Dingin menusuk tulang membuat kami berebut tempat terbaik di depan api unggun. Kami mencoba membuat suasana semakin hangat, melalui obrolan santai. Spesialnya lagi, langit hari itu masih menyalakan kilatan jingga yang menyegarkan mata. Warna kekuningan yang perlahan menyembunyikan dirinya itu tak pernah terlihat seindah ini. Sunset yang benar-benar eksotis. Mendaki berkelompok sepertinya menyenangkan juga, pikirku.
Hari mulai gelap. Kulit tubuh kami mulai tak sanggup beradu suhu melawan dinginnya malam. Hal ini membuat kami segera berlindung ke dalam tenda. Bilik gadis dengan bilik pria dipisahkan oleh sobekan karung yang menggantung seadanya, membelah titik tengah tenda. Meskipun merk pupuk kompos yang membatasi kami terlihat mengganggu, alasan itu tak bisa digunakan untuk menggantinya. Lagi pula, tak ada benda lain yang bisa kami manfaatkan.
Ilham memilih posisi terdekat dengan pembatas. Eko di tengah, dan aku paling pinggir. Ilham begitu protektif kepada Sang Adik. Meskipun canggung kepada Jumi usai kejadian tadi siang belum reda, tetap saja sifat dasarnya lebih dominan. Eko yang tak tahan akhirnya meminta berpindah posisi. Ya, tentunya aku paham betul dengan sifat tetanggaku itu. Pada akhirnya, pilihan ini merupakan jalan terbaik. Meski kenyamananku harus dikorbankan.
Menyebalkan. Dengkuran Ilham benar-benar berisik, belum usilnya Eko. Hal ini membuat tidur nyenyak hanya menjadi angan-angan. Bolak-balik layaknya ikan asin yang sedang digoreng, kulakukan sepanjang malam. Aku terus berusaha mencari posisi nyaman, sampai suara itu membatalkan upayaku untuk tidur.
Seingatku, tiga kali, mungkin juga lebih. Ketakutan yang menggumpal membuat kejadian itu kurang jelas kurekam.
“Suara apa itu?” Marni bertanya dari bilik gadis.
“Entahlah,” jawabku.
“Itu terdengar sangat keras dari sini!” rengeknya.
Aku menarik napas lalu bergegas bangkit. Bilik gadis memang yang paling dekat dengan asal suara. Tak mau membuat mereka khawatir, aku bergegas memeriksanya.
Kulangkahkan kaki kananku keras-keras, menepis segala ragu. Meski hati kecilku mengucap bermacam praduga buruk, aku tetap memaksa kaki kurusku bergerak.
Semerbak udara dingin menyeruak dari pintu keluar karena bentuknya yang sedemikian rupa. Rasa dingin itu, bahkan terus meningkat, seiring semakin banyaknya jumlah langkah yang kuambil. Kutatap jalur keluar-masuk yang sebenarnya produk gagal itu, sebelum menggeleng tak puas. Sebab, bilik kanan tempat kami para pria beristirahat, terasa lebih dingin dibanding sisi kiri, tetapi mau bagaimana lagi?
Aku berdiri di luar. Uap putih mulai keluar dari dalam mulutku. Tubuhku gemetaran. Gemerutuk kedua rahangku yang beradu segera kututup sarung. Aku membulatkan tekad untuk segera memeriksa keluar, lalu segera masuk kembali, karena dingin yang tak tertahankan.
Namun, suara itu mendentum lagi.
Keras sekali. Mirip seperti sebuah atap seng plastik yang dilempar dengan batu. Tapi suasana hari itu amat sepi. Hanya ada kami berlima yang membangun tenda di sana. Kulihat posisi sekeliling juga lapang. Lalu, bagaimana bisa? Pikirku.
“Tunggu!!” Aku menahan napas, sambil berbalik mengikuti suara panggilan tadi. Kuelus dadaku, lalu kubuang napas yang tertahan tadi. “Aku ikut!” rengeknya.
“Ya ampun, Mar, Mar! Kalau aku jantungan gimana?” omelku.
“Tapi aku takut, Mat!” eyelnya.
“Ya sudah, kamu di belakangku saja!” pasrahku.
Dia berjalan pelan melewati biliknya. Tubuh kurusnya tampak begitu kedinginan diterpa angin malam. Kedua tangannya sibuk memposisikan selimut yang enggan dia tinggalkan. Masih kuingat betul, harum aroma selimut cokelat bergambar macan yang dia bawa. Baunya benar-benar kontras dengan sarung hijau bermotif kotak dekil yang kubawa, tapi sekeliling mengikat fokusku lagi.
Baru juga sekian langkah, kami segera dikagetkan oleh suara rumput yang bergesekan. Bulu kudukku berdiri tegak, dan kulit tubuhku serasa mengerut. Aku berhenti menatap ladang di bawah kami dan merentangkan tangan, agar Marni tak nyelonong maju.
“Suara apa lagi itu?” Pertanyaan Marni menggenapkan rasa takutku. Namun aku adalah lelaki. Sosok yang harus selalu berada di depan. Pikiran itu membuatku sok berani.
“Entahlah, suaranya dari arah sana!” Jari telunjuk kuarahkan ke kiri, padahal belum tentu benar. “Mungkin ular?” imbuhku.
“Ular?! Jangan manakutiku!” Marni berteriak, sambil memegang lengan kiriku. “Ada apa?” lanjutnya.
“Eng … enggak!” Aku berkura-kura dalam perahu, khawatir jika dia akan sadar. Soal libido dalam diriku yang bergejolak. “Biar kuperiksa!” ucapku.
Tanpa berlama-lama, aku berjalan mendekati asal suara. Kutelan ludahku kuat-kuat ketika ujung tenda semakin jelas terlihat. Jantungku berdetak begitu kencang ketika pojok tenda kulewati. Agak ragu, kepalaku segera melongok ke kiri memastikan keadaan.
“Ealah … ranting, Mar! Lihat!” seruku, lega.
Kutunjuk potongan batang pohon yang berserakan di ujung tenda itu, untuk meyakinkannya.
“Ranting?” Marni masih memegangi lenganku, ketika tolah-toleh memastikan.
“Pasti ranting-ranting itu jatuh tertiup angin,” tenangku.
“Oh, gitu?” Marni mengembuskan napas panjang, sambil menoleh kepadaku. Sialnya, aku lupa menyembunyikan wajah keenakanku.
Ditatapnya hidungku yang kembang kempis. Dia mulai menyadari bagian tubuhnya yang bersinggungan denganku. Dengan canggung dan agak kesal, dia melepas pegangan tangannya tiba-tiba.
“Ke … kenapa?” tanyaku.
“Kenapa? matamu sobek?!” omelnya.
Aku menggaruk-garuk kepalaku merasa terciduk, tetapi suara rumput yang kami dengar tadi. Menjadi alasanku melangkah lebih jauh.
“Mau ke mana lagi, Mat?” cegat Marni.
“Bentar, kok!” tenangku.
“Aku ikut!” rengek Marni.
“Cum ….”
“Pokoknya ikut!” putusnya. Aku menggeleng sebentar, lalu kembali melangkah. Tak kuasa melarangnya lebih jauh
Suasana di luar agak lebih terang ketimbang di dalam tenda. Itu karena lampu petromak yang sengaja kami matikan. Lampu-lampu rumah dari beberapa desa yang jauh di sana terlihat jelas dari sini. Mataku mulai menerawang lebih jauh, mencari asal suara aneh tadi, hanya dengan bantuan sinar bulan. Hanya ladang gelap, pikirku.
Aku hampir saja mencapai kesimpulan yang melegakan, andai saja benda kerucut itu tak menyembul di antara ladang singkong yang berayun-ayun.
Ujung benda kerucut tersebut berwarna merah. Meski gelap, tetapi dari bentuk yang kutangkap, kemungkinan itu sebuah caping. Namun masalahnya, petani macam apa yang masih berladang selarut ini?
Sontak tubuhku bergerak mundur. Tenaga pada kedua kaki tangguhku mulai kendur. Otot leherku menegang, layaknya listrik statis menariknya paksa. Tenggorokanku yang pekat terasa semakin kering. Rasa dingin yang tak wajar menyeruak dari dalam tubuhku, bersama gelontoran keringat.
“Ada apa, Mat?” tanya Marni. Aku tak lantas menjawab. Kepalaku terlalu sibuk mencari benda tadi, di antara rimbunya dedaunan singkong.
“Ada apa?!” Marni yang kesal bertanya lagi. “Hilang!” gumamku.
“Apanya yang hilang, Mat? Jangan membuatku ketakutan terus!”
“Tidak, kok! Bola yang tadi siang. Sepertinya benar-benar hilang,” kibulku.
“Bikin kaget saja kamu!” protesnya.
Aku masih berpikir keras ketika Marni mengulurkan tangannya. Saat itulah sebuah benda sebesar buah kemiri itu jatuh, menggelinding dari sakunya. Benda merah yang menyala terang di antara gelapnya malam itu memaksa telunjuk kananku menodongnya. Marni yang khawatir buru-buru memungut dan memasukkannya ke dalam kantongnya kembali.
Apa dia masih percaya sama begituan? Pikirku.***