Perjalanan yang panjang terus berlangsung. Hanya tersisa Eko yang masih bisa mengimbangi kelincahan Jumi. Rasa lelah dan sikap ogah-ogahan membawa barang bawaan semakin sering memicu pertikaian. Puncaknya, terpal yang bobotnya tak seberapa itu hampir saja membuat Eko dan Ilham adu jotos.
Semua memang membawa barang bawaan masing-masing. Hal ini membuat pihak mana pun memiliki alasan yang sama untuk menolak. Pada akhirnya, kami harus kembali beristirahat untuk menenangkan pikiran, meskipun puncak gunung sudah di depan mata.
Keringat dan peluh berkumpul tak beraturan di ujung hidung dan keningku. Tengkuk leher dan kedua telingaku bahkan seakan terbakar. Situasi yang tak jauh berbeda juga dialami mereka. Inilah yang terjadi saat kita mendaki secara berkelompok. Kita diharuskan menyesuaikan tempo masing-masing, sehingga durasi perjalanan jadi molor.
Jumi sekali pun pada akhirnya memanglah seorang wanita. Praktis, hanya tersisa Eko yang masih tampak bertenaga sementara yang lain sudah tepar di bawah pohon nangka. Dia bahkan tampak begitu termotivasi, sampai-sampai rela berlari kencang, menuju ke arah ladang.
“Jangan pergi jauh-jauh, Ko!” ingatku sambil berdiri.
“Iya, iya! Bawel kowe!” jawabnya ketus lalu menghilang di balik semak belukar.
Cepet amat ngilangnya? Pikirku sembari kembali duduk.
Sret!!! Tiba-tiba terdengar suara gesekan rumput dari arah tadi. Aku segera berdiri dan memastikan suara tersebut. Situasi masih kosong sebelum kedatangannya yang tiba-tiba, dari balik semak.
“Ngapain kamu?” tanyaku, begitu sosoknya tersembul pelan.
“Ngambil makananlah! Ngapain lagi?” jawabnya sembari membawa beberapa batang tanaman yang panjangnya sekitar dua meteran.
Daunnya yang juga panjang, dia seret susah payah.
“Woi, bantu!” teriaknya sambil menunjukkan tanaman panjang berbatang ungu tersebut.
Ternyata ini, alasannya lari kenceng? Pikirku, sembari manatap tebu-tebu nganten siap konsumsi yang dia seret.
“Dari mana ini semua?” tanyaku. Eko yang tampak terengah-engah tak langsung menjawab. Terdengar sengal napasnya yang ngos-ngosan, begitu memburu.
“Nanti aja tanyanya,” jawabnya masih sambil mempertahankan tebu-tebu tadi.
Sebenarnya aku masih bingung, tetapi segera kuajak Jumi segera membantu membawa tebutebu tersebut menuju tempat peristirahatan. Begitu mendekati tempat peristirahatan, datanglah pria gempal itu. Dengan semringah, dia berlari dan mencomot sebatang tebu dari tanganku, tanpa rasa enggan.
“Dapat dari mana, nih?” tanyanya sambil memandang tebu itu penuh nafsu.
“Tuh, dari ladang sebelah!” Eko menggelengkan kepala, ke arah kedatangannya.
“Nyolong maksudnya?”
“Alah, tinggal makan aja repot, kon!” protesnya. “Pokoknya kalau sampai kowe ikut makan, terpal kamu yang bawa!” ancamnya sambil memangkas ujung-ujung tebu tadi satu per satu.
“Iya!” Ilham menjawabnya tak kalah galak.
Tanpa rasa bersalah, kami segera mengupas kulit tebu tersebut menggunakan gigi-gigi kami secara berjejer. Hanya Marni yang terlihat jaim dan tak mau melakukan hal yang sama. Dia tampak memukul-mukulkan tebu bagiannya pada batu besar, hingga tebu itu pecah dan bermuncratan sia-sia.
Aku tak terlalu memedulikannya. Daging putih tebu yang sedikit ungu di ujung ruasnya itu terlalu nyaman di genggamanku. Saudaranya sendiri tak lagi peduli kepadanya. Dia hanya fokus menggigit dan menarik kulit tebu bagiannya secepat tupai. Dia bahkan baru ngeh saat Eko menggerakkan kepala dan melirik ke arah Marni, memberinya kode. Agak malu, dia kemudian mendatangi adik kecilnya.
Mengupaskan beberapa ruas tebu secepat kilat, kemudian kembali menggigiti tebu bagiannya dengan rakus. Dia juga melengkapinya dengan tiduran di bawah pohon sambil menonjolkan perut bulatnya yang penuh keringat.
Benar-benar muka tembok, pikirku.
Masih kuingat rasa manis dan legit itu. Ketika daging putih tebu tersebut tergigit dan air di dalamnya terperas keluar. Memang, sedikit mengeluarkan usaha ekstra saat mengunyah dan mengupasnya. Namun, semua terbayar lunas tatkala cairan itu mulai mengalir dan membasahi lidah. Tak bisa dipungkiri, rasa segar ketika air tersebut perlahan terdorong ke tenggorokan dan menghanyutkan dahaga benar-benar menakjubkan. Marni yang biasanya jaim, bahkan sampai lupa menyembunyikan wajah rakusnya.
“Apa kalian pernah dengar ini? Cerita tentang kakek-kakek yang berangkat ke ladang di sore hari. Pakaiannya compang-camping, wajahnya misterius, tubuhnya kotor, dan penuh keringat.” Tiba-tiba, Eko mulai bercerita.
“Lagi-lagi cerita khayalanmu?!” sahut Ilham. Tampangnya terlihat cuek, tak seperti kedua gadis yang ketakutan itu.
“Dan ketika aku tanya buat minta tebu ….” Eko tak memedulikan reaksi Ilham dan melanjutkan cerita.
Sangat jelas suara tegukan ludah Marni, ketakutan.
“Kita hampir sampai!” Tiba-tiba, dia mengubah arah pembicaraan.
“Selanjutnya apa?” keluh Jumi dengan tampang penasarannya.
“Udah enggak usah diceritain!” sahut Marni.
“Iya. Lihat, tuh muka Marni pucat gitu!” goda Ilham sembari tersenyum kecil.
“Siapa yang takut?”
“Lagian, kelanjutannya enggak ada. Cuman rahasia baru, kalau Si Amat itu takut hantu,” jawab Eko.
Sadar atau tidak, rahasia itu dengan jelas baru saja dia beberkan. Nada setengah berbisik itu membuat telingaku agak panas. Pasalnya, mata mereka tersipit kompak ke arahku. Seringai menyebalkan yang mereka tunjukkan, olok-olok bodoh itu mengusikku pelan-pelan.
“Takut? Yang benar saja kowe!” kelitku.
“Kalau ndak takut, kenapa kowe larinya kenceng gitu?” Eko tak melepasku begitu saja.
“Kalau itu ….”
Percuma saja kujelaskan. Mereka tak akan percaya. Kukatakan, “Makhluk itu kemungkinan bukan manusia. Atau setidaknya, bukan manusia waras.”
Apa pun, tebu-tebu ungu ide Eko akhirnya membawa kami ke puncak gunung. Energi terkumpul, istirahat yang cukup, tanpa kendala berarti lainnya, sampailah kami di tempat tujuan.