Satu minggu kemudian....
Katya merasa tubuhnya bisa jatuh kapan saja. Rasa lelah hampir membunuhnya. Namun masih ada satu hal yang harus dilakukannya sebelum tubuhnya bisa beristirahat.
Ponsel di telinga Katya masih tersambung dengan seseorang, dan orang itu menanyakan posisinya.
"Sebentar lagi," jawab Katya.
"Kau yakin bisa melakukannya?" tanya orang itu.
Katya hanya tersenyum.
"Semoga beruntung...."
Sambungan terputus. Katya pun memasukkan ponselnya, lalu berdiri di depan lift. Suasana lobby kantor periklanan itu cukup ramai, mengingat sekarang adalah jam pulang kantor. Katya bahkan tidak melihat seorang pun yang ikut menunggu lift seperti dirinya, karena hampir semua orang berlomba-lomba untuk turun, bukan naik.
Akhirnya Katya masuk ke dalam lift, seorang diri. Tepat saat pintu lift akan menutup, sebuah tangan menahannya. Katya tidak mendongak untuk melihat orang itu, membiarkan rambut pirang gelapnya menjadi tirai yang menutupi wajah dengan sempurna. Karena Katya sungguh lelah, hingga memaksa dirinya untuk tersenyum basa-basi saja sulit dilakukan.
Lift pun berjalan.
Katya akhirnya mendongak. Liftnya berada di antara lantai tiga belas dan empat belas. Hanya ada Katya dan orang itu—pria dengan kemeja berwarna putih yang lengannya digulung sebatas siku, sementara jasnya tersampir di tangan secara asal.
Kemudian lift berhenti. Membawa serta cahaya terang benderang di dalamnya, hanya menyisakan sedikit cahaya yang berasal dari lampu charge di bagian atas lift.
"Sial," umpat pria itu.
Katya mengerjap. Berusaha menyesuaikan dirinya dalam ruangan kecil dengan lampu temaram itu. Ia tidak takut pada gelap, namun jantungnya tetap berdebar keras. Terjebak dalam lift ketika tubuhnya sangat kelelahan adalah hal terakhir yang diinginkannya.
Pria itu menekan tombol darurat, suaranya sangat tenang ketika ia menjelaskan situasi.
Operator membalas, "Kami akan segera memperbaiki kerusakannya. Sekali lagi kami meminta maaf. Kami akan mengirim tim penyelamat secepatnya. Mohon menunggu dengan tenang. Terima kasih."
Katya menghela napas.
"Kau baik-baik saja?"
Pertanyaan itu diikuti keheningan setelahnya. Lalu Katya menyadari bahwa pria itu berbicara padanya.
"Ya," jawab Katya. "Aku baik-baik saja."
Mereka bertatapan. Katya mengerjap, merasa wajah di hadapannya tidak asing. Mereka pernah bertemu. Dan, pria itu tersenyum.
"Kau gadis dengan strawberry milkshake itu."
Lagi, Katya mengerjap. Kalimat yang dilontarkan pria itu bukan pertanyaan, sehingga Katya tidak merasa harus menjawabnya. Ia justru menurunkan tubuhnya, lalu duduk di sudut kiri lift.
"Apa yang kau lakukan?" tanya pria itu di tengah kesibukan Katya melepas sepatu berhak tingginya.
"Mereka berkata untuk menunggu," jawab Katya.
Pria itu duduk di sudut kanan lift. Ada jarak di antara mereka, namun Katya merasa seolah pria itu duduk tepat di sisinya. Membuat Katya ingin menyentuhnya. Bukan karena ketampanannya yang mencuri napas, namun ada sesuatu dalam diri pria itu yang membuat Katya merasa ditarik untuk mendekat.
"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya pria itu. "Apa kau juga mengenal Chander Blake?"
Chander Blake adalah nama pemilik kantor periklanan itu. Namun Katya tidak menjawab, merasa kepentingannya untuk datang ke kantor itu bukan urusan pria yang duduk di sisinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Lies (Revenge #1)
RomanceSinopsis : Cerita ini dimulai ketika musim gugur menyelimuti kota Manhattan. Pada sebuah kehilangan, yang membuat hati pergi, menyisakan perih juga siksa tanpa henti. Kehilangan yang membuatnya tenggelam dalam lautan dendam. Katya Kaveirs di...