Mata Kecil

108 12 0
                                    

Badanku meringkuk di desakan kopaja yang melaju -berusaha cepat- ditengah kemacetan ibukota. Untung saja bangku depan tak bertuan. Segera kudapati posisi 'nyaman' yang tak senyaman itu.

Dia, -entah siapa- duduk diatas tetumpukan tas anak anak yang berusaha membuat kopaja tak sesesak itu. Lagaknya bejibun, bak juragan kopaja saja dia.

"Aman kan ya ni tas, kaga ada kacamata atau quran?" dirapihkannya tas tas buncit itu seolah bantal empuk. "eh iya tas gue ada kacamatanya"

"lu udah kayak juragan kopaja ege. Cocok"

"ehh lu yakk"

Namun apa daya bangku sempitku terlalu menggoda. Teman dekatku segera melompat kedepan disampingku, berbagi secuil bangku.

Yaampun, lu ngalangin aja.

Lalu box box  pun datang  bersambut minta dipangku, apes amat si. Kenyamanan itu semakin pudar saat aku sadar lututku mencium bangku depannya. Grasak grusuk membetulkan pangkuan. Teman dekatku itu sudah mulai tak peduli, lelap membuainya lembut.

Anak abu abu lainnya juga perlahan bergerak syahdu teratur, maju mundur seolah tertiup tiup angin yang menyelinap di kisi kisi jendela kopaja. Lelah, semua mulai mencari posisi wenak.

Dia, - yang ditatap- terlihat asyik dengan earphone nya. Tak ikut bergerak maju mundur cantik walau 90% penghuni kopaja melakukannya. Mulutnya asyik - sok tau -  mengikuti lirik lagu yang tertahan.

Aku melipat dua tanganku di bangku depan, menaruh kepala yang penat. Peduli sangat dengan box itu, tindih saja dengan siku. Kepala yang ditaruh di sandaran bangku depan itu menoleh ke kanan.

Namun malu malu tangan kanan menutupi mukanya.

Haha pengecut,

Mata kecil yang tersembunyi itu terus menatap. Menatap lekat lekat. Andai mata itu bisa memberikan aura dekapan, andai.

Mata itu mulai berair,

Mata munafik!

Lihat saja, mulutnya tersenyum.

Haha bodoh,

Mata sang wakil hati tak pandai berbohong.

FiguranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang