obrolan yang menyenangkan itu, Sasya tahu bahwa papah Panji tidak menyukai kehadirannya.

"Hubungan kalian ini sebenarnya apa?" Tanya papah Panji memecah obrolan yang semula menyenangkan itu. "Kalian tentu tahu, bahwa dalam agama kalian, hubungan kalian itu terlarang," sambungnya.

Mendengar pertanyaan itu, Sasya langsung terdiam dan menoleh ke arah Panji dengan wajah kebingungan.

Sontak, Panji langsung menggenggam jemari Sasya.

"Pah," jawab mamah Panji berusaha mencairkan suasana.

"Kalian berharap dapat bersatu dalam perbedaan? Itu nihil!" ucap papah Panji.

"Papah enggak ngerti apa-apa tentang kami, tentang aku dan Sasya. Dan, papah juga nggak berhak ngelarang Panji untuk bahagia." jawab Panji.

"Papah enggak pernah ngelarang kamu bahagia, Ji. Papah cuma mau kamu tahu bahwa apa yang kalian jalani itu salah!" Bentak Papah panji dengan nada tinggi.

Di tengah suasana rumah yang memanas, Sasya beranjak dari kursinya, kemudian pergi meninggalkan Panji dan keluarganya.

•••

Sejak hari itu, Sasya memutuskan untuk tidak menemui Panji.

"Papah cuma mau kamu tahu bahwa apa yang kalian jalani itu salah!"

Ucapan papah Panji itu terus berotasi dalam benak Sasya. Ia tahu, bahwa itu benar. Ia juga tahu, bahwa rasa yang ia punya untuk Panji itu salah.

Di satu sisi, ia begitu mencintai Panji. Namun di sisi lain, ia juga tahu bahwa mereka tidak akan pernah dapat bersatu.

"Tidak ada yang akan mengorbankan keyakinannya. Tidak ada yang akan mengkhianati agamanya hanya demi cinta." Ujar Sasya dalam hati.

•••

"Sya, tunggu!" Ujar Panji sambil menarik tangan Sasya. "Sudah setahun, mau sampai kapan kamu menghindar dari aku?" Sambungnya.

Sasya menatap wajah Panji. Tak dapat ia pungkiri, cinta masih ada di dalam hatinya meski telah sekian lama berlari.

"Aku mau kita baik-baik aja, Sya, kayak dulu." Pinta Panji dengan wajah memelas.

"Kita sudah nggak punya waktu untuk jalan di tempat," jawab Sasya.

Panji masih memegangi tangan Sasya, "Aku nggak peduli, aku sayang sama kamu. Banyak orang bisa bersama dalam perbedaan, Sya. Tolong jangan menghindar lagi, aku nggak sanggup jauh dari kamu. Aku mau hidup sama kamu dan menerima segala perbedaan diantara kita." Suara Panji melemah.

"Itu nggak akan terjadi diantara kita. Nggak akan pernah ada bahagia untuk hubungan yang tidak direstui tuhan," jawab Sasya dengan suara gemetar. Ia lalu melepaskan genggaman Panji dan bergegas pergi.

Panji hanya terdiam, memerhatikan tubuh Sasya yang semakin menjauh. Ia menghela napas panjang, berusaha berdamai dengan hatinya yang berkecamuk. Ia membiarkan Sasya pergi bukan karena tak lagi sanggup berjuang, namun ia tahu bahwa dirinya tidak mungkin mematahkan ketentuan tuhan.

Air mata Sasya terjatuh seiring dengan langkah kakinya yang menjauh meninggalkan lelaki yang ia cintai, "ya Allah, inilah yang selama ini hamba takutkan," gumamnya dalam hati.

•••

Setelah ribuan hari yang mereka lalui bersama, akhirnya mereka menyerah pada keadaan. Akhirnya, mereka mengaku kalah pada ketentuan Tuhan.

Untuk Imanmu Dan ImankuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang