27 November 2017
Pukul 08.45 PM.Jarum jam sudah menunjukkan pukul 8 lebih. Pantas saja jalanan mulai terlihat sepi, hanya ada beberapa orang yang berjalan di trotoar dan mobil-mobil yang berlalu lalang. Di sudut persimpangan aku juga bisa melihat beberapa tunawisma yang meringkuk hanya beralaskan kardus bekas. Sebenarnya keadaanku sekarang ini tak jauh beda dibandingkan dengan mereka yang meringkuk disudut jalan itu, pakaian yang ku kenakan lembab dan sepatuku basah. Beruntung ada jaket abu-abu lusuh ini, walaupun tak berefek banyak dalam mengurangi udara dingin yang menerpa tubuh. Tanpa sadar aku menanyakan kepada diri sendiri, apakah mereka tidak kedinginan? Ku eratkan jaket lusuh ini dan diam-diam mengucapkan syukur karena setidaknya aku punya jaket lusuh ini untuk mengurangi rasa dingin ini.
Jika mengingat kembali hari ini, rasanya aku ingin mengutuk semua orang yang ku temui, terutama untuk boss kurang ajar yang seenaknya saja memperlakukanku seperti manusia rendahan dan membuatku berjalan pulang dalam keadaan basah kuyup. Lebih sialnya lagi, kamera yang biasanya ku gunakan untuk bekerja rusak parah ketika Freya—rekan kerjaku yang sangat pendendam—menjatuhkan kamera milikku secara 'sengaja'.
Aku menghela nafas kasar ketika tak sengaja mengingat kembali kejadian-kejadian hari ini. Ketahuilah, hidupku selalu berjalan seperti ini. Bahagia? Entahlah, aku juga lupa bagaimana rasanya.
Udara semakin menusuk, kali ini rasanya seperti sudah sampai ke tulang-tulang. Sesekali ku tiup kedua telapak tanganku agar tak membeku. Langkah kakiku terhenti didepan sebuah coffee shop, tanpa fikir panjang aku masuk ke coffee shop yang bernama Omerta itu.
Hampir genap 4 tahun aku menetap di kota ini dan tak terhitung berapa kali melewati jalan ini, tapi baru malam ini aku masuk ke dalam Omerta.
Desainnya yang sederhana memanjakan mata dan suasananya seperti memancarkan hawa hangat yang tak tau harus ku gambarkan seperti apa. Pengunjung malam ini tak terlalu ramai, hanya ada beberapa orang yang duduk berpencar dan juga ada 2 orang didepanku yang sedang mengantre untuk memesan sesuatu. Aroma kopi yang khas juga menyapa indera penciumanku begitu berdiri didepan meja kasir.
"Selamat malam miss, silahkan mau pesan apa?" Tanya seorang lelaki yang memakai celemek hitam ketika giliranku tiba. Lelaki itu berparas khas seperti orang asia kebanyakan.
Aku berfikir sebentar sembari melihat papan menu, "Bisa kau rekomendasikan sesuatu untukku Rendra?" Tanyaku.
"Bagaimana miss tau namaku? Apa kita pernah berjumpa sebelumnya?" Tanya Rendra dengan raut sedikit keheranan.
Didalam hati sebenarnya aku tertawa, lihatlah lelaki dihadapanku ini sangat polos, "Tentu saja, kau memakai papan nama di dada kirimu Rendra." Tunjukku.
Rendra pun refleks melihat papan nama yang ada di dada kirinya dan tersenyum kikuk, "Ahh ternyata begitu. Maafkan kenarsisanku miss."
"Tak apa Ren, jadi bisakah kau rekomendasikan aku sesuatu? Aku kurang mengerti minuman-minuman seperti ini." Kali ini aku menanyakannya memakai bahasa ibu yang sudah sangat jarang ku pakai, bahasa Indonesia.
"Waw pengucapanmu sangat lancar miss, aku terkesan kau mahir berbahasa Indonesia."
"Aku memang orang Indonesia." Jelasku.
Rendra kembali terkejut, "Sungguh? Padahal wajahmu sama sekali tak menggambarkan kalau kau orang Indonesia miss. Ahh sepertinya aku terlalu banyak berbicara, kau tadi minta rekomendasikan sesuatu bukan miss?" Ucap Rendra panjang lebar dan hanya ku sahut dengan anggukan samar.
"Atas nama siapa miss?"
"Agatha." Ucapku.
Lima menit kemudian Rendra datang dan menyerahkan cup kertas yang mengepulkan asap. Aroma kopi dan sesuatu yang manis menyapa hidungku.
"Satu Coffee Latte teruntuk mbak Agatha yang basah kuyup. Sangat cocok untuk menutupi hari yang sendu ini." Aku hanya tersenyum kikuk dan mengambil Coffee Latte itu dan menyerahkan beberapa lembar uang.
"Ambil saja kembaliannya."
"Terimakasih mbak Agtaha, semoga mbak baik-baik saja. Aku sangat senang menemukan orang Indonesia diperantauan ini. Jangan sungkan-sungkan untuk datang kembali." Ucap Rendra.
Aku menggangguk paham. Udara dingin kembali menerpaku begitu kakiku melangkah keluar dari Omerta. Ku eratkan genggamanku pada segelas Coffee Latte dan menghirupnya. Ku esap perlahan Coffee Latte secara perlahan. Didalam hati aku berterimakasih pada Rendra karena telah merekomendasikan ini untukku. Aku bukan jajaran pecinta kopi, bahkan meminum kopi saja masih bisa dihitung menggunakan jari. Tapi, Coffee Latte ini sesuai dengan seleraku, rasa kopinya tak terlalu pahit dan bercampur dengan sedikit rasa manis, jangan lupakan juga aromanya sangat menenangkan hati.
Brak...
Seseorang tiba-tiba saja menyenggol bahu kananku dan menumpahkan isi Coffe Latte yang baru saja ku nikmati. "Maaf." Ucap seseorang dengan suara berat, khas seperti suara laki-laki. Setelah mengucapkan kata itu, lelaki dengan pakaian serba hitam itu langsung meninggalkanku, bahkan ketika ia berkata maaf, ia tak melihatku dengan benar. Astaga, Emosiku memang benar-benar dipermainkan hari ini. Aku ingin mengejar lelaki kurang ajar itu, memberinya sedikit pelajaran karena telah menumpahkan Coffee Latte ku yang berharga. Namun, baru saja aku ingin mengejarnya, beberapa orang yang membawa microphone dan kamera mengejar lelaki itu dan aku terjatuh akibat para rombongan itu.
"Sialan." Umpatku pelan. Aku terdiam sambil memandangi lelaki itu, ternyata ia mengenakan masker. Sebelum ia benar-benar hilang di perempatan, aku sempat melihat sekilas matanya. Entah kenapa matanya terlihat sendu.
Siapa lelaki itu?
Kini laki-laki dan rombongan yang mengejarnya menghilang setelah berbelok di perempatan tadi. Seolah-olah baru tersadar, aku berdiri dan membersihkan pakaianku yang sedikit kotor. Pakaian yang tadinya sudah sedikit kering, kini basah kembali. Ku lihat tangan kananku yang mulai memerah karena terkenak tumpahan Coffee Latte panas milikku. Sepertinya besok tangan kananku ini akan memerah dan perih.
Ku hirup udara malam yang semakin dingin, mencoba meredamkan emosiku yang bercampur aduk. Lagipula seharusnya aku tak usah emosi, toh aku juga sudah sangat sering ditimpa 'kesialan'.
Tak sengaja aku menginjak sebuah sapu tangan bewarna kuning cerah. Ku tundukkan badanku dan mengambilnya. Sepertinya ini milik lelaki itu. Ku kantongi sapu tangan itu, mungkin akan berguna suatu hari nanti.
Setelah itu aku kembali melanjutkan langkah kakiku. Berjalan sendirian dengan keadaan basah kuyup di bawah sinar bulan purnama yang malu-malu untuk tampil. Bergumam didalam hati, berharap esok akan lebih baik.