Five - Forget?

94 14 6
                                    

Dilupakan kamu membuatku merasakan sesak yang teramat dalam, mengingat aku yang selalu memikirkanmu setiap saat membuat rasa tak adil bergejolak dalam diriku sendiri.


--oOo--

Bel istirahat baru saja berbunyi lima menit yang lalu, tapi keadaan kantin sudah cukup ramai dipenuhi para murid yang akan mengisi perutnya setelah menghadapi pelajaran. Vanya jadi malas untuk mengantri makanan yang dia inginkan meskipun tak bisa dipungkiri bahwa perutnya terasa lapar, Sabrina mengajaknya duduk disalah satu meja yang masih kosong.

"Males nih Sab. Balik ke kelas yuk," ajak Vanya.

"Gue laper Van tadi belum sarapan. Lo duduk manis aja deh di sini." Setelah menyuruh Vanya duduk, Sabrina meninggalkannya untuk antri membeli makanan.

"Halo Neng Vanyanya Abang," seruan yang terdengar itu sudah bisa ditebak oleh Vanya siapa orangnya tanpa perlu melirik ataupun menolehkan kepala.

"Musnah sana lo Bob," ucap Vanya malas dan terlihat sedikit ketus.

"Hinaku sepuasnya, kamu suci aku penuh dosa." Bobby mengucapkan itu dengan nada lagunya.

"Dari dulu lo udah hina kali." Vanya memalingkan wajahnya dari Bobby.

Sedikit perdebatan kecil terjadi diantara mereka berdua. Hal itu sedikit membuat Vanya kesal saat mendengar jawaban tanpa dosa yang dilontarkan cowok aneh bin ajaib itu.

Tak lama Sabrina datang membawa satu nampan yang berisikan dua mangkuk mi ayam dan dua gelas es jeruk, ia meletakkan nampan itu di atas meja lalu duduk di depan Vanya.

"Ini kenapa manusia Pluto ada di sini?" tanya Sabrina menatap Bobby, yang ditatap malah mendecak kesal. "Oh iya nih buat lo, gue tau lo juga laper kan?" sambungnya dan meletakkan semangkuk mi ayam di hadapan Vanya beserta es jeruknya.

"Peka banget sih lo hehe."

"Buat gue mana Sab," celetuk Bobby sambil cengengesan.

"Beli sendiri sana," jawab Sabrina acuh lalu menyantap mi ayam bagiannya dengan napsu yang sangat tinggi mengingat rasa laparnya tadi.

Suasana di kantin sudah mulai sepi, udara yang ditiupkan oleh beberapa kipas angin mulai berhembus mengenai tubuh Vanya hingga terasa sedikit segar. Vanya menjauhkan mulutnya dari sedotan saat dirasanya sudah sangat kenyang.

"Sab, lo gak ada niatan pergi gitu? Biar gue berdua aja sama Vanya di meja ini," celetuk Bobby.

"Siapa lo ngusir-ngusir. Lo aja kali yang pergi," balas Sabrina menatap Bobby jengah.

"Gue aja yang pergi, kalian berisik." Vanya beranjak dari duduknya dan melangkah kembali ke kelas. Sabrina dan Bobby mengikuti langkahnya dari belakang.

***

"Ve—Vero," gumam Vanya saat melihat di sampingnya ada seorang cowok yang dia rindukan sedang berada dibalik kaca mobil dengan warna sedikit gelap itu saat lampu lalu lintas berwarna merah.

Sekali lagi, Vanya menolehkan kepalanya ke kiri untuk memastikan bahwa apa yang dilihatnya tidak salah, gadis itu sampai menerjabkan matanya berkali-kali hingga akhirnya lampu di atas sana sudah berubah warna menjadi hijau. Cowok yang diamatinya tadi mulai melajukan mobilnya membelah perempatan yang terlihat lenggang, dengan cepat Vanya mengegas motor maticnya mengikuti arah laju mobil tadi.

HRV putih yang diikuti Vanya berhenti mulus di depan sebuah rumah sederhana yang terlihat elegan, hingga tak lama ada seorang perempuan keluar dari rumah tersebut. Mata Vanya terus memperhatikan gerak-gerik mereka berdua bahkan saat cowok itu membukakan pintu mobil di sampingnya untuk si cewek.

Meskipun rasa rindu Vanya sudah sangat besar, tapi dia harus menahannya dulu untuk tidak langsung berbicara dan memeluk rindu pada cowok yang dia yakini bahwa itu Vero.

"Kalau itu emang beneran kamu, aku harap kita bisa kaya dulu lagi," gumam Vanya lalu melajukan motornya kembali mengikuti mobil di depannya.

Jujur saja sebenarnya Vanya sedikit berpikir negatif tentang dua orang tadi, ada perasaan takut kecewa di dalam diri Vanya jika nanti benar ternyata itu adalah Vero bersama kekasihnya, seperti yang ada dipikirannya. Namun, sebisa mungkin ia menampik itu semua karena sedang tidak ingin kembali merasakan sakit hati setelah Vero kembali, cukup dulu saja saat Vero pergi ia merasa sakit hati untuk beberapa saat, sekarang jangan terulang kembali.

Setelah beberapa lama akhirnya kini Vanya duduk di meja sebelah orang yang daritadi diikutinya, ia memutuskan untuk beranjak ke meja sampingnya, Vanya sudah tidak sabar ingin mengetahui bahwa lelaki itu benar-benar Vero.

"Vero," panggil Vanya membuat lelaki itu menoleh ke arahnya. "Naufal Vero Devian?" Vanya menyebutkan nama lengkapnya dengan nada tanya.

"Kok lo tahu nama gue?"

Ternyata benar lelaki yang ada di depannya ini memang Vero, perasaan Vanya sedikit menghangat saat mendengar suara yang sudah lama ia rindukan ini akhirnya bisa kembali dia dengar.

"Aku Vanya. Kamu gak lupa kan?" tanya Vanya balik.

"Vanya?"

"Iya, Ver."

"Maaf kamu siapa? Kayanya Vero gak kenal kamu deh." Cewek yang tadinya duduk satu meja dengan Vero angkat bicara saat dirasanya ada sesuatu aneh di antara kedua orang itu.

Vanya mengalihkan pandangannya menatap cewek yang tidak dikenalinya itu dengan tatapan penuh tanya.

"Gue Citra," kata cewek itu sebelum Vanya membuka pertanyaan tentang siapa dia.

"Oh Citra. Salam kenal ya, by the way lo siapanya Vero?" tanya Vanya to the point. Sebenarnya ada rasa sedikit was-was saat Vanya bertanya demikian.

"Just a friend," jawabnya melegakan hati Vanya.

Vanya memanggut-manggutkan kepalanya sembari mengulas sebuah senyuman.

"Kamu inget ini gak Ver?" tanya Vanya sembari menunjukkan gelang yang pernah Vero berikan padanya, ia menggerak-gerakkan lengannya ke kanan dan kiri.

"Kenapa sama gelang itu?" jawab Vero bingung.

Vanya mengernyitkan dahinya. Apa Vero benar-benar lupa padanya? Sebenarnya apa saja yang dialami cowok itu selama ini saat menghilang darinya secara tiba-tiba, rasanya banyak sekali yang ingin Vanya tanyakan sekarang, tetapi mungkin lebih baik dia memberi Vero waktu untuk mengingat dirinya serta semua kenangan yang pernah mereka lalui bersama.

"Gak kenapa-napa kok, ya udah gue balik dulu ya. Ini id line sama nomer hp gue." Vanya merobek selembar note kecil yang baru saja ia ambil dari dalam tasnya dan menuliskan id line beserta nomor teleponnya, ia serahkan kertas kecil itu kepada Vero.

Dengan senyum palsunya Vanya melangkah pergi dari tempat itu. Jujur saja ia merasa sedih saat mengetahui bahwa Vero tidak mengingat dirinya, padahal selama hampir dua tahun ini Vanya selalu mengingat tentangnya.

***

LakunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang