22 Juni 2013

5 0 2
                                    

      Ini adalah awal kehidupan yang akan membawaku melewati sungai impian. Air yang dingin merasuk ke dalam jiwa.dedaunan tepi sungai berguguran, jatuh ke sungai dan terbawa arus. Ibuku memang amat menyatangiku melebihi sifat ayah yang selalu melarangku dalam berbagai hal. Ibuku amat sabar dalam menerima tiap cobaan dan kadang kumelihatnya meneteskan air mata kesedihan bila ayah memarahinya. Hatinya teramat lembut, selembut sutera dan jiwanya tulus.
Terasa amat berarti bisa bermain di sungai bersama ibuku. Aku sedari tadi tersenyum ke arah ibu. Begitu pula ibu yang membalas senyumanku. Sungai yang berada di belakang rumahku merupakan tempat favoritku. Sungainya jernih, mengalir tidak begitu deras. Ikan berenang dengan riang gembira. Begitu pula penduduk di kampungku yang amat menyayangi sungai tersebut.

Sejak kecil aku memang terbiasa bermain di sungai, biasanya bersama Irwan. Irwan adalah teman terbaikku. Aku mengenalnya sejak SD.  Dia adalah sosok yang terkadang baik, terkadang menjelma menjadi sosok yang pemarah. Dia itu juga peduli dengan temannya. Aku senang mengenalnya. Tapi, ada satu sifatnya yang paling aku tak sukai, dia itu adalah orang yang cuek. Bila sudah marah, terkadang satu huruf pun tak ia keluarkan dari mulutnya.

Airnya yang teramat jernih bagai merasuk ke dalam raga. Membuatka seakan ada di dunia sendiri, bersama ibuku tersayang. Kala itu, ibu memancingku untuk bermain bersama. Terbukti, dia menyemprotkan air ke wajahku hingga wajahku basah karena air. Merasa seru, aku membalasnya. Kami berdua pun saling bermain air di sungai. Sungguh pengelaman yang indah.

Hujan seminggu yang lalu membuat bebatuan di permukaan sungai menjadi licin. Bila tak berhati-hati bias saja seseorang tergelincir di batu tersebut. Karena terlalu kegirangan bermain air sungai, ibu mendekatiku dan ternyata tergelincir karena batuan yang licin. Ibu terjatuh ke dalam air, hingga terbawa oleh air sungai. Aku menggeliat sendiri melihat ibu yang terbawa arus. Aku mengejar ibu melewati pinggir sungai. Ibu masih tetap berteriak minta tolong.

"Tolong aku nak..!!" seru ibu yang menjauh dariku karena terbawa arus.

"IbuSabar yah bu. Aku akan menolong ibu..!!" jawabku dengan sedikit histeris.

Sekelebat, ibu seakan menghilang dari pandanganku ditelang pusaran air sungai. Aku bagai terkapar di atas tanah karena merasa kehilangan ibu yang paling kucintai. Rasa penyesalan ada dalam hatiku. "Aku adalah anak yang paling durhaka di dunia ini" gumamku.

' Aku berusaha bangkit, dan berusa mencari ibuku tersayang. Aku menoleh kiri kanan berharap ada petunjuk keberadaan ibu dimana. Tiba-tiba, di sebuah ranting pohon tersangkut sebuah petunjuk keberdaan ibuku. Sebuah kain, berwarna jinga. Aku kian histeris dan merasa kehilangan. Apalagi di sekirnya, terdapat air yang berwarna merah. Aku beranikan turun ke sungai, berharap ibuku masih ada di sekitar kudungnya. Ternyata, aruh sungai kian deras yang bias saja membuatku terbawa arus sungai. Tapi, dengan tekad yang kuat aku berhasil di tempat aku melihat kudung ibu. Aku mengangkatnya. Tapi, di sekitar kudung tersebut tak kutemukan ibuku. Aku menangis. Pipiku bagai sungai yang airnya mengalir deras. Aku naik ke daratan, dan berlari ke warga untuk meminta tolong.

"Pak, tolong! Ibuku terbawa arus sungai. Tolong aku!" kataku sambil menarik tangan seorang bapak yang sedang duduk-duduk santai bersama temannya.

"kamu sudah gila yah? Ibumu itu telah meninggal setahun yang lalu" jawabnya sambil melotot ke arahku. Aku juga bertanya ke semua orang, tapi tetap saja jawabannya sama. Yaitu ibuku telah meninggal. Padahal, aku tadi bermain bersamanya di sungai. "Ibuku belum meninggal, aku harus mencarinya" gumamku sambil mengepalkan tanganku ini.

Aku merasa bersalah kepada ibu, oleh karena itu aku kembali ke sungai berharap ibuku bias aku temukan. Ternyata, dugaanku benar. Ibu sedang berdiri menghadap ke sungai. "Ibu!" sapaku. Ibu menoleh dan membalas sapaanku dengan senyum sumringah. "Anakku, dari mana saja kamu? Aku letih menunggumu. Jangan jauh dari ibu, ibu teramat menyayangimu. Ibu tak bisa hidup tanpamu. Sini nak, peluk ibu!". Aku pun berlari ke arah ibu, dengan raut muka yang sangat senang. Akhirnya, ibuku kembali dalam keadaan selamat. Aku bersyukur ibuku kembali. Aku merasakan kenikmatan yang sangat aku rindukan setelah hatiku berlapis cemas takut kehilangan ibuku tercinta. Aku bernafas lega di pelukan ibu.

I Hate u I love u Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang